Bara dengan santainya duduk menempati meja makan. Lelaki itu tidak menganggap ada keberadaan Nia yang jelas-jelas dia kenal. “Aku yakin setelah ini kamu pasti tidak akan nyaman berada di tempat ini,” batinnya lalu menyunggingkan senyuman sinis.
“Mbok, apa sudah memberitahu apa saja yang harus dia kerjakan?” tanya Bara pada Mbok Ijah tanpa menoleh karena pandangannya sedang fokus dengan makanan di depannya.
“Sudah, Tuan Muda,” jawab Mbok Ijah seraya mengangguk meski Bara tidak melihatnya.
“Ih, sombongnya gak mau ngomong sama aku sendiri padahal jelas-jelas ada aku di sini. Ah, pria menyebalkan,” cibir Nia yang masih berdiri di belakang Bara. Untung saja tampan kalau jelek-” Nia langsung membekap mulutnya karena tanpa sadar memuji ketampanan Bara.
“Oke.” Bara menjawab pernyataan Mbok Ijah barusan.
“Oh, iya Tuan. Kalau yang masalah menu apa perlu Nia ini yang menginformasi Tuan setiap harinya?”
“Kasih saja no ponsel saya. Biar kalau sewaktu-waktu saya perlu langsung minta dia.”
“Idih ... sewaktu-waktu, bukannya aku punya jam kerja!” baru saja Nia akan membuka mulutnya untuk menginterupsi pernyataan itu, mendadak Bara melanjutkan ucapannya. “Biarkan dia baca tugas yang diberikan sama Mbok, nanti nyalahin saya kalau tiba-tiba saya nyuruh dia. Mbok tahu kan biasanya mulut perempuan itu sukanya nyerocos saja dan tidak mau disalahkan,” sindirnya.
Nia yang sedang berdiri di belakangnya itu memandang sengit sambil tangannya terkepal kalau saja tidak ingat dia majikannya pasti kepalan tangannya itu sudah melayang dan berada di wajah sang Tuan Muda. “Biar bonyok sekalian, mukanya aja yang tampan tapi bibirnya bikin sakit hati, tajem kayak pisau. Mending pisau buat masak lha ini buat apa coba?” gumam Nia pelan.
“Apa kamu bilang?” Bara memutar tubuhnya hanya untuk memandang Nia yang terlihat binggung.
“Hah!” Mulut Nia melongo menyadari tatapan Bara padanya.
“Kamu tadi bilang apa? Mau mengumpati saya?”
“Ah, saya tidak bilang apa-apa koq. Tuan aja kali yang salah dengar,” kekeh Nia dengan cengegesan.
“Kamu pikir saya budeg apa? Jelas-jelas kamu mau bikin wajah saya bonyok gitu.”
“Oh, ternyata dia dengar juga ucapan aku tadi,” batin Nia.
Bara berdiri setelah menyantap makanannya itu sembari menoleh ke arah Nia. “Sepertinya saya tidak menyukai pekerjaanmu, besok gak usah datang. Saya mau cari pengganti saja!” ucapnya sebelum pergi melangkahkan kaki panjangnya menuju pintu keluar.
“Hah, maksudnya aku dipecat ya, Mbok?”
Mbok Ijah sepertinya juga sedang binggung namun ucapannya menyadarkan Nia. “Cepat kamu kejar, minta maaf atau apa gitu? Tuan Muda gak gampang maafin orang.”
Dengan kepanikan maksimal, Nia mencoba untuk mengejar majikan yang baru setengah hari memecatnya itu. “Oke, kejar. Makasih ya, Mbok,” ucap Nia dengan teriak.
Nia mengejar Bara, beruntung Bara belum sampai pergi. Sebenarnya Bara juga melambatkan langkahnya karena ingin tahu apa yang dilakukan pembantu barunya itu. Dugaannya benar, pembantunya itu mengejarnya. Tepat setelah Bara membuka pintu mobilnya.
“Tuan ... Tuan Muda,” panggilnya dengan napas yang terengah-engah karena berlarian untuk bisa bicara dengan Bara sekarang.
“Apa?” jawab Bara ketus.
“Saya tidak tahu apa kesalahan saya, sehingga Tuan memecat saya barusan,” tanya Nia masih dengan napas yang tersedat-sedat. “Bahkan saya baru saja beberapa jam bekerja, belum ada sehari.”
“Kamu mau tahu?”
“Iyalah!”
“Karena bibir kamu yang tidak bisa mengontrol ucapan yang keluar!”
“Hah, apa dia tidak sadar kalau dia juga gak bisa ngontrol. Apa perlu aku belikan kaca besar supaya bisa ngaca,” teriak Nia dalam hati.
“Kenapa, mau protes?” Bara tersenyum sinis.
Bersambung.........
“Ih ... lama-lama nih orang gue timpuk juga ya, ngeselin banget!” jerit Nia dalam hati. Tidak mungkin dia berani dalam dunia nyata.Bara tidak sabar, sudah memutar tubuh untuk meninggalkan Nia. Tapi dengan keberaniaanya Nia langsung menarik lengan Bara, hingga sang pemiliknya terperangah. Mata tajam Bara menatap Nia yang tampak santai dengan mengulas senyuman tipis. “Ups ... maaf!”“Kenapa lagi?”Nia menghela napas kalau bukan karena harus membayar SPP kuliah dia tidak akan mau bersikap seperti ini. Mengabaikan harga dirinya yang masih mungkin bernilai tapi tidak dihadapan pria di depannya ini.“Tuan Muda, yang baik, yang ....” Nia binggung mau ngomong apa. “Pokoknya yang the best deh, jangan pecat saya ya, Bapak kan tahu saya harus bayar kuliah kalau gak bisa bayar orang tua saya di kampung sedih. Mereka sudah senang saya bisa kuliah dan kalau lulus mau jadi perawat yang bisa membantu di puskesmas kampung.”Memang keinginan Nia dan orang tuanya, selepas lulus nanti Nia akan kembali k
Benar saja setelah kepergian Bara, Nia langsung masuk ke dalam rumah melanjutkan pekerjaannya. Mengambil kertas yang diberikan Mbok Ijah tadi, membacanya dengan teliti serta mendudukan dirinya di meja makan.Kerutan di keningnya mendadak terlihat, kemudian mulai mengumpat dalam hati. “Sial, dia mengerjaiku.” Tanpa banyak pertimbangan lagi, Nia segera beranjak untuk menyelesaikan pekerjaannya.“Non, sudah dibaca?” tanya Mbok Ijah yang sekarang sudah berada di depan Nia.“Mbok, panggil Nia saja jangan Non,” pinta Nia tersenyum pada wanita berumur itu. “Aku seperti majikan saja kalau dipanggil seperti itu padahal kita samaan, Mbok. Mungkin masih lebih baik Mbok Ijah karena Bara masih mau menghormatinya daripada diri aku yang sudah mendapat teguran pemecatan.”Alih-alih menjawab keinginan Nia, Mbok Ijah malah menegur gadis itu karena keceplosan memanggil hanya dengan nama saja. “Hush ... tidak sopan itu, panggil Tuan Muda.”“Ah, iya. Aku lupa, Mbok.” Nia langsung menutup mulutnya sendiri
Nia merasa Bara memang ingin mencari masalah dengannya. Jelas-jelas di tangannya jam nya tepat tapi pria itu mengatakan kalau sudah telat 5 menit.“Untung dia majikan aku, kalau tidak pasti sudah aku cincang-cincang kayak daging. Apalagi mulutnya itu luwes banget deh.”“Sudah, sudah. Jangan dimasukkan hati kalau seperti itu, mending kita berpikiran positif aja ya,” bujuk Tina sembari menyesap jus melon yang ada dihadapannya.Ya, mereka berdua telah menyelesaikan perkuliahannya setengah jam yang lalu dan masih ada dua jam lagi sebelum Nia harus kembali ke rumah Bara. Dan sambil menunggu itu Tina membawa Nia ke cafetaria kampus. Sekedar untuk meredam emosinya yang meningkat draktis.“Tin, hidup aku koq jadi seperti ini sih!” keluh Nia menampilkan raut wajah yang sedih. “Apa aku nyerah saja ya kuliah di sini?”“Shutt ... jangan berpikir seperti itu,” hibur Tina. “Percuma kalau kamu tinggalin kuliah tapi tetap kerja juga sama dia, bagaimanapun untuk saat ini kamu tidak bisa lepas darinya
“Ah, akhirnya sampai juga,” ujar Nia ketika sudah sampai di depan pagar kost-an. Gadis itu membuka pagar sedikit susah tapi setelahnya bisa berhasil. Memakirkan sepeda motor kemudian melangkah menuju kamarnya.“Nia, baru pulang?” tanya Asti-teman kost di kamar sebelah yang kebetulan berpapasan, dari membeli makanan.“Eh, Ti. Iya nih, capek banget,” sahut Nia tersenyum, berhenti sejenak kemudian berpamitan untuk masuk kamar.Itulah teman-teman kost-nya saling menyapa karena kepedulian mereka sangat tinggi. Tak hanya Asti, kebanyakan yang lain juga seperti itu.Nia langsung merebahkan diri ketika sampai di kamar, sepertinya dia juga harus mengatur waktu supaya tidak kelelahan. “Ah, itu cowok kenapa ya? Koq baik banget.” Mendadak Nia mengingat kebaikan Bara sampai suara ponselnya berdering.“Aduh, siapa sih! Gak tahu apa aku baru saja pulang dan masih capek!” gerutu Nia meski begitu dia tetap mengambil ponselnya dari dalam tasnya.Seketika matanya membelalak tidak percaya. “Ngapain dia t
Nia terbangun ketika sebelum adzan Subuh. Alarm yang berada di ponselnya sengaja dia setel pukul 3 pagi. Ya, alasannya supaya tidak datang terlambat ke kampus sehingga tidak harus menjalani hukuman dari Bara.Nia mengeliat dan mencari keberadaan ponselnya karena dia harus matikan supaya suaranya tidak menganggu penghuni kost lain. Lalu dia mulai bangun dan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya sekalian mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat malam.Setelah selesai dengan aktifitasnya, Nia segera merapikan kamar kost dan mempersiapkan kepergiannya ke rumah Bara.Sebenarnya jam kerjanya di rumah itu adalah jam 6 pagi, tapi semalam dia sudah mencoba negosiasi dengan hatinya dan pada akhirnya dia yang harus mengalah. Nia memutuskan pergi ke rumah mewah itu setelah sholat Subuh agar semua pekerjaannya dapat terselesaikan semua dan dia bisa datang tepat waktu di kampus. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan keputusannya ini, namun Nia bukan orang yang hanya bisa diam saja tanpa
Nia menghembuskan napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Hatinya sakit dengan ucapan Bara, namun dia bisa apa. Tentu saja yang dia lakukan adalah hanya diam dan menganggap tidak terjadi apa-apa.“Anda tenang saja,” balas Nia menahan sesak di dadanya. “Saya termasuk orang yang tahu diri koq, bahkan saya tidak berpikir ke arah situ.”Bara langsung menatap remeh ke arah Nia yang masih tersenyum meski hatinya terluka di lecehkan seperti itu.“Bagus kalau seperti itu jadi saya tidak perlu lagi menjelaskan padamu dan tetaplah dibatasmu,” kata Bara. “Kamu masak dulu saja, saya sudah lapar.”“Oke.”“Kenapa dia nurut saja, biasanya bibirnya itu nyerocos untuk membantah,” keluh Bara sambil mengerutkan keningnya. “Atau dia masih kesal soal tadi malam? Ah, kenapa aku yang repot memikirkan itu, terserah maunya dia kayak apa!”Yang dilakukan Nia sekarang adalah berdiri di depan wastafel. Matanya mulai sembab, di depan Bara tadi dia menguatkan hatinya tapi sekarang buliran bening ini tidak
Hari ini terasa sangat lama sekali berada di rumah Bara. Datang setelah waktu subuh dan hingga kini jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Akhirnya Nia dapat menyelesaikan semua pekerjaan di rumah itu.Tidak ditemani Mbok Ijah karena wanita berusia lanjut itu nyatanya tidak datang. Mungkin ucapan Bara tadi memang benar kalau Mbok Ijah pulang kampung, kalau seperti ini Nia jadi merasa sendirian karena tidak ada teman ngobrol.“Akhirnya aku bisa langsung ke kampus karena pekerjaanku sudah selesai,” gumam Nia. Namun baru saja gadis itu akan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badannya lagi tiba-tiba suara sang Tuan Muda terdengar sangat keras.“Nia ...! Nia ... Nia ...!”“Aduh, kenapa lagi sih dia!” dengus Nia kesal. Pada akhirnya dia menurut dan mendatangi sang majikan itu.Sampai di depan pintu kamarnya, Nia mengetuk pelan sambil memanggilnya. “Ada apa, Tuan Muda?”“Masuk!” bentak Bara dari dalam.“Duh, apalagi sih ini,” gerutu Nia tapi tak urung dia membuka pelan pintu kama
“Sebel ... sebel ... sebel deh sama manusia seperti dia,” geram Nia dengan kaki yang dihentak-hentakkan ke lantai.Tidak lagi di rumah Bara. Sekarang Nia sudah tiba di kampusnya. Duduk di kantin kampus hanya berdua dengan Tina. Setelah kepergian Bara tadi, Nia buru-buru melakukan yang diperintah Bara untuk mengganti spreinya dan usai dari situ Nia langsung menuju kamar mandi untuk mandi dulu sebelum berangkat ke kampus.“Aduh, aku sebenarnya kasihan sama kamu,” ucap Tina-sang sahabat. “Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, semoga kamu sabar aja ya!”Tidak bisa melihat sahabatnya sedih lagi, Tina merentangkan tangannya agar Nia bisa berada dipelukannya. Tak butuh lama untuk Nia bisa berada dalam dekapan sang sahabat. Kini keduanya saling berpelukan seolah saling merasakan kesedihan satu sama lain.“Terima kasih, Tin. Kamu adalah sahabat aku yang terbaik, aku gak tahu dengan siapa lagi aku bisa curhat seperti ini,” ungkap Nia dalam pelukan Tina.“Iya, sama-sama,” jawab Tina seraya
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu
“Wah, cucu Oma sudah pulang ya? Gimana acaranya seru gak?”Suara Maria sudah terdengar ketika Bara membuka pintu dengan mengendong Bima yang sudah tertidur pulas. Kebetulan hari ini akhir Minggu dan waktunya berlibur ke rumah Maria.“Eh, Bima tidur ya?” Maria melanjutkan bertanya.“Iya, Bun,” jawab Bara singkat. Suasana hatinya masih buruk sejak melihat Aldo mengenggam tangan istrinya. “Maaf, Bunda. Bima boleh tidur sama Bunda gak?”Tanpa bertanyapun, Maria setuju saja. Lagian dengan adanya Bima dia jadi tidak sendirian tidurnya.“Boleh dong, ya sudah cepat bawa ke kamar Bunda!” pinta Maria pada Bara.Kaki panjang Bara melangkah menuju kamar sang mertua. Tidak lama Nia datang dan melihat Bara yang berjalan tidak ke kamar mereka.“Lho, Bima mau dibawa ke mana, Mas?” teriaknya. Namun, Bara tidak peduli pertanyaan wanita itu. Sedangkan Maria yang sudah berjalan di depan Bara tidak mendengar ucapan putrinya itu.Kesal, lagi-lagi Bara melakukan tindakan tanpa memberitahukannya. Nia berjala
“Om Ayah!”Teriakan bocah yang mengema itu membuat Aldo tersentak kaget. Bukannya tidak suka tapi ia tidak akan menyangka kalau dipertemukan lagi dengan Bima setelah semua masalah diantara dirinya dengan Nia. Bima, bocah yang ia sayangi dan sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri.Manik Aldo menyiratkan kebahagiaan. Pria itu seketika berjongkok dan merentangkan kedua tangannya ke samping agar bocah tersebut masuk ke dalam dekapannya. Benar saja, begitu melihat yang dilakukan Aldo, Bima langsung berlari kemudian membenamkan wajahnya di leher Aldo. Seolah mereka tidak bertemu puluhan tahun.“Aku kangen sama Om Ayah!” celetuk Bima yang membuat Aldo makin teriris hatinya.Aldo membisu, tidak menjawab ucapan Bima. Membiarkan indera penciumannya untuk beberapa saat menikmati aroma minyak telon yang ada di tubuh Bima.“Kata Mama, aku sudah gak boleh ganggu Om Ayah lagi! Karena Om Ayah mau punya adik bayi.”Aldo semakin menekan tubuhnya pada tubuh Bima. Detak jantungnya berpacu lebi
Di ruangan Bara.Baik Nia dan Bara terkesiap menatap isi amplop coklat pemberian Dokter Kalandra.“Mas, sepupu kamu itu ternyata diluarnya saja yang galak ya tapi dalamnya … tidak diragukan lagi,” puji Nia sambil terkikik, masih sulit mempercayai sikap Dokter Kalandra.“Dalamnya?” Bara mengulangi ucapan istrinya itu sambil menatap curiga. “Memang kamu sudah tahu dalamnya dia seperti apa, hah?”“Yee … malah sewot ini orang! Maksud aku itu kan secara yang terlihat diluar itu dia adalah pria galak, buktinya marahin OG tadi seperti punya salah besar banget padahal kan cuman terlambat saja. Itupun beberapa menit saja. Tetapi koq dia bisa-bisanya ngasih kado seperti ini. Sehingga aku mikirnya dia itu pria yang perhatian gitu lho!” Nia menjelaskan dengan panjang lebar agar Bara mengerti maksudnya.Bukannya tidak paham, Bara hanya sedikit tidak suka kata dalamnya yang diucapkan Nia seolah wanita itu tahu seperti apa sosok sang sepupu.“Iya, aku sudah tahu maksudmu!” balas Bara santai. Pria it