"Mas Suma, Jenifer gimana? Kasihan dia ditinggal begitu saja," kataku mengingat bagaimana ekspresi Jenifer di parkiran tadi.Aku bisa merasakan, bagaimana kesalnya dia, apalagi tadi dari kaca spion aku lihat dia teriak-teriak memanggil Tuan Kusuma. Laki-laki di sebelahku ini, benar-benar sadis. Aku lihat dia yang memandang lurus ke depan tanpa menghiraukan pertanyaanku. Wajahnya kelihatan serius seperti memikirkan sesuatu."Mas, Mas Suma," panggilku sekali lagi."Iya Ran. Kita bicara sebentar, saya cari tempat berhenti," katanya sambil menoleh ke arahku sebentar.*"Ran, kamu pasti kaget melihat saya tadi. Saya seperti itu, karena tahu sifat Jenifer seperti apa. Dia suka sekali emosional, kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, dia akan kumat. Kami semua tahu. Di sana pasti dia di handle sama Elisya dan Sintha, tadi kita sudah calling. Nanti kalau sudah reda, baru saya bicara dengannya. Tetapi sebenarnya saya malas, karena Jenifer kalau ada maunya, susah!" jelas Tu
"Amelia! Amelia! Dengar kata, Papi!" teriak Tuan Kusuma berlari ke atas mengejar Amel. Aku dan Bik Inah yang baru masuk rumah kaget melihat mereka. Kami saling perpandangan mencari tahu apa yang terjadi. Aku berikan keranjang belanjaan ke Bik Inah dan bergegas lari mengikuti mereka. Amelia menangis membelakangi Tuan Kusuma yang berusaha menenangkannya. Melihat aku mendekati mereka, Amelia langsung lari memelukku sambil menangis sesenggukan."Amelia, menangis saja. Tidak apa-apa," bisikku kepadanya. Dia menangis tanpa bicara apapun. Aku menatap Tuan Kusuma minta penjelasan apa yang terjadi. Dia menjawab dengan gerakan mulut tanpa suara, "Mami". O, aku mengerti. Pasti dia membicarakan tentang rencana pertemuan dengan Dewi, mamanya Amelia. Pasti anak ini kaget, karena mami yang selama ini dianggap tidak ada bahkan dibilang meninggal, ternyata baik-baik saja. Brian, sepupu Dewi yang menfasilitasi kami. Selama ini, Dewi tinggal di Belanda bersama keluarga barunya. Dia memiliki dua ana
"Pokoknya, Kak Wisnu besuk harus datang!" teriak Amelia. Dia dari pagi mencoba menghubungi Wisnu, tetapi tidak diangkat, kadang-kadang nada di ponsel bertanda sibuk dipakai. "Sayang, Kak Wisnu mungkin sibuk kuliah. Sekarang lagi banyak-banyaknya tugas. Tapi kan, dia sudah janji kalau besuk pasti datang. Ditunggu saja, ya" jelasku mencoba menenangkannya."Tante, hubungi terus, ya. Pokoknya harus datang!" katanya memastikan. Aku mengangguk dan kasih kode ok. Dia tersenyum senang dan, langsung berlari ke dalam kamarnya. Bapak sama anak sama aja, kalau sudah keluar kata 'pokoknya', tidak bisa diganggu gugat. Dia, sampai tidak ikut kegiatan esktra sekolah untuk menyiapkan acara ulang tahunnya. Dan, hari besuk dia ijin tidak masuk sekolah, khusus untuk persiapan acara ini. Tadi, dia langsung ke Claudia untuk ngepas baju yang akan dipakai. Besuk sore, team Claudia akan datang untuk mengantar baju sekaligus make-up kami bertiga, eh berempat dengan Wisnu. "Atau, Wisnu dijemput Pak Maman s
"Membeli kado untuk orang kaya adalah sesuatu yang sulit. Mereka sudah mempunyai semuanya, kecuali sesuatu yang tidak bisa dibeli" *** Pesta kejutan berhasil, bahkan sangat berhasil. Kami semua merasa senang. "Ini, pertama kali saya membuat kejutan seperti ini. Ternyata, rasanya luar biasa, ya! Seperti pekerjaan yang tidak berguna, tetapi efeknya membuat kita bahagia," kata Tuan Kusuma setelah semuanya selesai. Amelia dan Wisnu sudah kembali ke kamar. Mereka harus istirahat untuk acara pesta besuk malam. "Tolong buatkan saya teh. Saya belum bisa tidur." Tuan Kusuma meminta secangkir teh, kami duduk di teras atas sambil mengobrol. "Sudah lama, saya ingin membuat sesuatu yang istimewa buat Amel. Tetapi, saya tidak tahu, apa. Perayaan ulang tahun bentuk apapun sudah saya adakah dari pesta kebun sampai pesta mewah, tetapi tidak membuat dia tersenyum dan tertawa lepas seperti hari ini," katanya sambil menatap kerlip bintang di langit. "Yang Amelia dambakan bukan kemewahan, tetapi k
