Kenapa suara langkah kaki itu lebih terasa mengerikan dibandingkan sikap kasar para penjaga? Terlebih setelah bunyi pintu ditutup, dan suara hening melingkupi ruangan ini.Tak…tak…tak….Suara itu mendekat dan tanpa aku harus bisa melihat, kupastikan dia berdiri tepat di depanku. Parfum yang sama, aroma citrus bercampur dengan mawar. Tubuh ini begidik seketika, saat belaian mengusap pipi dan leher ini. Kemudian menyelusup di sela-sela rambut dengan menggerak-gerakkan ibu jari.Tangan ini terkepal keras, apalagi saat bobot badannya berpindah di pangkuanku. Aku berusaha berontak, tapi dia semakin memperlakukanku dengan liar. Sudah dipastikan, benar perkiraanku. Orang ini adalah perempuan.Tubuhnya yang wangi menghimpit dengan gerakan yang erotis. Dengus napasnyapun berkali-kali menerpa leher ini. Kepala ini mencoba menghidar, dan kedua tangannya menangkup pipi ini dan bisikannya membuatku tersentak.“I love you, Mas Suma. Kamu sekarang milikku.”Perut ini semakin mual, saat kulit ini mer
Jalan berbatu menyulitkan pengejaran ini. Kecepatan yang ditambah tidak mengejar mobil jeep yang dilindungi kepulan debu. Bahkan, Pak Tiok sampai menghentikan motor karena pandangan mata terhalang dan aku yang tidak berhenti terbatuk-batuk.“Kenapa berhenti?”Aku menyorotkan tatapan kesal. Satu-satunya petunjuk hilang begitu saja di depan mata.“Jalan ini, jalan tunggal. Kita pasti akan menemuinya. Semakin kita kejar, dia akan semakin berusaha menghilangkan jejak. Bukankah lebih baik kita biarkan mereka lengah?” ucap Pak Tiok setelah membuka helm. Dia mengeluarkan dua botol kecil berisi minuman mineral dari tas ransel yang tertangkup di dadanya.“Minum dulu. Setelahnya kita lanjut.”Aku menerima dan menenggaknya sampai tandas. Kemudian memintanya bergegas melanjutkan perjalanan.Jejak roda mobil jeep terlihat jelas. Apalagi di jalan yang berlumpur. Jalan ini lurus terus dan kami mendapati jajaran gudang-gudang bekas. Seperti tempat perbaikan mesin-mesin pabrik. Tidak ada kegiatan, sep
Kecurigaan menyeruak seiring dengan mata yang memindahi bayangan di cermin. Rambut disisir rapi dan wajahku yang kotor tidak terlihat lagi, bahkan aku mencium jejak lotion di wajah ini. Memang aku tidak muda lagi, tetapi terlihat lain dengan tampilan seperti ini.Berapa lama aku tidak sadar, dan apa yang mereka perbuat sehingga aku tidak tahu apa yang mereka lakukan?Kepala ini meneleng memperhatikan tangan dan kaki. Luka akibat eratnya ikatan tali di pergelangan pun di plester. Sendi yang kemarin terasa nyeri juga sembuh. Tubuhku merasa baikan, akan tetapi perasaan ini semakin menaruh curiga.Perlakuan ini seperti menyiapkan hidangan. Dan, hidangan itu adalah aku.“Sudah bangun, Tuan?” Terdengar suara sedikit serak mendesah.Spontan, kepala ini menoleh ke arah suara. Seorang wanita bersendekap sambil bersandar di dinding. Entah berapa lama dia di sana.Keningku berkerut, melihat penampilannya. Dia mengenakan topeng berwarna emas yang berhias bulu-bulu. Hanya bibir yang dipoles ginc
Pemaklumanku selama ini ternyata sia-sia. Rasa sayang yang tersisa, ternyata diabaikan. Dan, justru yang dilakukan sekarang bentuk penghianatan dan penghinaan. Aku mendengus dan mengepalkan tangan penuh amarah, gigi ini pun menggeletuk bersama rasa geram yang semakin membuncah.Kerlingan mata dan senyuman yang ditampilkan wajah indah itu, terasa menjijikkan. Seperti berhadapan dengan setan betina yang akan menunjukkan kekejaman, aku bersiap saat dia melangkahkan kakinya.Tak…tak…tak….“Catherine! Ja-jadi kamu yang menculikku? Tega sekali melakukan ini. Kamu sudah aku anggap saudara justru berbuat jahat kepadaku!” teriakku tidak percaya. Suara langkah yang lekat di kepala ini, ternyata dia pemiliknya.Berkali-kali kenyataan dan dugaan orang sekitar merujuk kepadanya, dan aku justru berusaha tidak mempercayainya. Namun, sekarang terbukti. Dia yang kucoba percayai dan diberi kesempatan, ternyata menunjukkan tidak bisa berubah apalagi dimaafkan.Aku memundurkan langkah seiring dengan wan
Aku tidak ada pilihan lain, walaupun cara ini beresiko dan bisa menghilangkan nyawa.Kuhela napas dalam-dalam, memusatkan pikiran dan mengumpulkan tenaga. Satu kali lemparan, tempat sampah berbahan logam melayang tepat ke cermin lebar ini.PRANG!!!Suara keras semakin mematik keributan di luar sana. Teriakan Catherine terdengar menjadi-jadi, menandakan waktuku sudah hampir habis. Di ambang putus asa, pasti ada harapan. Dan, aku harus melakukannya.Kuraih pecahan cermin yang paling panjang. Genggaman kueratkan sambil menahan gemetar yang masih menguasahi tubuh ini.‘Rani, istriku. Aku minta maaf kalau aku tidak sempat bertemu kamu lagi. Jaga anak-anak,’ bisik hatiku sambil memusatkan pikiran. Kupejamkan mata sambil mengangkat tinggi-tinggi tangan ini. Mengarahkan tepat di perut yang aku tuju.CRESS!Seketika rasa menyayat seiring dengan potongan tajam ini menembus kulit perut. Darah merembes dari sela luka dengan potongan cermin yang masih tertancap. Bercampur dengan air yang menetes d
Tatapanku tidak terlepas dari Pak Tiok. Ekspresinya yang berubah-ubah membuatku mengerutkan dahi. Setiap aku menunjukkan pertanyaan, dia hanya mengangkat tangan menandakan aku disuruh diam. Maksudnya apa?Sekarang, justru dia keluar dari ruangan. Masih dengan ponsel di tangan, dia jalan mondar-mandir sambil berbincang. Aku yang berusaha mencuri dengar, tidak menangkap apapun. Akhirnya menyerah, memilih duduk seraya memeriksa pesan yang masuk dari Desi sekretaris.Laporan dari perusahaan menandakan semua karyawan mendengarkan yang aku katakan. Sebenarnya mereka sudah mempunyai kemampuan sesuai bidang yang ditempati. Sebagai pemimpin hanya sebagai penggerak dan memotivasi mereka, tentu saja tetap di dalam pengawasan.Ini sesapan terakhir kopi yang sudah tidak hangat lagi. Begitu lama, akhirnya Pak Tiok memunculkan wajahnya. Tidak ada gambaran gembira, tetapi juga tidak ada raut kesedian. Entah, apa yang akan dia katakan.“Pak Tiok. Bagaimana?” tanyaku dengan menunjukkan raut wajah menun
Aku terduduk lemas dengan jawaban yang tidak pasti ini. Katanya, Mas Suma mengalami pendarahan yang hebat, untung saja benda yang menusuk perutnya masih tertancap. Itu yang menyelamatkan nyawanya.Sebegitu jahatnya mereka sampai menusuk suamiku. Apa salah dia, sehingga mereka mempunyai alasan untuk mencelakai Mas Suma?Mata ini terpaku pada pintu di ujung ruang tunggu ini. Dari sanalah jawaban akan aku dapat. Apakah aku masih diberi kesempatan untuk meminta maaf kepadanya, atau justru kesempatan tidak berpihak kepadaku?Sungguh, aku tidak sanggup menghadapi kemungkinan terburuk ini.“Pak Kusuma orangnya kuat dan pantang menyerah. Dia pasti lolos dengan selamat dari kejadian ini,” ucap Pak Tiok yang duduk mensejajariku. Dia menyodorkan sekotak tissu untukku.Aku yang masih tergugu, hanya bisa mengangguk dan menerimanya. Membuka mulut, hanya memicu tangisku yang tidak bisa lagi kukendalikan. Inginku bersikap tenang sambil melantunkan doa. Akan tetapi saat memohon keselamatan dan menyebu
Mata ini mengerjap, menautkan serpihan kesadaran. Tidak kudapati lagi Mas Suma yang baru saja berdiri di depanku. Masih lekat di pendengaran suara yang aku rindukan. Begitu juga senyuman yang baru saja aku lihat.“Mas Suma!”Aku mengedarkan pandangan. Namun yang aku dapati hanya Pak Tiok duduk tepat di sebelah ranjang, dengan menunjukkan wajah kawatir. Dia terlihat kuyu dan berantakan.“Mas Suma bagaimana?”“Alhamdulillah. Keadaan Pak Kusuma sudah stabil. Sekarang, justru kamu yang harus menjalani pemeriksaan.” Dia mendorong bahu ini, saat aku berusaha duduk.“Rani…. Kita bersahabat sudah berapa lama? Kenapa kamu masih menganggapku orang lain?” ucap Pak Tiok melupakan kesepakatan memanggilku seperti biasanya. Aku menatapnya tidak mengerti.Dia mendesah sambil menatapku lekat. “Kenapa kamu tidak mengatakan, kalau kamu habis keguguran? Kamu harus istirahat, Ran.”“Saat ini kesehatanku bukan prioritas. Aku harus—““Harus apa? Coba bayangkan kalau ada apa-apa dengan kamu. Bagaimana anak-a