POV MaharaniDalam keterbatasan, ternyata kami masih bisa menikmati kebersamaan ini. Walaupun sempat terjeda, tetap saja hasrat yang sudah terpaut enggan untuk disudahi.Sofa ini menjadi korban pelampisan kami, bantal yang semula berjajar rapi terlempar entah kemana demi memberi ruang kami berdua. Sembari manata napas, tangannya memeluk pinggang ini dengan sesekali masih mengenduskan hidung di tengkukku yang masih lembab karena keringat. Untung saja ada kain rajut berukuran lebar yang biasa aku letakkan di sandaran sofa. Sekarang, berguna melindungi kami yang sudah kehilangan pakaian yang entah tercecer dimana.“Sebentar, Ran. Aku masih ingin peluk seperti ini,” bisiknya ketika aku hendak mengurai tangannya.“Tapi, Mas. Nanti ada yang datang.”“Tidak mungkin. Wisnu pasti mencegahnya. Dia tahu aku menyusulmu ke sini.”Sontak, aku kaget dan membalikkan tubuh ke arahnya. “Jadi dia tahu kita—““Wisnu sudah gede. Bukan anak kecil lagi, Honey. Dia juga anak yang pengertian, memberi waktu Ma
Sejak kejadian itu seperti awal pembebasanku pada tugas di keluarga ini. Mas Suma seakan membiarkan apa yang akan aku lakukan. Dia tidak berkomentar apalagi cerewet melarangku ini dan itu. Begitu juga semua pekerja di sini. Tidak ada lagi kata-kata yang menyiratkan perintah dari suamiku untuk membatasi aktifitasku. Entah itu memasak, bermain dengan kedua balitaku, bahkan kerja seharian di kantor, walaupun berakhir dengan badan lemas kehabisan tenaga.Lega di hati ini, bisa bebas melakukan apapun. Namun, ada rasa kehilangan perhatian darinya yang sering membuatku sebal. Mas Suma seperti membuat jarak di antara kami.Aku merasa diabaikan.“Pagi, Ma. Hmm … baunya harum.” Suara Amelia menghentikanku mengaduk nasi goreng dan menoleh ke belakang. Amelia sudah siap berangkat sekolah. Dia sudah duduk di meja makan bersiap untuk makan pagi.“Pagi, Sayang. Ini Mama bikinkan nasi goreng kesukaanmu,” ucapku sembari melanjutkan kegiatan masak yang sudah hampir selesai. Bik Inah sudah yang sedari m
“Rani!”Teriakan yang membuatku menghentian langkah dan mendongak ke atas. Sosok yang selama ini mendukungku, tanpa berharap balasan. Dia, Pak Tiok yang sedang berdiri di balkon dengan secepat kilat turun menghampiriku yang baru saja turun dari mobil. Sempat terhenyak dengan penampilannya yang selalu memesona.Usianya memang tidak muda lagi. Namun, tubuhnya yang terjaga tidak menggembung, membuat dia tetap memesona. Apalagi ditunjang penampilannya yang nyentrik, baju panjang dengan lengan digulung dan celana jeans. Rambut panjang sebahu dibiarkan terurai dan bergerak bebas membingkai wajahnya yang terlihat bersemangat menyambutku.Mungkin karena semangatnya, dia lupa menyematkan kata ‘bu’ saat memanggilku. Satu dari beberapa persyaratan dari Mas Suma saat memberi izin kerjasama ini. Walaupun kami dulu berteman, tetapi untuk menjaga jarak, kami harus bersikap formal. Termasuk dalam hal panggilan.“Kalau Bu Rani bilang akan datang, pasti aku jemput,” ucapnya seraya mengulurkan tangan u
Aku tidak mau sahabatku ini terjebak kembali dalam perasaan yang tidak mungkin berbalas. Bagiku, Pak Tiok tidak sekadar sahabat, tetapi sudah seperti saudara.“Pak Tiok ….”“E, maksudku. Saya tetap perhatian kepadamu,” ucapnya sambil memutar kepala ke arahku. “Bukankan kita. Maksud saya, kamu, Pak Kusuma, dan anak-anak sudah menjadi lebih dekat? Kalian sudah aku anggap saudara sendiri. Kamu tahu kan, aku tidak punya saudara.”“Oh, begitu,” ucapku dengan lega dan kembali menyeruput kopi sampai tandas.Kami pun melanjutkan berbincang ringan tentang gallery. Sesekali diselingi dengan kenangan kami yang membuat tawa tercipta. Aku akui, dia memang jago mencairkan suasana dan membuatku lupa pada masalah yang sebelumnya menghantui hati ini.“Sebentar, ya,” ucapnya kemudian mengambil ponsel di saku celananya.Ternyata mode getar menandakan ada pesan yang masuk. Wajahnya mengernyit saat membacanya, kemudian menatapku sekilas dan menulis sesuatu di sana. Ah, mungkin saja itu dari wanita yang la
Seketika, menyeruak aroma tubuhnya di penciumanku. Ya, aroma yang sangat aku hafal dari mana datangnya.“Mas Suma ….” Kata itu yang sempat terlontar dari mulut ini sebelum pandanganku menggelap dengan sempurna.***Aku melihat Mas Suma di antara tingginya ilalang yang bergerak tertiup angin, menghalangi pandangan mataku. Seperti biasa sosok yang sangat aku kenal ini memasukkan kedua tangan ke saku celana dengan posisi membelakangiku.Dengan menyibak halangan langkah ini, aku berusaha mendekatinya. Namun entah kenapa, semakin aku mendekat, jarak kami semakin jauh. Perih kaki dan tangan ini terkena goresan daun ilalang yang tajam. Semakin kaki ini berusaha mendekat, semakin tenagaku seakan terkuras habis.Aku harus memanggilnya supaya dia yang mendekatiku seperti yang biasa dia lakukan. Ada di sampingku selalu dan menggangu, bahkan terkadangmembuat hati ini kesal.“Mas Suma! Mas Suma!” Teriakanku seperti lenyap begitu saja oleh angin. Terbang dan hilang tanpa sempat menyapa pendengaran
”Mama!” Amelia menyambut kedatanganku. Dia langsung menghambur memelukku. Dengan semangat, tubuhnya yang sudah besar membuatku terhuyun. Untung saja, Papinya dengan sigap memegang tubuh ini. “Amelia! Jangan asal nubruk. Mama masih sakit!” teriak Mas Suma dengan kesal. Amelia yang merasa bersalah langsung beringsut dan menggandeng lenganku di sisi lainnya. Bersama mereka berdua, aku dipapah masuk ke kamar. “Amelia! Biarkan Mama istirahat. Jangan ganggu Mama! Kamu ini nempel aja. Sudah besar, adiknya saja sudah dua!” Mas Suma memberi kode ke anak gadisnya untuk pergi meninggalkan kamar. Wajah Amelia menunjukkan keengganan, bibirnya mengerucut sambil berguman. “Mas Suma. Biarkan Amel di sini sebentar. Mama juga kangen dengan Amel, kok,” ucapku sembari menariknya untuk berbaring di sebelahku. “Boleh. Tapi sebentar, ya!” Sambil menunjukkan senyum kemenangan kepada Papinya, dia memeluk pinggang ini. Kepalanya diselusupkan di ketiak ini, kebiasannya saat merasa kangen kepadaku. Kemanjaa
Perlahan, tangan ini menyelusup masuk di piyama tidurnya. Memberi tanda kalau akupun menginginkannya. Apapun harus aku usahakan demi kebahagiaannya. Kalau perlu, besuk aku mencari tahu suplemen apa yang membuatku bisa kuat seperti sedia kala. Tubuh ini mulai meremang saat dia menangkup tangan ini sembari menciumku dengan lembut. Biasanya, dia akan segera menyambut penawaran seperti ini tanpa membuang waktu. Tidak kusangka, Mas Suma justru merengkuh kepala ini sambil berbisik, “Honey, malam ini aku capek. Kita pelukan saja, ya.” Tanganku diletakkan di pinggangnya. Kemudian dia menyelimuti tubuh kami dan menciumku kembali sebelum terdengar napasnya yang menandakan dia sudah merajut mimpi. Huuft! Syukurlah, malam ini aku bisa beristirahat. *** Hari ini, meja makan terasa lengkap. Wisnu mempercepat rencana kembali ke rumah setelah mendengar aku sakit kembali. Dia yang sudah semester akhir, memutusnya menyelesaikan laporan penelitian di rumah. Toh, perjalanan ke kota tempat dia kuli
“Mas Suma benaran tidak apa-apa kami tinggal di rumah? Hanya ada Bik Inah dan satpam saja. Pak Maman juga ikut pergi,” ucapku sembari memasang dasi. Rumah yang biasanya ramai, mendadak menjadi sepi. Tidak bisa aku bayangkan, di setiap malam Mas Suma sendiri di rumah sebesar ini. “Tidak apa-apa. Yang penting, kamu bisa istirahat,” ucapnya sembari menarik pinggang dan membubuhkan ciuman di kening ini. Sikap romantisnya tetap tidak berubah. Namun, kebiasaannya yang tidak mau kalah dan ingin menang sendiri, lenyap begitu saja. Biasanya, dia ingin dinomor satukan selalu. Bahkan sering kali bertengkar dengan Amelia hanya karena berebut perhatianku. Ini … dia malah bersikap seakan tidak membutuhkan aku lagi. Tidak ada rasa keberatan untuk kami tinggalkan. Seperti ada alarm di otakku. Melihat mobilnya berderu meninggalkan halaman rumah membuat hati ini seperti akan kehilangan dia. Ingatanku teringat dengan bacaan yang aku baca. Tanda-tanda suami yang sudah mempunyai kebahagiaan lain di luar
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan