Club 21 memang solid, merasa senasib membuat hubungan mereka terasa unik.Pesta sudah usai, tamu bergantian pamit pulang. Amelia dan Wisnu juga sudah pulang. Tinggal Tuan Kusuma dan aku, bersama kelompok Club 21. Memang sudah seperti aturan tidak tertulis, setelah acara pasti ada acara khusus untuk club ini.Beranggota 21 orang yang mempunyai kesibukan yang luar biasa, mereka masih bisa menyempatkan diri untuk acara seperti ini. Malah, kesempatan seperti inilah yang ditunggu mereka untuk melepas rutinitas dan kepura-puraan mereka. Keseharian di pucuk pimpinan dan tanggung jawab yang besar merengut kejujuran akan keinginannya sendiri. Tak jarang mereka harus berpenampilan dan bersikap kuat untuk melindungi yang diemban.The True Rich bukan Crazy Rich, sebutan kepada mereka. Mereka berpunya karena mempunyai usaha dan bekerja jauh di atas rata-rata. Keglamoran dan kemewahan yang mengelilingi mereka membuatnya terpenjara dalam penilaian publik. Yang tidak tahu benar, berapa ribu nasib or
Laki-laki dengan rambut terkucir tadi. Dia menatapku intens. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku yang mulai ada karena harumnya kopi ini."Minumlah. Kamu dulu kalau mengantuk pasti bikin kopi hitam kental tanpa gula. Aku juga pernah kau buatkan," jelasnya sambil menyesap kopi. Cara dia minum membuatku tidak bisa menolak untuk menikmati kopi ini."Maaf, bapak ini siapa ya? Saya benar-benar lupa," tanyaku heran. Dari awal bertemu, dia bersikap seolah-olah sangat mengenalku. "Rani! Ini aku, Tiok! Kita pernah kerja bareng di Jogja. Di KSP! Ingat?" jelasnya menyakinkanku"Mas Tiok?! Prasetyo?!" kataku memastikan dengan ragu. Seingatku dulu yang namanya Mas Tiok, orangnya tambun dan agak culun. Yang sekarang di hadapanku, pria tinggi kurus dan berambut panjang, ditambah wajah lumayan tampan"Mas Tiok yang saya kenal itu ...," ucapku menggantung sambil menggembungkan pipiku."Rani, itu kan aku dulu. Sekarang lebih keren, ya?" jelasnya sambil melempar senyum yang manis. "Rani, kamu ingat i
"Karena kekuatan nama besarku, semua beres!" jawabnya sambil tersenyum angkuh.Itu jawabannya ketika aku tanya setelah beberapa menit dia menghadapi para petugas itu. "Mereka malah meminta maaf. Ternyata, mereka pernah jadi satpam di kantor. Mereka kaget ketika saya turun dan kasih kartu nama," jelasnya sambil menjalankan mobil secara berlahan, meluncur menuju rumah."Ini menjadi sejarah. Seorang Kusuma ditangkap Satpol PP!" teriak Tuan Kusuma sambil tertawa terbahak-bahak.Alhamdulillah, akhirnya emosinya lenyap sekejap karena para pak petugas itu.Dia meraih tanganku dan digenggamnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan konsen pada kemudi."Mas Suma jangan begini, bahaya. Konsen ke jalan saja," kataku sambil berusaha menarik tanganku. Tidak terlepas malah genggamannya dieratkan."Biarkan saya menggenggam tanganmu biar hati ini selalu tenang. Tetap di sini!"ujarnya.Dia menaruh tanganku di paha kirinya ketika tangan kirinya harus memindah gigi mobil. Setelah itu, kembali tanga
Merasa dihempaskan semakin menguasai hati ini. Seakan tahu apa yang aku rasakan, secepatnya Tuan Kusuma mengambil kursi kecil untuk duduk di dekatku. Kedua tanganku yang sudah mengepal erat, mencoba menghindar darinya."Mas Suma, saya merasa tidak pantas untuk bersamamu. Bolehkan saya, saya ...," kataku terputus dengan isakanku. Aku merasa tidak mampu menyelesaikan kata-kataku. Air mataku luruh dengan sendirinya. Keinginanku bisa membuat aku berpisah dengannya. Aku ingin memulai lagi membangun hidupku. Aku ingin bisa berjalan tegak dan bangga dengan apa yang aku punya. Dan, itu berarti aku tidak di sini Tuan Kusuma langsung meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Kedua tanganku tetap mengepal didadaku, membuat jarak antara aku dan dia."Rani, jangan seperti ini. Saya merasa sakit melihatmu seperti ini! Rani, saya sangat mencintaimu. Maafkan aku," bisiknya lirih. "Mas Suma, bolehkah saya memantaskan diri sebelum kita bersama? Saya ingin tunjukkan ke dunia, bahwa saya layak dicintai o
Bab 40. Dukungan Ibu"Asyik! Kita jalan-jalan!" teriak Amelia kegirangan setelah mendengar rencana kami untuk ke kampungku."Kak Wisnu, ajak ke sawah, ya! Amel mau meliat orang bajak sawah!" pintanya dengan nada manja ke Wisnu. "Nanti ke tempat peternakan ayamnya Eyang, Eyang siapa, Kak?" tanyanya lagi."Eyang Uti Sastro!" jawab Wisnu. Sastro adalah nama Bapak, beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Beliau dahulu adalah Lurah di desa kami. Praktis, semua orang di sana mengenal dan menghormatinya.Di rumah tinggal Ibu yang ditemani sepupu. Beliau ditemani banyak saudara. Hampir seluruh kampung, masih ada hubungan kerabat dengan kami, sampai-sampai Wisnu menyebutnya 'kampung sejuta eyang', karena semua orang tua dipanggilnya eyang.Ada-ada saja!Ibu menyambut dengan senang ketika tadi malam menelponnya. Aku memberitahu bahwa kami besuk akan datang dan apa keperluannya.Setelah subuh, kami berangkat. Tuan Kusuma, Amelia, Wisnu dan aku. Sepanjang jalan Amelia dan Wisnu tidak
"Kampungmu indah! Udaranya sejuk dan membuatku terasa damai!" Tuan Kusuma merentangkan tangannya dengan mata terpejam dan menghirup dalam-dalam udara segar ini. Silir-silir angin menyibak rambutnya yang sempat terkulai dikening. Setelah insiden Amelia kecebur ke sawah, Tuan Kusuma sempat marah ke Amelia dan Wisnu. Seperti biasa, alasan keselamatan. Kecemasan memang menandakan kasih sayangnya, tetapi kalau berlebihan sering membuat kita tidak nyaman.Untung Amelia sudah kebal akan hal itu. Malah dia antusias bercerita pengalaman yang tidak terlupakan itu, tanpa memperdulikan wajah marah papinya."Papi! Papi rugi deh, kalau tidak keliling kampung. Bagus banget! Sama Tante Rani, aja, jalan-jalan!" Dengan baju kedodoran milik Wisnu dia asyik saja memaksa untuk adventure berikutnya, ke peternakan ayam Eyang Sastro. Awalnya Tuan Kusuma keberatan, tetapi akhirnya memberi ijin setelah mereka pergi diantar Paklik Totok."Rani! Kamu sering ke sini, ya?!" tanya Tuan Kusuma mengagetkanku. Dia
"Mas Suma, ke-kenapa? Jelek ya?" tanyaku ragu."Bahaya kamu, Ran!" ucapnya tiba-tiba."Maksudnya?" tanyaku heran. Aku dekatkan dudukku ke arahnya. Tak sabar aku ingin tahu, apa yang dia maksud."Ternyata, kalau kamu dibiarkan bisa melesat seperti anak panah. Itu yang saya takutkan!"Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan. Ditariknya dudukku lebih mendekat. Mungkin wajahku kelihatan ketidakmengertianku."Lihat ini, kamu membuat sesuatu yang sederhana, tetapi diluar dugaan orang lain. Yang gilanya lagi, tidak hanya sekedar indah tetapi usefull! Good job! Ini baru Maharaninya Kusuma," katanya sambil memelukku erat. Hmm, belum apa-apa sudah menambahkan namanya. Aku tersenyum lega menyambutnya. Semoga kerja kerasku berhasil."Besuk, kita mulai produksi sampelnya. Masih cukupkan waktunya?" bisiknya dengan lembut. Dikecup keningku dengan lembut. Kami tersenyum bersama, satu langkah terlewati.Kerja kalau ditemani orang terkasih memang membuat lebih semangat. Apalagi dapat du
Bab 43. I Love You-------------"Siapapun itu, termasuk perempuan akan 'melesat maju' apabila diberi kesempatan dan dukungan"-------------"Papi! Tante Rani! Kok, tidur di sini?!" Samar-samar terdengar suara memanggil namaku. Tanganku seperti ada yang menarik-narik. Aku mengerjapkan mata yang masih terasa berat."Tante Rani!" Suara itu terdengar lagi.Amelia? Kenapa dia di sini? Terus aku di mana?Astaga ....Aku, tepatnya aku dan Tuan Kusuma masih berada di teras rooftoop!Terakhir, yang aku ingat kami menerima kabar kemenanganku di kompetisi itu. Kami sama-sama menangis bahagia."Mas Suma! Akhirnya, saya bisa melangkah lega di sampingmu. Ya, Allah, terima kasih!" teriakku bahagia. Air mata meluncur dengan sendirinya, air mata bahagia yang sebelumnya tertahan dengan rasa cemas dan takut.Semua diluar dugaanku, berbekal ilmu yang aku punya, kemauan dan pastinya hati, ternyata menghasilkan karya yang layak diappresiasi."Rani, akhirnya kamu akan menjadi wanitaku! Kamu tahu tidak.
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. âJangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.â âSiap, Nyonya Rani.â Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. âArtisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,â ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. âAku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,â ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. âTapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?âIni untuk tahun ke berapa, Bu Rani?â tanya ClaudiaâBaru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?â Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi âŚ. Sip!âAku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,â ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.âKeluarga besar menggunakan pilihan
âBerhasil?â tanya Maharani menyambutku.âDesi?ââIya.ââSangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,â ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.âAnind dan Denish?ââSudah tidur. Ini sudah malam,â ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.âWisnu masih lembur?ââIya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,â ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.âWisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.âUcapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.âMereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.âDesi. Berapa lama kamu kerja di sini?âAku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.âDari mulai fresh graduate sampai sekarang.â
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.âJadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?â tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. âIya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.âGila!â seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?âMama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,â ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.âLaki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.ââMama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.âTidak usah, Ma.ââKenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,â ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.âKita kemana, Ma?â ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.âKita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,â jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. âSelamat datang, Nyonya Maharani.âAku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.âHai, Bu Rani. Lama tidak kesini!â seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.âKenalkan ini Rima, calon mantu,â ucapku kemudian mendekat, âcalonnya Wisnu.âClaudia langsung mengarahkan