'Alberto' itu nama kuda import hadiah dari Nyonya Besar. Sudah satu tahun, Amelia ikut di club berkuda kelas junior dan dia sangat tertarik dengan kuda ini. Namun, hadiah dari Nyonya Besar diluar dugaan kami semua. Akhirnya, impian Alberto menjadi milik Amelia, terwujud. "Eyang! Terima kasih. Amel senang sekali!" teriaknya kegirangan. Dia menjulurkan tangannya untuk mengelus-elus kepala Alberto. Kuda itupun, mengenalinya dan menundukkan kepala terlihat nyaman dan akrab. Amelia tersenyum bahagia sekali. "Kenapa pilih kuda, Mi? Suma pikir, Mami kasih hadiah mobil atau apa gitu," tanya Tuan Kusuma menyelidik. Semua yang di sini juga heran, kenapa Nyonya Besar memberi hadiah ini. Harganya pun lebih mahal dibandingkan mobil. "Ya tidak mungkinlah, saya memberi hadiah mobil. Dia kan masih dibawah umur. Kamu ini bagaimana, sih?!" kata Nyonya Besar sambil mencolek Tuan Kusuma. "Suma! Anakmu Amelia kan sudah lama ikut club. Dia belum punya kuda sendiri, kan kasihan. Pernah dia kasih lih
Kami, berangkat dengan iring-iringan mobil. Satu persatu mobil memasuki area gedung pertemuan di hotel berbintang. Kami disambut dengan dekorasi yang apik bertema Jungle. Dominan dedaunan hijau dengan beberapa sentuhan rangkaian bunga yang cantik. Karangan bunga ucapan selamat berderet dari mulai kami masuk. Memang tidak diperkenankan membawa hadiah, tetapi untuk ucapan selamat, kami tidak bisa melarangnya.Mobil pertama, Nyonya Besar. Beliau dengan dandanan luar biasa, melebihi dari hariannya. Tatanan rambutnya dipercantik dengan hiasan permata berkilau. Baju berwarna hijau tosca dengan taburan kilauan permata menambah penampilan semakin cetar.Mobil kedua, Tuan Kusuma dan Amelia.Amelia disulap menjadi putri cantik. Pakai sepatu boots yang kemarin, rambutnya di curly dengan mahkota bertahta berlian. Dress tumpuk warna putih dengan aksen hijau transparan, potongannya simple tetapi elegan, membuat dia seperti Princes of Jungle. Tuan Kusuma, penampilannya yang sempat membuatku sesa
Kami kembali ke depan, dan menyelesaikan acara inti ini.Dilanjutkan acara bebas, kami langsung di arahkan ke dua area pesta. Untuk para remaja disiapkan khusus sesuai dengan permintaan Amelia. Dia dan Wisnu pamit ke sana.Tinggal kami bertiga di meja bundar ini. Nyonya Besar, Tuan Kusuma dan aku. Kami menikmati satu persatu hidangan yang di suguhkan dari appetizer sampai dessert sambil menikmati tontonan yang sudah disiapkan."Suma, Mami pulang dulu, capek. Mami langsung ke rumah besar," kata Nyonya Besar bersiap akan pulang. Anita dan beberapa orang yang selalu siap, mulai berdiri menunggu Nyonya Besar. Tuan Kusuma dan aku juga berdiri mengantar beliau."Nyonya Adijaya!" terdengar suara berat memanggil, menghentikan Nyonya Besar."Pak Prayoga!" jawab Nyonya Besar. Mereka langsung bersalaman dan saling bertanya kabar. Aku mengernyitkan dahi, seperti pernah lihat bapak ini. Namun, di mana?"Kenalkan, ini Maharani. Dia calon istrinya Kusuma," kata Nyonya Besar memperkenalkanku. Kami la
Club 21 memang solid, merasa senasib membuat hubungan mereka terasa unik.Pesta sudah usai, tamu bergantian pamit pulang. Amelia dan Wisnu juga sudah pulang. Tinggal Tuan Kusuma dan aku, bersama kelompok Club 21. Memang sudah seperti aturan tidak tertulis, setelah acara pasti ada acara khusus untuk club ini.Beranggota 21 orang yang mempunyai kesibukan yang luar biasa, mereka masih bisa menyempatkan diri untuk acara seperti ini. Malah, kesempatan seperti inilah yang ditunggu mereka untuk melepas rutinitas dan kepura-puraan mereka. Keseharian di pucuk pimpinan dan tanggung jawab yang besar merengut kejujuran akan keinginannya sendiri. Tak jarang mereka harus berpenampilan dan bersikap kuat untuk melindungi yang diemban.The True Rich bukan Crazy Rich, sebutan kepada mereka. Mereka berpunya karena mempunyai usaha dan bekerja jauh di atas rata-rata. Keglamoran dan kemewahan yang mengelilingi mereka membuatnya terpenjara dalam penilaian publik. Yang tidak tahu benar, berapa ribu nasib or
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan