"Pasti Pak. Bapak, jangan kawatir. Tolong kasih tahu alamatnya dan kami akan langsung ke sana," ucapku mencoba menenangkan. Mas Suma pernah bercerita, Catherine anak tunggal Pak Wahono. Sejak kecil selalu dimanja dan segala keinginannya dituruti. Karena itulah, Catherine tumbuh menjadi orang yang ambisius dan egois. Wujud kasih sayang untuk anak tunggalnya, membuat Pak Wahono kewalahan. Seperti saat, dia terpaksa mengecewakan Catherine karena tidak bisa membujuk seorang Kusuma untuk bersama dengan putrinya."Suma, aku bersedia melepas sahamku untukmu semuanya, asalkan kamu bersedia menjadi menantuku," ucap Pak Wahono, menurut cerita Mas Suma."Om, Catherine sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Saya tidak bisa lebih dari itu," jawab Mas Suma saat itu. Dia sudah memiliki Amelia dan sudah berstatus duda."Apa yang kurang dengan putriku. Dia cantik, pintar dan penampilannya juga luar biasa.""Maafkan Suma, Om."Sejak itulah Mas Suma berusaha menjauh dari mereka, bahkan mengubah
"Suma ... ini salah saya. Yang terjadi ini salah saya," ucapnya menangis terisak.Mas Suma memandang kami bergantian. maksud Pak Wahono apa?*Pak Wahono bercerita keadaan Catherine. "Catherine ditinggal ibunya sejak kecil. Saya sangat sayang kepadanya, apapun yang dia minta pasti saya usahakan. Saya tidak bisa menolak keinginannya, walaupun terkadang itu keliru. Begitu juga saat ingin menikah dengan pria pilihannya. Saya sudah menyelidiki latar belakangnya. Walaupun tidak setuju, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya menjadi seperti ini," ucap Pak Wahono dengan terisak. Aku sodorkan tissue kepadanya. "Dia bertemu Remon ketika peragaan busana. Memang dia kaya dan berpenampilan menarik, sangat cocok dengan Catherine, tetapi sepak terjang di dunia bisnis terkenal kejam. Itu yang saya takutkan, awalnya. Catherine menyakinkan Om, Suma. Kalau dia baik-baik saja dan dia akan bahagia," jelasnya."Kamu tahu, kan. Catherine kalau ada maunya tidak bisa dicegak?" "Om Wahono mulai kapan m
"Dalam hidup memang tidak terlepas dari ujian. Siapapun itu. Tergantung kita menghadapi masalah bagaimana. Diilustrasikan, apakah kita termasuk golongan wortel, telor atau kopi?" terangku. Wisnu langsung mendongak ke arahku."Apa hubungannya, Ma?""Mereka kalau melalui proses perebusan yang diilustrasikan kesulitan, akan menunjukkan reaksi yang berbeda. Seperti wortel, awalnya keras setelah direbus bagaimana?""Empuk, Ma.""Iya. Wortel yang awalnya keras dan kuat, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, dia menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu. Kalau telor?""Mengeras!""Iya. Awalnya cair, fleksibel yang diartikan orang dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya cobaan, hatinya menjadi keras dan kaku, walaupun dari luar kelihatan sama. Kalau kopi?""Kalau kopi kesukaan, Mama. Diseduh dengan air mendidih, baunya harus membuat kita bersemangat dan tidak ngantuk," ucap Wisnu."Betul. Bubuk kopi yang hanya butiran halus, ketika dikucur air panas harumnya terasa nik
Nyonya Besar dengan kejutan seperti biasa, membawa truk dan sekarang entah isinya apa.***Mas Suma langsung bergegas memastikan apa yang terjadi, dan aku mengikutinya."Pi, Eyang Uti di depan," sambut Wisnu di depan pintu kamar. Di tempat parkir ada Nyonya Besar yang terlihat resah, begitu juga pengawai yang mengikuttinya. Amelia juga sudah di sana. Ada sebuah truk besar terparkir di pinggir jalan, lebih tepatnya food truk."Mami! Ini apa?" tanya Mas Suma sembari mengernyit berjalan mengelilingi truk. Truk bisa dibuka satu sisi di bagian samping. Ada estalase berisi lauk yang berjajar seperti warung makan berjalan. Ada saja yang dilakukan oleh Nyonya Besar."Tadi kami bermaksud membagi makanan gratis, tetapi malah di usir dengan petugas. Kami bingung mau ke mana, akhirnya ke sini saja," terang Anita, asisten Nyonya Besar. "Biarkan Mami istirahat dulu saja. Nanyaknya nanti," ucapku sembari memapah mertuaku yang terlihat lelah. "Sudah, aku sama Bik Inah saja. Kamu tolong urus makanan
Kepalaku diusapnya pelan, kami melanjutkan melihat kesibukan Nyonya Besar bersama anak-anak. Tujuan panti lainnya sudah ditangani Anita, jadi setelah kegiatan ini selesai, kami pun segera pulang."Suma, Rani! Mami langsung pulang. Anak-anak ikut ke rumah Mami. Tadi Wisnu cerita tentang program Berbagi Makan. Mami ingin bicara dengan dia dan ingin gabung!" ucap Nyonya Besar sembari menggandeng tangan Wisnu dan Amelia."Ibu juga masih ingin bercanda dengan mereka. Besuk siangan biar diantar sopir untuk pulang," kata Nyonya Besar."Baik, Bu. Kami mohon pamit," ucap kami dan bergantian mencium tangan Nyonya Besar. Kamipun berpisah mobil dengan mereka."Ran, kamu kenapa?" tanya Mas Suma saat di dalam mobil. Entah kenapa, aku merasa tidak bertenaga dan lemas."Tidak apa-apa, Mas. Mungkin karena ngantuk.""Tidurlah, kamu terlalu capek. Semua kamu urus. Rumah, kantor, bahkan urusan Ibu," ucapnya dengan mengusap kepalaku. "Tempat duduknya kamu tarik ke belakang dan direbahkan. Kamu bisa sel
"Rani, wajahmu masih pucat. Aku tidak memperbolehkanmu puasa!" ucapan Mas Suma tegas, tertanda tidak bisa dibantah."Kamu mau ke mana?" tanyanya ketika aku menurunkan kaki dari tempat tidur."Iya aku tidak puasa, Mas. Aku hanya ingin menyiapkan makan sahur Mas Suma saja," ucapku memandangnya. Aku memejamkan mata, rasanya seperti pandanganku berputar mendera dikepalaku dan lemas sekujur badanku. Aku kenapa? Tidak biasanya seperti ini."Rani, kamu kenapa?" ucap Mas Suma, dia langsung jongkok di depanku, menatap wajahku dengan lekat. "Mas, aku pusing. Sahurnya minta tolong Bik Inah siapkan, ya. Amelia atau Wisnu suruh panggil. Eh iya, mereka tidak ada, ya. Aku saja ...""Stop! Aku bisa urus diriku sendiri. Bik inah aku panggil saja. Kamu tidak usah kawatir.""Tapi Mas Suma?"Mas Suma menggoyangkan kedua telunjuknya di depan wajahku, tanda tidak boleh membantah. Dinaikkan kakiku, dan dibaringkan tubuh ini di ranjang."Sudah, istirahat saja. Atau, aku bikinkan susu?" "Tidak, Mas Suma. Ak
"Saya pakai kontrasepsi. Kenapa bisa begitu?" Lalu dr. Hendra menjelaskan. Aku mengalami hamil ektopik yang dikenal dengan hamil di luar kandungan.Menggunakan IUD ada kemungkinan terjadi kehamilan ektopik, walaupun kemungkinan hanya sekitar 0,1 persen saja. Kondisi ini di mana sel telur dibuahi di luar rahim. Itu yang terjadi kepadaku.Perkembangan janin yang tidak pada tempat semestinya, membuat perkembangan tidak normal dan akhirnya keguguran."Mas Suma, Danish dan Anin bagaimana?""Anak-anak, aman. Amelia dan Wisnu sudah di rumah, mereka bertugas mengawasi adik-adiknya. Kamu istirahat yang tenang, ya," ucap Mas Suma mengusap punggung tanganku."Ran, aku sangat kawatir melihatmu seperti itu. Aku takut terjadi sesuatu yang fatal. Membayangkan kehilanganmu, membuatku gila!" ucap Mas Suma merangkul tubuhku.Dia duduk di banggu di sebelah ranjang, kelapanya diletakkan disebelah sisiku. Aku membelai rambutnya berusaha menenangkannya."Kamu jangan begitu lagi, ya? Aku tidak sanggu
Aku pun semakin membenamkan kepalaku ke dalam pelukannya. Mas Suma, suamiku. I love you *"Mas Suma ... aku sakit apa?" tanyaku melihat raut kegusaran diwajahnya. Dengan kedua tangannya dimasukkan di saku celana, dia mondar-mandir dari kamar rawatku ke ruang tamu, atau berkeliling di kamar dengan sesekali melongok ke luar jendela. Tidak mungkin dia menantikan sesuatu, karena kamar ini terletak di lantai lima. Kebiasaan lamanya mulai muncul lagi. Biasanya, dalam keadaan ini aku akan membuatkan teh chamomile untuknya dan mengajaknya berbincang sampai dia merasa tenang."Mas Suma," panggilku sekali lagi ketika dia berjalan dekat denganku. Aku raih lengannya untuk berhenti. Mas Suma berhenti melangkah dan berbalik ke arahku. Meletakkan kedua tangannya di bahu ini, dan menatap ke arahku dengan sendu. Aku terhenyak melihat sorot mata itu, ada kesedihan yang terlihat jelas di sana."Ada apa, Mas Suma?” Aku menatap matanya dan mengarahkan tanganku ke wajah yang terlihat sendu ini."Ran,
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan