Laki-laki dengan rambut terkucir tadi. Dia menatapku intens. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku yang mulai ada karena harumnya kopi ini."Minumlah. Kamu dulu kalau mengantuk pasti bikin kopi hitam kental tanpa gula. Aku juga pernah kau buatkan," jelasnya sambil menyesap kopi. Cara dia minum membuatku tidak bisa menolak untuk menikmati kopi ini."Maaf, bapak ini siapa ya? Saya benar-benar lupa," tanyaku heran. Dari awal bertemu, dia bersikap seolah-olah sangat mengenalku. "Rani! Ini aku, Tiok! Kita pernah kerja bareng di Jogja. Di KSP! Ingat?" jelasnya menyakinkanku"Mas Tiok?! Prasetyo?!" kataku memastikan dengan ragu. Seingatku dulu yang namanya Mas Tiok, orangnya tambun dan agak culun. Yang sekarang di hadapanku, pria tinggi kurus dan berambut panjang, ditambah wajah lumayan tampan"Mas Tiok yang saya kenal itu ...," ucapku menggantung sambil menggembungkan pipiku."Rani, itu kan aku dulu. Sekarang lebih keren, ya?" jelasnya sambil melempar senyum yang manis. "Rani, kamu ingat i
"Karena kekuatan nama besarku, semua beres!" jawabnya sambil tersenyum angkuh.Itu jawabannya ketika aku tanya setelah beberapa menit dia menghadapi para petugas itu. "Mereka malah meminta maaf. Ternyata, mereka pernah jadi satpam di kantor. Mereka kaget ketika saya turun dan kasih kartu nama," jelasnya sambil menjalankan mobil secara berlahan, meluncur menuju rumah."Ini menjadi sejarah. Seorang Kusuma ditangkap Satpol PP!" teriak Tuan Kusuma sambil tertawa terbahak-bahak.Alhamdulillah, akhirnya emosinya lenyap sekejap karena para pak petugas itu.Dia meraih tanganku dan digenggamnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan konsen pada kemudi."Mas Suma jangan begini, bahaya. Konsen ke jalan saja," kataku sambil berusaha menarik tanganku. Tidak terlepas malah genggamannya dieratkan."Biarkan saya menggenggam tanganmu biar hati ini selalu tenang. Tetap di sini!"ujarnya.Dia menaruh tanganku di paha kirinya ketika tangan kirinya harus memindah gigi mobil. Setelah itu, kembali tanga
Merasa dihempaskan semakin menguasai hati ini. Seakan tahu apa yang aku rasakan, secepatnya Tuan Kusuma mengambil kursi kecil untuk duduk di dekatku. Kedua tanganku yang sudah mengepal erat, mencoba menghindar darinya."Mas Suma, saya merasa tidak pantas untuk bersamamu. Bolehkan saya, saya ...," kataku terputus dengan isakanku. Aku merasa tidak mampu menyelesaikan kata-kataku. Air mataku luruh dengan sendirinya. Keinginanku bisa membuat aku berpisah dengannya. Aku ingin memulai lagi membangun hidupku. Aku ingin bisa berjalan tegak dan bangga dengan apa yang aku punya. Dan, itu berarti aku tidak di sini Tuan Kusuma langsung meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Kedua tanganku tetap mengepal didadaku, membuat jarak antara aku dan dia."Rani, jangan seperti ini. Saya merasa sakit melihatmu seperti ini! Rani, saya sangat mencintaimu. Maafkan aku," bisiknya lirih. "Mas Suma, bolehkah saya memantaskan diri sebelum kita bersama? Saya ingin tunjukkan ke dunia, bahwa saya layak dicintai o
Bab 40. Dukungan Ibu"Asyik! Kita jalan-jalan!" teriak Amelia kegirangan setelah mendengar rencana kami untuk ke kampungku."Kak Wisnu, ajak ke sawah, ya! Amel mau meliat orang bajak sawah!" pintanya dengan nada manja ke Wisnu. "Nanti ke tempat peternakan ayamnya Eyang, Eyang siapa, Kak?" tanyanya lagi."Eyang Uti Sastro!" jawab Wisnu. Sastro adalah nama Bapak, beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Beliau dahulu adalah Lurah di desa kami. Praktis, semua orang di sana mengenal dan menghormatinya.Di rumah tinggal Ibu yang ditemani sepupu. Beliau ditemani banyak saudara. Hampir seluruh kampung, masih ada hubungan kerabat dengan kami, sampai-sampai Wisnu menyebutnya 'kampung sejuta eyang', karena semua orang tua dipanggilnya eyang.Ada-ada saja!Ibu menyambut dengan senang ketika tadi malam menelponnya. Aku memberitahu bahwa kami besuk akan datang dan apa keperluannya.Setelah subuh, kami berangkat. Tuan Kusuma, Amelia, Wisnu dan aku. Sepanjang jalan Amelia dan Wisnu tidak
"Kampungmu indah! Udaranya sejuk dan membuatku terasa damai!" Tuan Kusuma merentangkan tangannya dengan mata terpejam dan menghirup dalam-dalam udara segar ini. Silir-silir angin menyibak rambutnya yang sempat terkulai dikening. Setelah insiden Amelia kecebur ke sawah, Tuan Kusuma sempat marah ke Amelia dan Wisnu. Seperti biasa, alasan keselamatan. Kecemasan memang menandakan kasih sayangnya, tetapi kalau berlebihan sering membuat kita tidak nyaman.Untung Amelia sudah kebal akan hal itu. Malah dia antusias bercerita pengalaman yang tidak terlupakan itu, tanpa memperdulikan wajah marah papinya."Papi! Papi rugi deh, kalau tidak keliling kampung. Bagus banget! Sama Tante Rani, aja, jalan-jalan!" Dengan baju kedodoran milik Wisnu dia asyik saja memaksa untuk adventure berikutnya, ke peternakan ayam Eyang Sastro. Awalnya Tuan Kusuma keberatan, tetapi akhirnya memberi ijin setelah mereka pergi diantar Paklik Totok."Rani! Kamu sering ke sini, ya?!" tanya Tuan Kusuma mengagetkanku. Dia
"Mas Suma, ke-kenapa? Jelek ya?" tanyaku ragu."Bahaya kamu, Ran!" ucapnya tiba-tiba."Maksudnya?" tanyaku heran. Aku dekatkan dudukku ke arahnya. Tak sabar aku ingin tahu, apa yang dia maksud."Ternyata, kalau kamu dibiarkan bisa melesat seperti anak panah. Itu yang saya takutkan!"Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan. Ditariknya dudukku lebih mendekat. Mungkin wajahku kelihatan ketidakmengertianku."Lihat ini, kamu membuat sesuatu yang sederhana, tetapi diluar dugaan orang lain. Yang gilanya lagi, tidak hanya sekedar indah tetapi usefull! Good job! Ini baru Maharaninya Kusuma," katanya sambil memelukku erat. Hmm, belum apa-apa sudah menambahkan namanya. Aku tersenyum lega menyambutnya. Semoga kerja kerasku berhasil."Besuk, kita mulai produksi sampelnya. Masih cukupkan waktunya?" bisiknya dengan lembut. Dikecup keningku dengan lembut. Kami tersenyum bersama, satu langkah terlewati.Kerja kalau ditemani orang terkasih memang membuat lebih semangat. Apalagi dapat du
Bab 43. I Love You-------------"Siapapun itu, termasuk perempuan akan 'melesat maju' apabila diberi kesempatan dan dukungan"-------------"Papi! Tante Rani! Kok, tidur di sini?!" Samar-samar terdengar suara memanggil namaku. Tanganku seperti ada yang menarik-narik. Aku mengerjapkan mata yang masih terasa berat."Tante Rani!" Suara itu terdengar lagi.Amelia? Kenapa dia di sini? Terus aku di mana?Astaga ....Aku, tepatnya aku dan Tuan Kusuma masih berada di teras rooftoop!Terakhir, yang aku ingat kami menerima kabar kemenanganku di kompetisi itu. Kami sama-sama menangis bahagia."Mas Suma! Akhirnya, saya bisa melangkah lega di sampingmu. Ya, Allah, terima kasih!" teriakku bahagia. Air mata meluncur dengan sendirinya, air mata bahagia yang sebelumnya tertahan dengan rasa cemas dan takut.Semua diluar dugaanku, berbekal ilmu yang aku punya, kemauan dan pastinya hati, ternyata menghasilkan karya yang layak diappresiasi."Rani, akhirnya kamu akan menjadi wanitaku! Kamu tahu tidak.
Pov. Maharani'Tring'[Mama, selamat ya. Wisnu tambah bangga sama mama][Temen2ku titip selamat juga][I love you, Mama]Pesan masuk dari Wisnu ke ponselku.'Tring'[Maharani, selamat ya. Semoga Sukses]Pesan masuk dari Jenifer. Dan, beberapa pesan senada dari Sintha, Emilya dan lainnya."Ponselmu dari tadi bunyi terus, Ran?" tanya Tuan Kusuma kepadaku. Kami baru selesai makan bersama, berdua saja. Amelia sudah berangkat ke sekolah pagi tadi. Dan, Tuan Kusuma entah kenapa dia masih di rumah. Katanya, masih ingin menemaniku."Ini pesan dari Wisnu, Jenifer, dan lainnya. Mereka kok tahu ya? Saya malah belum kasih kabar apapun kepada mereka. Kok bisa, ya?" tanyaku balik ke dia. Baru tadi malam, pengumumannya kok pagi sudah pada heboh. "Maharani, Sayang. Itu namanya kekuatan internet. Apalagi, kamu membawa nama Indonesia. Pastilah, jadi trending topic. Siapa saja yang sudah kirim selamat? Bramantya juga? Kok tidak bilang?" tanyanya sambil melirik tajam kepadaku. Nadanya sih biasa, teta