Aku terduduk lemas dengan jawaban yang tidak pasti ini. Katanya, Mas Suma mengalami pendarahan yang hebat, untung saja benda yang menusuk perutnya masih tertancap. Itu yang menyelamatkan nyawanya.Sebegitu jahatnya mereka sampai menusuk suamiku. Apa salah dia, sehingga mereka mempunyai alasan untuk mencelakai Mas Suma?Mata ini terpaku pada pintu di ujung ruang tunggu ini. Dari sanalah jawaban akan aku dapat. Apakah aku masih diberi kesempatan untuk meminta maaf kepadanya, atau justru kesempatan tidak berpihak kepadaku?Sungguh, aku tidak sanggup menghadapi kemungkinan terburuk ini.“Pak Kusuma orangnya kuat dan pantang menyerah. Dia pasti lolos dengan selamat dari kejadian ini,” ucap Pak Tiok yang duduk mensejajariku. Dia menyodorkan sekotak tissu untukku.Aku yang masih tergugu, hanya bisa mengangguk dan menerimanya. Membuka mulut, hanya memicu tangisku yang tidak bisa lagi kukendalikan. Inginku bersikap tenang sambil melantunkan doa. Akan tetapi saat memohon keselamatan dan menyebu
Mata ini mengerjap, menautkan serpihan kesadaran. Tidak kudapati lagi Mas Suma yang baru saja berdiri di depanku. Masih lekat di pendengaran suara yang aku rindukan. Begitu juga senyuman yang baru saja aku lihat.“Mas Suma!”Aku mengedarkan pandangan. Namun yang aku dapati hanya Pak Tiok duduk tepat di sebelah ranjang, dengan menunjukkan wajah kawatir. Dia terlihat kuyu dan berantakan.“Mas Suma bagaimana?”“Alhamdulillah. Keadaan Pak Kusuma sudah stabil. Sekarang, justru kamu yang harus menjalani pemeriksaan.” Dia mendorong bahu ini, saat aku berusaha duduk.“Rani…. Kita bersahabat sudah berapa lama? Kenapa kamu masih menganggapku orang lain?” ucap Pak Tiok melupakan kesepakatan memanggilku seperti biasanya. Aku menatapnya tidak mengerti.Dia mendesah sambil menatapku lekat. “Kenapa kamu tidak mengatakan, kalau kamu habis keguguran? Kamu harus istirahat, Ran.”“Saat ini kesehatanku bukan prioritas. Aku harus—““Harus apa? Coba bayangkan kalau ada apa-apa dengan kamu. Bagaimana anak-a
Keadaan yang awalnya sepi, mulai diriuhkan dengan anggota Club 21. Mereka menunjukkan keprihatinan terhadap keadaan Mas Suma, walaupun waktu menjenguk dibatasi.Musibah yang sempat dirahasiakan akhirnya terendus oleh mereka. Akan tetapi, untuk khalayak umum tetap dirahasiakan. Ini atas permintaan Nyonya Besar. Karena kesehatan pucuk pimpinan akan berpengaruh pada harga saham dan kepercayaan pelanggan. Aku tidak mengikuti jalannya penyelidikan. Semua aku serahkan kepada Pak Tiok, sedangkan aku konsentrasi kepada kesehatan dan perusahaan.Dokter Hendra yang mengurus perpindahan Mas Suma. Aku dan suamiku dirawat di rumah sakit yang dipimpinnya. Keadaan Mas Suma mulai stabil, walaupun dia belum sadar. Menurut diagnosa, kekurangan darah menyebabkan asupan oksigen ke otak sempat terhambat. Inilah yang menyebabkan keadaan ini.“Sampai kapan Mas Suma tidak sadar? Apakah ini tidak berbahaya?”“Dari hasil pemeriksaan, semua sudah dalam kondisi normal. Kita tunggu saja.” Ini yang selalu menj
Aku sudah pasrah. Apapun yang terjadi aku serahkan kepada yang di Atas. Sebagai hambanya hanya berkewajiban berusaha, sedangkan hasil adalah hak-Nya. Yakin saja, apapun yang terjadi pasti tertepat.***“Ma, Papi bagaimana?” seru Amelia setelah pintu terbuka, diikuti Wisnu. Ini masih selepas subuh, tetapi mereka sudah sampai di sini.Aku menunjukkan telunjuk di bibir, sambil mengarahkan mata ke arah Mas Suma yang tertidur. Semenjak sadar, tidak dibiarkan tangan ini terlepas darinya. Hanya saat aku meminta untuk menunaikan kewajiban dia melepaskanku. Itupun harus mengerjakan tidak jauh darinya.“Papi beneran sudah sadar?” Wisnu berucap dengan berbisik.Aku mengangguk sambil tersenyum. Mereka mengambil kursi dengan hati-hati, menaruh di sebelah ranjang tanpa bersuara.“Amel kangen Papi, Ma?” Dia merengut, menunjukkan wajah sendu menatap Mas Suma yang masih tertidur nyenyak.Wisnu menatapku dan Mas Suma bergantian, kemudian dia berenjak mendekatiku.“Mama juga harus istirahat,” ucapnya s
Seseorang bisa menendang dan memukul kalau memiliki kaki dan tangan. Bagaimana kalau aku potong keduanya, apakah dia masih bisa menyakiti orang lain lagi? Begitu juga wanita itu. Tidak henti-hentinya dia melakukan mengganggu keluargaku. Dahulu memang pemakluman yang aku kedepankan. Rasa cinta kepada Mas Suma yang begitu besar dan tidak bisa di lupakan. Aku berpendapat, tidak ada orang yang memaksakan cinta, termasuk membunuh rasa cinta. Namun kalau sudah bertindak jauh seperti ini, terpaksa aku gunakan tangan besi dan mematikan rasa kasihan di hati. “Bu Rani, ini yang berkas yang diminta.” Desi menyodorkan satu map berwarna merah. Ini data yang aku minta tentang semua perusahaan yang terkait dengan Catherine. Ada beberapa perusahaan yang masih berhubungan dengan perusahaan ini, terkait karena Pak Wahono-ayah Catherine-pernah menjadi mitra kerja ayah Mas Suma. “Bukankah pabrik tekstil dan garmen ini sudah dilepas Tuan Kusuma?” “Pak Kusuma melepas hak managemen, tetapi kepemilikan
Aku seperti pulang ke rumah. Di depanku tidak hanya Mas Suma, tetapi ada Amelia yang menggendong Anind, dan Wisnu yang memanggul Danish.Mata ini berkaca-kaca saat Amelia dan Wisnu berhambur dan menyodorkan adik-adiknya kepadaku. Kerinduan yang membuncah terjawab sudah. Tak henti-hentinya aku menciumi mereka.“Mam-ma… Mamam.” Suara keluar dari bibir mungil Anind. Seketika rasa haru menyeruak. Gadis kecilku tidak melupakan aku, bahkan mampu memanggilku mama.“Mas Suma! Anind sudah bisa memanggilku!” Aku menatap suamiku yang tertatih mendekat. Kemudian mengusap lembut kepala mungil. Dia mengulurkan tangan, tetapi Amelia tidak memperbolehkan.“Kan Amel yang ngajari Adek Anind ngomong,” celetuk Amelia sambil menggerak-gerakkan alis.“Hmm…. Anakku ini sayang sama adik-adiknya, ya.” Mas Suma mengacak rambut Amelia sambil tersenyum. Terlihat senang. Walaupun lahir dari rahim yang berbeda, tetapi dia menyayangi adik-adiknya.“Danish juga sudah bisa pegang pencil. Semuanya dicoret-coret,” tamb
Tangan ini terkepal seketika mendengar apa yang diceritakan Mas Suma.Kemesraan kami memicu ingatannya. Seperti serpihan puzzel, perlakuan Catherine yang menjijikkan itu menarik bagian lainnya yang terlupakan.Sesekali dia menekan kepala untuk meredakan nyeri yang kadang-kadang hadir. Namun, ini tidak menyurutkan dia untuk melanjutkan rentetan ingatan yang sudah kembali. “Aku tidak apa-apa. Dengan menceritakan ini semua, aku merasa lebih ringan,” ucapnya bersikukuh saat aku minta untuk tidak melanjutkan cerita miris ini.Sesekali tangan ini diraihnya, menautkan jemari seakan mencari kekuatan.Kata demi kata mengeraskan hati, menambah geram dan membulatkan niat untuk pembalasan. Dan, itu harus melibatkan pihak berwajib.“Mas Suma. Aku tidak terima perlakuan mereka. Selama ini kita selalu mencari alasan untuk memaklumi perbuatan mereka. Namun, bukan sadar, justru semakin menjadi,” ucapku sambil menyusut air mata yang sempat tergulir.Suamiku menghela napas. Mengusap lembut punggung in
Setahuku walaupun dia belagu, tetapi dia bukan orang jahat. Tidak pernah mata ini melihatnya sebagai musuh, apalagi pesaing. Bahkan kehadirannya tidak berpengaruh apa-apa, bahkan menggelikan.“You know, saya lulusan dari luar negeri. Memang saya dilahirkan di sini, but in my body mengalir darah Papa saya yang asli dari Eropa,” ucapnya setelah mengenalkan diri. Dia menyodorkan kartu nama dengan nama dia sebagai CEO. Entah kenapa, laki-laki sok bule ini selalu mengikuti dan tidak berhenti bicara.Aku meliriknya sebentar. Laki-laki lebih muda dariku, berambut berwarna coklat. Wajahnya yang terlihat mencolok, karena tanpa bertanyapun kita tahu dia blasteran luar negeri.Tersenyum aku mendengar kalimat yang menggelikan. Memang apa hebatnya lulusan luar negeri dan keturunan orang sana? Tanpa ada pembuktian bisa bertahan dan bertarung di dunia bisnis, semuanya hanya bualan semata. Zero.“I know you, Mister Kusuma. Saya mengagumi anda yang masih muda tetapi sudah mencapai keberhasilan.”“Te
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan