"Kenapa? Biasanya dia selalu ngalah sama kamu?" tanyanya heran."Dia ngompori aku tentang pameran Maison O yang di Paris itu," ucapku mengadu. Mas Suma malah tertawa melihatku. "Rani ... Rani, baru kali ini aku melihatmu seperti Amelia kalau ngambek. Kamu ingin sekali ke sana?" tanya Mas Suma menarikku di sofa. "E ... tidak, Mas Suma. Jauh, dan aku belum pernah ke sana. Apalagi ada Baby Anind yang masih ASI," ucapku berusaha tersenyum normal."Iya, aku percaya. Kita beli makan, yuk. Buat buka puasa! Kamu ingin makan apa? Lontong kikil, mau?" ucap Mas Suma.Kesalku berangsur berkurang terganti rasa lontong kikil yang sudah terbayang. Ditambah sambal dan perasan jeruk nipis. Hhmmm, sedap.Sejenak aku lupa Maison O, aku lihat kesamping, Mas Suma sudah tersenyum seakan tahu apa yang aku pikirkan."Kelihatan jelas?""Apanya?""Yang ada disini," tunjukku ke kepala."Oo, ngiler soto kikil atau Maison O?" ungkapnya memperlebar senyuman di wajahnya.Tuh, kan!***Setelah membeli makan untuk
Pov KusumaCatherine. Nama itu muncul kembali mengusik kehidupan. Terasa mengganggu dan membuatku gerah. Tidak hanya terhadapku, tetapi mengganggu keluarga dan orang di sekitarku. Sikap lunakku tidak membuatnya tahu diri akan kedudukannya. Parahnya lagi, dia mengartikan bahwa aku masih memberinya peluang. Seperti saat itu. Aku menerima kedatangannya di kantor. Beralasan diutus Pak Wahono, Papanya yang memegang pabrik di Bandung, dia berhasil mengelabuhiku."Mas Suma ...!" teriaknya langsung berhambur memelukku erat. "Catherine ... tolong lepaskan. Ada apa?" tanyaku sambil melepas tangannya. Tidak menjauh, dia malah memandangku lekat. "Catherine, ada apa? Ayo kita duduk saja," ucapku langsung menariknya untuk duduk di sofa. Sengaja aku duduk di seberangnya, di sofa single."Mas Suma, aku sekarang sudah bebas," ucapnya dengan mata berbinar dan senyuman lebar. "Bebas? Bebas maksudnya apa?""Suamiku sudah meninggal dan dia memberiku warisan yang banyak. Kita akan menjadi team yang k
POV Maharani Kebiasaan Mas Suma, suka lupa dengan apa yang dipesan. Tadi pagi sudah pesan akan buka puasa dengan pepes bakar, ternyata malah pulang terlambat. Entah apa yang dikerjakan, dia hanya memberitahu untuk tidak menunggunya. [Desi, apa masih ada meeting di kantor?] [Malam Bu Rani. Hari ini tidak ada jadwal meeting, Bu. Pak Kusuma sudah pulang setelah buka puasa. Saya sekarang sudah bersiap pulang] Balasan Desi berbeda dengan yang dikatakan Mas Suma. Kalau tidak ada meeting, dia kemana? Aneh, tidak biasanya dia seperti ini. Kejadian akhir-akhir ini membuatku kawatir dan membuat pemikiranku tidak baik. " Kak Wisnu! Tolong Mama ke sini sebentar!" teriakku. Wisnu yang berada di kamar langsung ke luar menghampiriku. "Ada apa, Ma?" "Kak, tolong cek mobil Papi sekarang ada di mana? Ini username dan paswordnya," ucapku sambil menyodorkan lap top Mas Suma. Aku ingat, dia memasang GPS Mobil Tracker di semua mobil, termasuk mobil yang dia pakai sekarang. Aku bisa melacak keberada
BRAAKK ...!"Mas Suma ...!" Aku langsung berhambur ke dalam. Sepi tidak ada orang. Ruangan ini terasa hening, di meja makan masih tersisa makanan yang sedikit berantakan. "Mas Suma ...!" teriakku sekali lagi."Sudah ketemu?" tanya Pak Tiok.Aku menggeleng dan terduduk lemas. Mas Suma kau dimana?"Ayo Ran. Mungkin di ruangan lain. Aku bertemu dengannya di sana, dekat balkon," kata Pak Tiok langsung berlari ke tempat yang dia maksud."Rani! Ini Pak Kusuma!" teriaknya. Aku langsung berlari menghampiri dan terlihat, Mas Suma tergeletak di sofa dengan mata terpejam. Kakinya terkulai ke bawah dengan pakaian berantakan, bahkan kancing bajunya pun sudah terbuka."Mas Suma!" "Sabar, Ran. Dia tidak apa-apa," kata Pak Tiok setelah mengecek denyut nadi dan pernapasan."Pak Tiok, tolong hubungi dokter Hendra," ucapku dengan memberikan ponselku kepadanya.*"Rani, Suma tidak apa-apa. Dia minum obat tidur dalam dosis lebih. Sebentar lagi dia pasti bangun. Jangan kawatir, ya," ucap Dokter Hendra
"Papi ...!" teriak Amelia menyambut kami. Ditemani Wisnu, mereka menunggu kami di depan pintu rumah.Amelia berhambur memeluk Papinya dan Wisnu langsung menghampiriku."Ma, Papi tidak apa-apa, kan?" tanya Wisnu sambil menggandeng tanganku."Ayo kita masuk dulu. Ceritanya di dalam," ucap Mas Suma menarik kami. Amelia masih lengket menggelendot di lengannya."Mas Suma, bersih-bersih dulu. Hilangkan bekas kotoran tadi," ucapku dengan mendorongnya masuk ke kamar. "Kalian tunggu sebentar, nanti Papi ke sini lagi. Amelia, tolong kasih tahu Bik Inah hangatkan bubur kacang hijau tadi. Nanti kita makan bersama." "Baik, Ma."*"Mas Suma, harus bersih-bersih badan. Saya tidak mau ada bekas Catherine di sana," ucapku sambil menyerahkan kantong plastik besar ke arahnya."Untuk apa ini?""Taruh yang Mas Suma pakai di sini. Saya tidak mau melihatnya, lagi."Tanpa melihatnya, aku berbalik menuju almari menyiapkan baju bersih untuknya. Rasa kesal masih lekat di hatiku. Mengingat keadaannya tadi deng
Pengakuan salah dari Mas Suma membuatku semakin bangga bersuamikan dia. Apalagi pengakuan itu, di depan anak-anak. Ini sebagai pelajaran bahwa tindakan salahnya dan tidak layak ditiru mereka. Harapanku, kejadian tidak menyenangkan kemarin membuat hubungan keluarga kami semakin erat. Tidak akan ada rahasia lagi diantara kami, selalu bercerita walaupun kita rasa itu tidak perlu.Kasih, cinta, sayang, kepercayaan dan keterbukaan untuk menjadikan keluarga yang kuat."Ran, sebentar lagi ulang tahun Wisnu," ucap Mas Suma. Dia menutup buku dan diletakkan di meja. Aku yang baru datang, langsung mengambil kursi untuk duduk di sampingnya. Kebiasaan baru kami di bulan puasa, setelah salat Subuh menghabiskan waktu berbincang atau membaca bersama di teras kamar. Kamar kami mempunyai teras belakang yang tertutup. Ada taman kecil di sana, teras berisi dua kursi malas dan di sampingnya ada dua rak tinggi berisi koleksi buku kami. Seringkali kami tenggelam bersama dalam buku bacaan dan diakhiri den
"Siang, Rani. Kamu ingin bicara tentang ulang tahun Wisnu, ya? Baru saja aku mau telpon kamu. Eh, mobil Wisnu sudah aku pesan. Perkiraanku, datang pas ulang tahun. Aku ingin kasih surprise buat dia!" ucapnya tanpa berhenti. Membuatku tertegun dan bertambah pusing kepalaku ini. Mas Bram sudah membelikan mobil Wisnu. Bagaimana dengan Mas Suma?"Rani ...! Katanya mau bicara, kok diam saja?!" teriak Mas Bram."A-aku cuma mau mengingatkan ulang tahun Wisnu saja," jawabku dengan masih tidak tahu apa yang bisa aku lakukan. "Ya pasti ingatlah. Wisnu itu anakku, darah dagingku. Tidak mungkin aku melupakan ulang tahun buah cinta kita," terangnya dengan sudah menyebut kata cinta. Aku harus cepat mengakhiri percakapan ini. Tidak baik kalau di teruskan."Baiklah, Mas. Maaf, tidak bisa lama-lama. Si kecil rewel. Salam buat ibunya anak-anak, ya," pamitku langsung menutup sambungan telpon, sampai aku lupa mengucapkan salam. Pikiranku kosong, tidak ada cara atau ide untuk mendamaikan keinginan mere
Hari ini aku tidak ke gallery, begitu juga Mas Suma tidak ke kantor. Semua libur. Semua mencurahkan waktu untuk ulang tahun Kak Wisnu sore nanti. "Eyang Uti ke sini, Ma?" tanya Amelia."Eyang Uti di kampung. Di bulan puasa, Eyang Uti bersama Eyang Sastro," jelasku."Eyang Uti dan Eyang Sastro tadi sudah VC sama Wisnu. Mereka titip salan buat Mama!" ucap Wisnu sambil mencium pipiku. "Ma, Eyang Uti pindah ke ke kampung?" tanya Amelia."Bukan seperti itu, Eyang Uti membangun villa di sana. Tetapi, sementara nemenin Eyang Sastro," jelasku."Asyik, kalau begitu kita bisa sering-sering pulang kampung dong! Amelia suka ke pasar, banyak jajan kampung!" teriak Amelia."Huh ...! Dasar suka makan! Gendut!" celetuk Wisnu mulai mengganggu Amelia. "Daripada Kak Wisnu, cacingan! Makan banyak tapi tidak jadi daging. Kan kasihan Mama yang sudah capek-capek masak. Ya, Ma? Wek!" balas Amelia sambil menjulurkan lidah ke arah kakak sambungnya itu.Mereka seperti itu, seperti Tom dan Jerry. Selalu ada
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan