“Mulai minggu depan, anda akan menjadi asisten Dokter baru di poli umum!” ucap Kalandra tegas. “Dan untuk urusan mendampingi suster baru, sudah saya limpahkan sama yang suster lain.”Siapapun pasti tahu siapa sosok pria bernama Kalandra atau biasanya yang orang tahu Dokter arogan. Kalandra atau yang biasa disapa Dokter Andra adalah Direktur Aditama Hospital sekaligus putra dari pemilik rumah sakit.Nia masih bertahan di tempat duduknya tanpa bertanya lebih dulu. Menghadapi Andra harus dengan tenang kalau salah melangkah akan berakhir dengan pemecatan. Sudah banyak kasus, Dokter, perawat ataupun pegawai rumah sakit yang tidak menurutinya akan dipecat saat itu juga. Dan Nia tidak bisa membayangkan kalau ia dipecat. Bagaimana dengan anak dan Bundanya kalau itu semua terjadi. Ah, Nia hanya bisa mengelus dada untuk bersabar menghadapi orang nomor satu di rumah sakit ini.“Saya tahu kinerja anda yang baik dan selalu bersikap professional terhadap pekerjaaan. Saya harapkan juga kalau anda ju
"Bun, mobil siapa di depan itu?" tanya Nia ketika sudah masuk ke dalam rumah dan tadi di halaman sempat melihat mobil yang sebelumnya tidak pernah ia kenali. Kalaupun mobil tamu, Nia tidak yakin itu tamunya karena melihat mobil yang harganya bisa ditaksir ratusan juta itu. "Bunda ada tamu, siapa?" Sang Bunda menatap Nia dengan binggung, apakah ia yang harus mengatakannya sendiri atau sang pemilik."Bun, itu mobil siapa di depan?" Nia mengulangi pertanyaannya. Melihat reaksi sang Bunda yang tampak bingung, Nia mulai curiga. Pasti ada yang tidak beres ini, batinnya.Kakinya hendak melangkah namun, sang Bunda memanggilnya. "Nia, janji sama Bunda kamu harus tenang!" ucap Maria sambil menarik lengan Nia agar mendengarkannya.Sementara dari dalam kamar, suara Bima tiba-tiba muncul dan mengalihkan ketegangan diantara Ibu dan anak itu."Mama!" teriaknya lalu menghampiri Nia. Bocah tampan itu bergelanyut manja pada kaki Nia. "Ma, Bima punya mobil baru dibelikan Papa! Ayo kita coba mobil barun
Nia melepas tangan besar yang membelit pinggangnya. Ia memang mengijinkan Bara untuk datang dan bertemu dengan Bima, tetapi untuk kembali bersama dengan mantan suaminya itu, belum ia pikirkan.Ada trauma yang belum sembuh darinya. Takut kalau Bara akan mengulangi kesalahannya dulu, ketika tidak percaya padanya lagi. Meski tidak menutup kemungkinan pria itu juga bisaa berubah menjadi lebih baik."Maaf, mungkin kamu masih merasa sakit hati denganku, tapi bisakah kita memulai dari awal lagi? Kita baangun keluarga kecil kita bersama dengan Bima," lanjut Bara meyakinkan Nia. Ia akan berusaha meruntuhkan hati Nia yang sudah membatu."Pergilah, Mas!" pinta Nia setelah berhasil melepas diri dari Bara dan mengabaikan ucapan pria itu. Untuk sementara ia akan bersikap acuh dari pria itu dan akan melihat seberapa besar tekadnya untuk bertahan ketika selalu mendapatkan penolakan-penolakan dari Nia. Nia sudah melangkah keluar kamar sambil berteriak, "Bima, Papa mau pulang nih!" Ya, Nia mengusir Bar
“Bun, aku baringkan di kamar atau di sofa?” tanya Bara, sedang Bima ada dalam gendongan pria itu. Kakinya melangkah memasuki rumah setelah beberapa saat yang lalu mengajak jalan-jalan Bima dengan mobil barunya.Selama beberapa jam yang lalu, Bara mengajak putranya itu untuk mencoba mobil barunya. Mereka jalan-jalan, berkeliling menyusuri jalanan yang sepi agar bisa merasakan nikmatnya duduk di mobil. Bara sendiri tidak tahu apakah putranya itu pernah merasakan nyaman berada di mobil saat tahu kalau Nia pasti kesulitan memberikan mobil untuk Bara. “Langsung di kamar saja, kasihan Nia kalau harus membopong Bima kalau pulang kerja nanti!” pinta Maria, lalu berjalan di depan untuk menuju kamar yang dimaksud, yaitu kamar Nia dan Bima.Setelah sampai di kamar yang kemarin sempat ditiduri oleh Bara, pria itu membaringkan sang putra dengan perlahan. Bara juga menyelimutinya sebatas dada lalu memberi kecupan hangat di kening bocah tampan yang mirip dengannya itu sambil berucap, “Good night,
“Keluar kamu, Mas!” tunjuk Nia pada pintu kamar dengan tatapan tajamnya.Nia tidak mau menjawab ucapan Bara tadi, yang ia ingin lakukan sekarang adalah mengusir pria tidak tahu malu ini.Bara dengan santainya berjalan menjauh menuju pintu. Namun, bukannya melalukan yang diminta Nia, pria itu malah mengunci pintu dari dalam dan sengaja mencabut kuncinya. Kemudian memasukkan kuncinya di dalam saku celananya. “Aku sudah sampai di tahap ini, Nia. Jadi jangan salahkan aku kalau bisa berbuat lebih jauh lagi,” seringai tipis tampak jelas di bibir pria itu.Nia tercengang, lalu ia mundur beberapa langkah. Tidak percaya dengan apa yang dilakukan mantan suaminya itu, sebagai wanita jelas ia merasa tidak aman apalagi melihat manik Bara yang sudah diliputi gairah. Salahnya Nia yang tidak bisa mengontrol ucapannya. Bagaimanapun, Bara pernah menjadi suaminya dan ia tahu jelas bagaimana mantan suaminya itu kalau sedang menginginkan dirinya.“Ka-kamu mau apa, Mas!” tanya Nia terbata, merasakan gugup
"Kamu koq gak bilang, kalau ada Papanya Bima di rumah?" Aldo bertanya sembari mendudukan dirinya dengan nyaman di bangku yang ada di teras rumah Nia. "Tahu gitu aku gak akan datang, supaya tidak menimbulkan fitnah."Nia melirik Aldo sebelum menghembuskan napas panjang. Kedatangan Aldo adalah keberuntungan buatnya, sebab bisa jadi tadi Bara dan dirinya lepas kendali. Bagaimanapun mereka dua orang dewasa yang bisa terpancing oleh nafsu."Apa terjadi sesuatu?" Aldo menoleh ke samping, dimana Nia duduk, menyambung perkataannya. "Koq mukanya kusut gitu, atau aku ganggu kalian?"Sebenarnya ada rasa tidak rela saat mendapati Nia ada satu kamar dengan mantan suaminya. Entah apa yang dilakukan dua orang dewasa itu tapi karena saat ini status Aldo masih tidak jelas maka ia tidak bisa berbuat apa-apa.Namun, jawaban yang keluar dari bibir Nia sungguh mengejutkan Aldo."Cemburu?" tanyanya.Aldo terkekeh lalu berkata, "Sadar diri aku, Tar. Kita sedang tidak memiliki hubungan selain bersahabat jadi
“Kamu ngomong apaan sih, Tar?” Aldo bertanya sembari mengaruk tengkuknya untuk menghilangkan kegugupannya.“Kalian pernah tidur bareng?”Nia tahu ada keterkejutan yang terlihat dari mata Aldo. Dari situ ia bisa melihat kalau jawabannya iya tapi Aldo berusaha mengelak.“Kamu tambah ngaco deh ngomongnya!” Aldo masih berusaha menutupi tapi insting Nia kuat kalau telah terjadi sesuatu dengan mereka berdua. Nia bersahabat dengan Tina tidak sebentar sudah bertahun-tahun lamanya, ia tahu persis seperti apa Tina dan gadis itu bukanlah tipe orang yang suka membuat masalah menjadi ada.“Oke, tunggu di sini aku mau mandi dulu!” pinta Nia, percuma jika masih berdebat dengan Aldo bukannya mendapat jawaban karena pria itu akan menyangkal dan menyangkal lagi. Kemudian, Nia mengambil ponsel Aldo dengan mudahnya karena pria itu seperti menyadari. “Hp kamu aku bawa dulu, takutnya kamu malah kabur!”Baru mendengar kalimat Nia yang terakhir, Aldo sadar kalau hpnya dibuat jaminan. Itu artinya masalah belu
Aldo menelan salivanya susah payah, dia merasa kecolongan lagi. Kenapa tadi tidak ingat untuk mengambil ponselnya. Bisa gawat kalau Nia tahu isi ponselnya, karena ia belum menghapus apapun disana. Tanpa Nia tahu, sebenarnya Aldo lebih berengsek daripada Bara, namun pria ini bisa menutupinya dengan kebaikannya. Berbeda dengan Bara yang terang-terangan dalam bersikap. Tak jarang ia juga marah dan kesal jika tidak sesuai dengan keinginannya.“Ayo jalan! Atau kamu mau aku buka sendiri ponsel ini, hah?” Nia mulai memberikan ancaman pada pria itu.Aldo memejamkan matanya menahan gejolak kemarahan yang siap keluar kapan saja. Mau tidak mau ia harus menuruti Nia daripada wanita itu mengorek-ngorek isi ponselnya yang tidak seharusnya diketahui oleh orang lain. “Oke, oke. Aku turuti kemauan kamu, puas!”Nia tidak menjawab, yang ia lakukan membuang pandangan ke samping jendela mobil. Karena menurutnya tidak penting jawabannya, yang terpenting adalah Aldo menuruti keinginannya sekarang.Detik sel