“Saya mau menyampaikan kalau beasiswa kamu sudah tidak bisa diperpanjang lagi,” ucap Bu Hermin selaku kepala tata usaha Universitas.
Deg. Jantung Nia seolah berhenti berdetak, karena itu merupakan berita buruk buatnya. “Tapi ke-”
Belum selesai Nia berkata mendadak Bu Hermin menjulurkan telapak tangannya menyuruh Nia diam dulu.
Beliau menghela napas sesaat kemudian bibirnya mulai bergerak lagi. “Keputusan dari Rektor yang baru bahwa penerima beasiswa hanya diberikan selama 2 tahun berturut-turut saja. Karena banyaknya mahasiswa yang juga ingin mendapatkan beasiswa, jadi biar pembagiannya merata,” lanjut Bu Hermin lugas.
“Saya berharap bisa mendapatkan kebijakan lain, Bu?” mohon Nia seraya mengerutkan kening. “Terus terang saya kesulitan kalau harus menanggung biaya sendiri tanpa beasiswa itu.”
Bu Hermin mengeleng, “Tidak ada, Rektor sudah bilang tidak ada kebijakan lain. Yang masih mau bertahan di kampus ini, ya harus berkorban. Tapi kalau tidak mau ya terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikan di sini.”
“Dasar Rektor tidak punya hati, bisa-bisanya memberikan kebijakan seperti itu,” gerutu Nia dalam hati. Mulutnya ingin merutuki kebijakan baru itu. Namun dia masih menjunjung tinggi sopan santun, ajaran dari orang tuanya di kampung.
“Lalu bagaimana saya bisa melanjutkan kuliah kalau tanpa beasiswa itu, Bu!” tanyanya retoris. Tidak ada lagi wajah yang ceria seketika semua berubah menyedihkan.
“Maaf, Ibu juga tidak bisa membantu kamu,” sesal Bu Hermin. “Semoga keputusan ini bisa kamu terima dengan lapang dada dan semoga Allah memberi kemudahan kamu dalam hal ini. Kamu masih punya waktu 3 bulan ke depan sebelum mulai pembayaran uang kuliah setiap bulannya.”
Bu Hermin yang juga merangkap sebagai Dosen nya itu hanya bisa mendoakan saja. Wanita paruh baya itu pastinya tahu betul kondisi Nia yang hanya mengandalkan beasiswanya untuk bisa kuliah di kampus ini.
Nia dengan lesu ke luar dari ruangan tata usaha tersebut, menuju ke belakang gedung kampusnya. Sebuah taman kecil tempatnya melepas semua kepenatan jika sedang mendapatkan masalah. Entah masalah kampus atau masalah pribadi.
Sampai di tempat itu, Nia mendudukan dirinya dengan hati yang tak menentu. Baru 2 tahun dia kuliah di kampus ini. Cita-cita kedua orang tuanya menginginkan dia menjadi seorang Perawat agar bisa membantu banyak orang. Makanya dia berusaha keras agar bisa mengabulkan keinginan tersebut. Selain karena pintar, beruntung Nia juga mendapatkan beasiswa.
“Ayah, Bunda, bagaimana ini? Nia tidak bisa mendapatkan beasiswa lagi!” keluhnya seraya menatap menerawang di langit yang mendung.
“Hai mendung, apa kamu turun hujan? Apa kamu juga merasakan kesedihanku?” gumamnya dengan bibir mencembik.
“Hai ... cantik!” sapa Tina yang tiba-tiba datang dan menepuk bahu Nia dari belakang.
“Hai ....” Nia menjawab dengan lemah, menoleh sebentar lalu kembali pandangannya ke awal tadi.
Tina sampai ikut melihat arah pandang Nia, demi memastikan rasa penasarannya apa yang sedang sahabatnya itu lihat. “Tidak ada apa-apa sih, kenapa dia fokus sekali ke situ!” gumamnya.
Refleks, Nia menoleh setelah mendengar gumaman Tina. “Apa?”
“Kamu lihat apa sih? Apa ada cowok cakep di sana, hah?” kekeh Tina mengulas senyum. Tina paling tidak bisa kalau melihat cowok ganteng, pasti matanya akan setia memandanginya terus.
“Lihat cowok ganteng yang nempel di pohon beringin tuh,” sahut Nia kesal seraya menunjuk pohon yang berada di pojokan, tidak jauh dari mereka duduk.
“Hah, hantu dong!” jawab Tina dengan mulut melongo.
“Pikir aja sendiri,” sahut Nia kesal, sahabatnya itu masih saja menanggapi ucapannya yang asal itu.
Tina yang penasaran sampai mendekati pohon tersebut dan berdiri lalu menatapnya dengan intens.
“Woi ... kamu ngapain?” teriak Nia yang melihat Tina menuju pohon beringin tersebut seraya celingak celinguk.
“Cari cowok ganteng,” jawab Tina sambil tersenyum lebar.
“Tin, udah dong sadar kamu ...!” teriak Nia kembali. “ Gak bakalan ada cowok ganteng di sini, yang ada malah dedemit. Sinian aku mau curhat nih.”
Tina akhirnya memutar badan dan berjalan menuju Nia. “Aku sih, sudah paham kamu ngaco cuman aku penasaran aja mungkin tiba-tiba jadi kenyataan.”
Keduanya kini duduk berhadapan dan saling menatap.
Nia menghembuskan napas panjang. “Beasiswa aku tidak diperpanjang lagi,” setelah mengatakan itu Nia langsung mengarahkan pandangan pada Tina yang masih tetap berdiri di depannya.
“Ah, koq bisa? kamu kan mahasiswa pandai. Iya kalau aku, cuman satu tahun saja mendapatkannya karena nilaiku tidak mencukupi untuk memperolehnya lagi,” papar Tina dengan wajah menyedihkan.
“Tadi aku dipanggil Bu Hermin, kata Rektor kebijakan baru beasiswa yang sudah 2 tahun tidak diperpanjang lagi.”
“Oh, coba langsung bicara dengan Rektor saja, mungkin ada cara lain untuk bisa dapat lagi?” usul Tina kemudian.
“Bu Hermin bilang sudah tidak ada kebijakan lagi, Tin!” sanggah Nia geram. Padahal Tina hanya memberikan usul.
“Oh. Apa, Rektor yang baru itu ya?”
Nia menoleh lagi hanya untuk memastikan ucapan sahabatnya itu. “Rektor baru?” ulang Nia.
Tina mengangguk. “Iya, kamu gak tahu? Rektor lama kan sudah diganti, sekarang ada Rektor baru. Beredar isu sih, orangnya masih muda dan ganteng poollll deh.”
“Kamu sudah tahu?”
Tina mengeleng, “Aku belum pernah ketemu nanti deh, aku samperin!”
“Gaya, pakai samperin memang dia sepantaran kita? Palingan orangnya sudah tua, perutnya buncit atau seumuran om-om,” sangka Nia acuh, padahal Rektor barunya itu orangnya masih muda berbeda sekali dengan perkiraannya.
“Lha itu sudah tahu kamu!”
“Tadi itu cuman perkiraan aku doang, Tin.”
“Gak koq, katanya masih muda dan ganteng,” bantah Tina kemudian. “Bisa dong kamu rayu supaya masih mendapatkan beasiswa gitu.” Tina tersenyum mengoda. Tingkah konyol Tina selalu membuat Nia mengulum senyum.
“Ah, tau lah, pusing aku mikirin beasiswa. Mungkin aku ke luar saja dari kampus ini,” terangnya lalu berdiri hendak meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya ditahan oleh Tina. “Aku anterin ke ruangan, Rektor sekarang.”
“Hey ... hey ... kamu sudah gila ya, aku gak mau!” namun Tina tetap saja menyeret sahabatnya itu menuju ruangan Rektor. Buat Tina lebih baik dia kehilangan malu daripada kehilangan Ghania, sahabat baiknya.
Kedua gadis itu sudah berdiri di depan ruangan yang bertuliskan Ruangan Rektor. Pada saat yang bersamaan, keluar seorang pria yang mereka kenal sebagai karyawan di tata usaha.
“Kalian mau apa?” tanyanya ramah memandang ke arah kedua gadis itu.
“Ah, Pak. Mau ketemu sama Pak Rektor bisa?” tanya Tina dengan senyum manisnya.
“Oh, apa sudah ada janji? Soalnya barusan Pak Rektornya keluar,” beritahu karyawan tersebut sopan.
“Ah, harus janjian ya? Oke kalau begitu tolong di sampaikan sama Pak Rektor ya. Bahwa mahasiswa yang bernama Ghania Athari, mau bertemu dengan Pak Rektor ya.” Tina mengatakan dengan sangat lancar.
“Harusnya janjiannya langsung ke sekretarisnya saja, tapi kebetulan juga sudah keluar jadi mungkin lusa saja ya?” ungkap karyawan tersebut kemudian.
“Ah, kenapa harus lu-”
“Maaf, Pak. Ya sudah makasih atas infonya ya,” sela Nia sebelum menyeret lengan Tina supaya berhenti menyerocos.
“Ih ... kenapa aku ditarik sih!” omel Tina ketika mereka sudah menjauh dari ruangan Rektor tersebut.
Nia mengambil duduk di salah satu bangku yang ada di koridor kampus dan menarik Tina supaya ikut duduk juga.
“Kamu juga aneh, gak mungkin kan kalau Pak Rektor akan menyetujuinya hanya karena aku protes. Lagian kita juga belum tahu watak Rektor baru itu bagaimana. Kalau dia tersinggung dan marah bagaimana?” keluh Nia. “Aku gak mau deh, berurusan dengan aparat kampus. Nanti pasti ujung-ujungnya berimbas sama nilai aku. Gak kebayang deh, pas nilaiku jatuh gak dapat beasiswa lagi. Pasti aku langsung didrop out deh!”
“Aduh, sejak kapan sih kamu jadi introvert gitu?” protes Tina. “Kamu itu pinter, pastilah ada cara untuk dapat beasiswa itu. Atau nanti kita temuin lagi Rektor baru itu, aku juga penasaran sih bagaimana orangnya. Seenaknya saja bikin kebijakan, emang dia pikir orang kaya semua yang kuliah di sini.”
“Aku cuman sadar diri, Tin. Aku tidak punya biaya masuk di kampus ini jadi aku merasa menjadi orang kecil yang harus bersyukur dan harus mau menerima semua konsekuensinya,” tutur Nia pasrah.
“Aduh ... mindset kamu harus di ubah itu!” Tina berucap dengan geram pada Nia.
“Ah, gak tahu deh aku, pusing!” keluh Nia memandang Tina.
Tina prihatin dengan kondisi Nia, andai dia punya banyak uang mungkin akan membantunya tapi Tina sendiri bukan dari golongan orang kaya.
“Sekarang temenin aku makan dulu, ayo!” ajak Tina sudah berdiri dan mengulurkan tangannya pada Nia.
Nia yang binggung mengerutkan alis sambil bertanya, “Di mana?”
“Mie ayam Bang Dirja,” sahut Tina cepat.
Tiga puluh menit kedua gadis ini sampai di depot mie ayam tersebut. Ternyata depotnya sangat ramai sekali. Setelah memakirkan motornya Tina langsung menuju penjualnya untuk memesan, sedangkan Nia mencari tempat duduk. Gadis itu memilih duduk yang lesehan meski ada yang pakai kursi.
Baru saja mendudukan dirinya mendadak. Byurrrr ... segelas es teh meluncur bebas di atas kepalanya.
“Ya Allah, Al ... tanggung jawab loe,” celetuk seseorang.
Bersambung.....
Nia langsung mendongak dan berdiri untuk memastikan siapa yang bersalah. Amarahnya sudah membuncah, tatapan matanya tajam seolah ingin menerkam seseorang hidup-hidup. Namun mata tajam itu tertuju pada seorang pria yang tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Dan bisa dipastikan semua ini gara-gara dia, bukannya minta maaf malah dia seolah menertawakan Nia. “Shutt ... dia marah kayaknya!” bisik salah satu pria tersebut. “Tapi lucu banget, kayak tikus kecemplung selokan,” sahut temannya pelan sambil menahan tawa. “Gak lucu, tahu!” ucap Nia lalu menyambar minuman yang ada di depannya, entah milik siapa mungkin pelayan tadi memegang 2 minuman tapi yang tumpah hanya satu. Byurr ... minuman yang ada ditangan Nia dia tumpahkan di atas kepala pria yang menertawakannya tadi. Semua pengunjung sontak histeris dengan tindakan Nia, tapi sayangnya semua sudah terjadi dan minuman juga sudah terbuang sia-sia. “Kamu ...!” sentak pria yang bernama Bara tersebut, menatap tajam seraya memberikan telunj
“Iya, kamu mau?” tanya balik Bu Niken pada Nia.“Ehm ...!” gumam Nia, belum memberikan jawaban.“Kebetulan yang nyari ini sedang butuh banget. Kerjanya gak berat koq. Cuman bersihkan rumah, masak nyuci dan jam kerjanya juga tidak seharian full. Pagi masuk nyuci dan bersih-bersih sampai siang saja,” terang Bu Niken. “Kalau kamu mau, saya bisa infokan sama customernya karena beliau ini sudah lama sekali nyari cuman saya belum menemukan orangnya.”Nia terlihat agak ragu untuk menerimanya, tapi mengingat batas dia hanya sampai 3 bulan saja akhirnya dia menyetujuinya. “Oke deh, Bu. Saya akan coba.”Setelah kesepakatan itu, Nia diminta untuk menandatangani surat perjanjiannya. Sebagai rasa tanggung jawab, Nia akan dikenakan denda apabila membatalkan kerjasamanya atau mengundurkan diri.“Aneh, orang mau kerja dapat uang, ini disuruh bayar denda” gerutu Nia sepanjang jalan menuju perki
Nia terbangun karena suara jam weker di kamarnya. Mencari keberadaan benda yang membuatnya terbagun kemudian mematikannya. Kembali ke posisinya tadi, dia pejamkan matanya kembali.30 menit kemudian, Nia membuka matanya. Merasa tidurnya sudah lebih dari cukup, Nia akan terbangun dengan sendirinya. “Aneh, kenapa alarm nya gak bunyi ya?” gumamnya sambil melirik ke samping tempat tidurnya, ada meja kecil dan di situ ada jam wekernya. Tangannya terulur untuk mengambilnya, memastikan jam berapa sekarang.“Hua ....” Nia terlonjak kaget melihat sudah pagi sedangkan dia belum sholat Subuh. Dengan cepat dia menuju kamar mandi yang berada di kamarnya ini untuk melaksanakan sholatnya yang terlambat itu.Selesai menyelesaikan sholatnya Nia melipat mukenanya itu dan kebiasaannya melanjutnya berbaringnya untuk menunggu jam perkuliahannya.Mendadak dia teringat sesuatu, harusnya pagi ini dia mulai bekerja. “Ah, semua ini gara-gara Rektor itu
Bara dengan santainya duduk menempati meja makan. Lelaki itu tidak menganggap ada keberadaan Nia yang jelas-jelas dia kenal. “Aku yakin setelah ini kamu pasti tidak akan nyaman berada di tempat ini,” batinnya lalu menyunggingkan senyuman sinis.“Mbok, apa sudah memberitahu apa saja yang harus dia kerjakan?” tanya Bara pada Mbok Ijah tanpa menoleh karena pandangannya sedang fokus dengan makanan di depannya.“Sudah, Tuan Muda,” jawab Mbok Ijah seraya mengangguk meski Bara tidak melihatnya.“Ih, sombongnya gak mau ngomong sama aku sendiri padahal jelas-jelas ada aku di sini. Ah, pria menyebalkan,” cibir Nia yang masih berdiri di belakang Bara. Untung saja tampan kalau jelek-” Nia langsung membekap mulutnya karena tanpa sadar memuji ketampanan Bara. “Oke.” Bara menjawab pernyataan Mbok Ijah barusan.“Oh, iya Tuan. Kalau yang masalah menu apa perlu Nia ini yang menginformasi Tuan setiap harinya?”“Kasih saja no ponsel saya. Biar kalau sewaktu-waktu saya perlu langsung minta dia.”“Idih .
“Ih ... lama-lama nih orang gue timpuk juga ya, ngeselin banget!” jerit Nia dalam hati. Tidak mungkin dia berani dalam dunia nyata.Bara tidak sabar, sudah memutar tubuh untuk meninggalkan Nia. Tapi dengan keberaniaanya Nia langsung menarik lengan Bara, hingga sang pemiliknya terperangah. Mata tajam Bara menatap Nia yang tampak santai dengan mengulas senyuman tipis. “Ups ... maaf!”“Kenapa lagi?”Nia menghela napas kalau bukan karena harus membayar SPP kuliah dia tidak akan mau bersikap seperti ini. Mengabaikan harga dirinya yang masih mungkin bernilai tapi tidak dihadapan pria di depannya ini.“Tuan Muda, yang baik, yang ....” Nia binggung mau ngomong apa. “Pokoknya yang the best deh, jangan pecat saya ya, Bapak kan tahu saya harus bayar kuliah kalau gak bisa bayar orang tua saya di kampung sedih. Mereka sudah senang saya bisa kuliah dan kalau lulus mau jadi perawat yang bisa membantu di puskesmas kampung.”Memang keinginan Nia dan orang tuanya, selepas lulus nanti Nia akan kembali k
Benar saja setelah kepergian Bara, Nia langsung masuk ke dalam rumah melanjutkan pekerjaannya. Mengambil kertas yang diberikan Mbok Ijah tadi, membacanya dengan teliti serta mendudukan dirinya di meja makan.Kerutan di keningnya mendadak terlihat, kemudian mulai mengumpat dalam hati. “Sial, dia mengerjaiku.” Tanpa banyak pertimbangan lagi, Nia segera beranjak untuk menyelesaikan pekerjaannya.“Non, sudah dibaca?” tanya Mbok Ijah yang sekarang sudah berada di depan Nia.“Mbok, panggil Nia saja jangan Non,” pinta Nia tersenyum pada wanita berumur itu. “Aku seperti majikan saja kalau dipanggil seperti itu padahal kita samaan, Mbok. Mungkin masih lebih baik Mbok Ijah karena Bara masih mau menghormatinya daripada diri aku yang sudah mendapat teguran pemecatan.”Alih-alih menjawab keinginan Nia, Mbok Ijah malah menegur gadis itu karena keceplosan memanggil hanya dengan nama saja. “Hush ... tidak sopan itu, panggil Tuan Muda.”“Ah, iya. Aku lupa, Mbok.” Nia langsung menutup mulutnya sendiri
Nia merasa Bara memang ingin mencari masalah dengannya. Jelas-jelas di tangannya jam nya tepat tapi pria itu mengatakan kalau sudah telat 5 menit.“Untung dia majikan aku, kalau tidak pasti sudah aku cincang-cincang kayak daging. Apalagi mulutnya itu luwes banget deh.”“Sudah, sudah. Jangan dimasukkan hati kalau seperti itu, mending kita berpikiran positif aja ya,” bujuk Tina sembari menyesap jus melon yang ada dihadapannya.Ya, mereka berdua telah menyelesaikan perkuliahannya setengah jam yang lalu dan masih ada dua jam lagi sebelum Nia harus kembali ke rumah Bara. Dan sambil menunggu itu Tina membawa Nia ke cafetaria kampus. Sekedar untuk meredam emosinya yang meningkat draktis.“Tin, hidup aku koq jadi seperti ini sih!” keluh Nia menampilkan raut wajah yang sedih. “Apa aku nyerah saja ya kuliah di sini?”“Shutt ... jangan berpikir seperti itu,” hibur Tina. “Percuma kalau kamu tinggalin kuliah tapi tetap kerja juga sama dia, bagaimanapun untuk saat ini kamu tidak bisa lepas darinya
“Ah, akhirnya sampai juga,” ujar Nia ketika sudah sampai di depan pagar kost-an. Gadis itu membuka pagar sedikit susah tapi setelahnya bisa berhasil. Memakirkan sepeda motor kemudian melangkah menuju kamarnya.“Nia, baru pulang?” tanya Asti-teman kost di kamar sebelah yang kebetulan berpapasan, dari membeli makanan.“Eh, Ti. Iya nih, capek banget,” sahut Nia tersenyum, berhenti sejenak kemudian berpamitan untuk masuk kamar.Itulah teman-teman kost-nya saling menyapa karena kepedulian mereka sangat tinggi. Tak hanya Asti, kebanyakan yang lain juga seperti itu.Nia langsung merebahkan diri ketika sampai di kamar, sepertinya dia juga harus mengatur waktu supaya tidak kelelahan. “Ah, itu cowok kenapa ya? Koq baik banget.” Mendadak Nia mengingat kebaikan Bara sampai suara ponselnya berdering.“Aduh, siapa sih! Gak tahu apa aku baru saja pulang dan masih capek!” gerutu Nia meski begitu dia tetap mengambil ponselnya dari dalam tasnya.Seketika matanya membelalak tidak percaya. “Ngapain dia t
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu
“Wah, cucu Oma sudah pulang ya? Gimana acaranya seru gak?”Suara Maria sudah terdengar ketika Bara membuka pintu dengan mengendong Bima yang sudah tertidur pulas. Kebetulan hari ini akhir Minggu dan waktunya berlibur ke rumah Maria.“Eh, Bima tidur ya?” Maria melanjutkan bertanya.“Iya, Bun,” jawab Bara singkat. Suasana hatinya masih buruk sejak melihat Aldo mengenggam tangan istrinya. “Maaf, Bunda. Bima boleh tidur sama Bunda gak?”Tanpa bertanyapun, Maria setuju saja. Lagian dengan adanya Bima dia jadi tidak sendirian tidurnya.“Boleh dong, ya sudah cepat bawa ke kamar Bunda!” pinta Maria pada Bara.Kaki panjang Bara melangkah menuju kamar sang mertua. Tidak lama Nia datang dan melihat Bara yang berjalan tidak ke kamar mereka.“Lho, Bima mau dibawa ke mana, Mas?” teriaknya. Namun, Bara tidak peduli pertanyaan wanita itu. Sedangkan Maria yang sudah berjalan di depan Bara tidak mendengar ucapan putrinya itu.Kesal, lagi-lagi Bara melakukan tindakan tanpa memberitahukannya. Nia berjala
“Om Ayah!”Teriakan bocah yang mengema itu membuat Aldo tersentak kaget. Bukannya tidak suka tapi ia tidak akan menyangka kalau dipertemukan lagi dengan Bima setelah semua masalah diantara dirinya dengan Nia. Bima, bocah yang ia sayangi dan sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri.Manik Aldo menyiratkan kebahagiaan. Pria itu seketika berjongkok dan merentangkan kedua tangannya ke samping agar bocah tersebut masuk ke dalam dekapannya. Benar saja, begitu melihat yang dilakukan Aldo, Bima langsung berlari kemudian membenamkan wajahnya di leher Aldo. Seolah mereka tidak bertemu puluhan tahun.“Aku kangen sama Om Ayah!” celetuk Bima yang membuat Aldo makin teriris hatinya.Aldo membisu, tidak menjawab ucapan Bima. Membiarkan indera penciumannya untuk beberapa saat menikmati aroma minyak telon yang ada di tubuh Bima.“Kata Mama, aku sudah gak boleh ganggu Om Ayah lagi! Karena Om Ayah mau punya adik bayi.”Aldo semakin menekan tubuhnya pada tubuh Bima. Detak jantungnya berpacu lebi
Di ruangan Bara.Baik Nia dan Bara terkesiap menatap isi amplop coklat pemberian Dokter Kalandra.“Mas, sepupu kamu itu ternyata diluarnya saja yang galak ya tapi dalamnya … tidak diragukan lagi,” puji Nia sambil terkikik, masih sulit mempercayai sikap Dokter Kalandra.“Dalamnya?” Bara mengulangi ucapan istrinya itu sambil menatap curiga. “Memang kamu sudah tahu dalamnya dia seperti apa, hah?”“Yee … malah sewot ini orang! Maksud aku itu kan secara yang terlihat diluar itu dia adalah pria galak, buktinya marahin OG tadi seperti punya salah besar banget padahal kan cuman terlambat saja. Itupun beberapa menit saja. Tetapi koq dia bisa-bisanya ngasih kado seperti ini. Sehingga aku mikirnya dia itu pria yang perhatian gitu lho!” Nia menjelaskan dengan panjang lebar agar Bara mengerti maksudnya.Bukannya tidak paham, Bara hanya sedikit tidak suka kata dalamnya yang diucapkan Nia seolah wanita itu tahu seperti apa sosok sang sepupu.“Iya, aku sudah tahu maksudmu!” balas Bara santai. Pria it