Mataku terbelalak, jantungku berdetak lebih kencang. Sekuat tenaga aku berteriak dan loncat ke arahnya."Raniiiiiiiiii ...!"Tanganku menggapai dan berhasil menariknya. Dia terkulai terbenam dipelukanku."Rani, Ran!" panggilku untuk menyadarkannya. Aku menggoncang tubuhnya. Tiba-tiba terbersit cahaya menyilaukanku. Semakin terang dan membuatku terpejam. Samar terdengar ada yang memanggil namaku."Suma ... sadar! Suma!"Aku mengerjapkan mata dan terlihat dr Hendra di depanku. "Hendra! Rani! Maharani mana? Tadi dia di sini!" teriakku."Sabar, Suma. Sabar. Tadi kamu pingsan. Nanti, aku akan mengantarmu kepadanya," jawab dr Hendra."Tidak! Aku mau sekarang!" teriakku sambil bergegas turun dari ranjang.***Di sini, aku duduk di sampingmu. Menatap wajah ayumu yang terlihat pucat. Genggaman tanganmu tak rela aku lepaskan.'Rani, aku di sini untukmu. Bangunlah dan puaskan omelanmu untukku. Aku merindukanmu.'"Suma, biarkan Maharani istirahat. Mari kita keluar," pinta dr Hendra."Tidak, ak
Tuhan sudah memberiku kenikmatan yang luar biasa. Keluarga, pekerjaan dan sahabat yang mendukung dan menyayangiku. Sakitku ini bukanlah musibah, namun pembuktian bahwa mereka yang kucinta ada untukku. Tidak hanya anak-anak dan suami, tetapi juga teman kerja yang setia membantuku, termasuk semua yang mendukungku di rumah ini. Jadi untuk apa aku kawatir? Toh, aku masih bisa menjalankan aktifitas sehari-hari. Semua menyambut gembira kepulanganku, terlebih anak-anak yang selama ini terpisah. Aku yang duduk bersandar di ranjang dikelilingi Wisnu dan Amelia yang mengajak adik-adiknya—Anind dan Danish. Seakan menahan rindu yang sangat, kedua balitaku berceloteh sembari menempel di tubuh ini. “Akhirnya Mama pulang ….” ucap Wisnu sembari memijit kakiku. Wajahnya menunduk seperti menyembunyikan sesuatu. “Selama tidak ada Mama di rumah sakit, rumah seakan kosong,” tambahnya lirih. Tangannya mengusap kasar wajahnya dan memberiku senyuman dengan mata yang sudah memerah. “Sini, Kak,” ucapku den
“Jangan, kawatir, hal ini dilakukan supaya penyakit tidak menyebar, toh satu ovarium masih dalam keadaan bagus dan sehat. Untuk kerja hormon tetap normal. Jadi ini tidak akan mengurangi kemesraan kalian," jelas Dokter Hendra dulu. Kalau dipikir, bagaimana bisa operasi ini tidak berpengaruh kepadaku? Ovarium yang menjadi pabrik untuk memproduksi hormon dihilangkan dari tubuh ini. Memang benar, aku masih mempunyai satu indung telur, tapi bukankah itu akan pincang karena bekerja sendirian? Ini sama saja aku tidak lagi menjadi wanita seutuhnya lagi. Separuh yang aku punya sudah tidak ada lagi. Apa yang aku baca ternyata sekadar teori belaka. Beberapa buku tentang penyakit ini, aku lahap habis. Bahkan makalah dari penelitian pun aku telaah dengan cermat. Namun, mereka hanya menyatakan secara medis operasi yang aku lakukan tidak berpengaruh pada keseharian. Bagaimana bisa? Buktinya, aku mulai malas ketika Mas Suma mencoba mendekatiku. Hasrat untuk bersamanya tidak bergelora seperti sebelu
Rumah terlihat sepi. Tidak terlihat kedua anak balitaku, Danish dan Anind. Mata ini langsung menilik jam di dinding. Menunjukkan angka satu, pantas saja tidak terdengan suara mereka. Pasti kedua anakku sedang tidur siang.Saat aku sakit, kedua balitaku ini sepenuhnya diasuh babysister. Mbak Tyas pengasuh Danish yang berumur empat tahun, sedangkan Anind-adiknya- yang baru satu tahun diasuh oleh Mbak Dwi. Sebenarnya aku tidak perlu mengkawatirkan mereka, karena kedua pengasuh sudah mengasuh sejak mereka lahir. Apa yang harus dilakukan pun sudah aku ajarkan sebelumnya. Mulai jadwal kegiatan dan makanan apa yang bisa diberikan.Sebelumnya, walaupun ada pengasuh, aku tetap memberi perhatian kepada mereka. Tak jarang mereka bermain dan tidur bersama kami, tapi sekarang Mas Suma melarangnya. Tentu saja dengan alasan kesehatanku.Sejujurnya aku merasa bersalah, terutama Anind yang masih membutuhkan ASI. Semenjak aku dirawat di rumah sakit, terpaksa aku menyapihnya.Benar, mereka sedang tertid
Apakah yang aku tangkap ini benar? Aku akan mencari tahu nanti.***“Mas Suma mau dibuatkan teh?” Usapan lembut di bahu ini dan suara Maharani menghentikan aktifitasku.Sejenak aku jauhkan laptop kemudian menoleh ke arahnya. Senyuman yang aku rindukan menghias di wajah istriku yang masih terlihat pucat. Dalam keadaan seperti ini pun, dia masih berusaha memperhatikan aku. Sikap manjaku kepadanya seperti sudah menjadi kebiasaan dan tanpa sengaja menjadi tuntutan yang harus dia lakukan. Walaupun dalam keadaan sekarang ini.Kuusap lembut punggung tangannya, kemudian menarik tubuhnya ke pangkuanku. Sekilas, aku merasa tubuhnya tegang, walaupun terhapus dengan senyuman seperti biasanya. Bobot tubuh istriku tidak seberat sebelumnya. Tubuhnya terlihat lebih kurus, malah terasa ringan di pangkuanku.“Mas Suma. Apaan, sih. Ditawarin minum kok malah jadinya gini,” ucap istriku sembari mengalungkan kedua tangannya padaku.Aku tersenyum sembari mencium bibirnya perlahan, kemudian menautkan rambutn
Apa yang harus aku lakukan?Lebih baik aku beri waktu dia sejenak untuk mengurai rasa kekesalannya. Di waktu emosi tidak stabil, kata apapun tidak akan didengar. Biarlah, aku harus mengalah dan lebih bersabar. Dia pasti membutuhkan ruang untuk menenangkan pikiran. Anggap saja, ini memberi jeda kami berdua untuk meredakan emosi. Jujur, aku merasa serba salah dan tidak mengerti kenapa di bereaksi seperti ini.Aku yang semula duduk di sebelahnya, kemudian merosot duduk di lantai sembari bersandar di sofa. Dengan lengan tertumpu pada satu lutut yang tertekuk, aku menerawang tatapan ke arah tirai yang menyorot sedikit sinar. Menghadapi istri yang sedang ngambek, seribu kali membingungkan dibandingkan menghadapi client yang rewel. Sungguh, sebenarnya aku merasa kesal karena tidak mengerti salahku dimana, sehingga dia beraksi seperti ini.“Kenapa Mas Suma ke sini. Aku kan ingin sendiri,” ucapnya setelah sekian waktu terdiam. Terdengar dia beringsut dan membalikkan tubuh. Segera aku balikkan
POV MaharaniDalam keterbatasan, ternyata kami masih bisa menikmati kebersamaan ini. Walaupun sempat terjeda, tetap saja hasrat yang sudah terpaut enggan untuk disudahi.Sofa ini menjadi korban pelampisan kami, bantal yang semula berjajar rapi terlempar entah kemana demi memberi ruang kami berdua. Sembari manata napas, tangannya memeluk pinggang ini dengan sesekali masih mengenduskan hidung di tengkukku yang masih lembab karena keringat. Untung saja ada kain rajut berukuran lebar yang biasa aku letakkan di sandaran sofa. Sekarang, berguna melindungi kami yang sudah kehilangan pakaian yang entah tercecer dimana.“Sebentar, Ran. Aku masih ingin peluk seperti ini,” bisiknya ketika aku hendak mengurai tangannya.“Tapi, Mas. Nanti ada yang datang.”“Tidak mungkin. Wisnu pasti mencegahnya. Dia tahu aku menyusulmu ke sini.”Sontak, aku kaget dan membalikkan tubuh ke arahnya. “Jadi dia tahu kita—““Wisnu sudah gede. Bukan anak kecil lagi, Honey. Dia juga anak yang pengertian, memberi waktu Ma
Sejak kejadian itu seperti awal pembebasanku pada tugas di keluarga ini. Mas Suma seakan membiarkan apa yang akan aku lakukan. Dia tidak berkomentar apalagi cerewet melarangku ini dan itu. Begitu juga semua pekerja di sini. Tidak ada lagi kata-kata yang menyiratkan perintah dari suamiku untuk membatasi aktifitasku. Entah itu memasak, bermain dengan kedua balitaku, bahkan kerja seharian di kantor, walaupun berakhir dengan badan lemas kehabisan tenaga.Lega di hati ini, bisa bebas melakukan apapun. Namun, ada rasa kehilangan perhatian darinya yang sering membuatku sebal. Mas Suma seperti membuat jarak di antara kami.Aku merasa diabaikan.“Pagi, Ma. Hmm … baunya harum.” Suara Amelia menghentikanku mengaduk nasi goreng dan menoleh ke belakang. Amelia sudah siap berangkat sekolah. Dia sudah duduk di meja makan bersiap untuk makan pagi.“Pagi, Sayang. Ini Mama bikinkan nasi goreng kesukaanmu,” ucapku sembari melanjutkan kegiatan masak yang sudah hampir selesai. Bik Inah sudah yang sedari m
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan