Let's vote :)
Bimo ke kampus hari ini meskipun sedang tak ada jadwal kuliah. Tujuannya ke kampus hanya untuk mencari Jelita, tetapi dia tak menemukan gadis itu. Dia sudah mengecek Jelita ke apartemen William tetapi gadis itu tak ada di sana, Bimo yakin Jelita tak betul-betul menuju ke sana tadi.“Aya!” panggil Bimo sambil berlari-lari kecil menuju Aya.Aya menelan ludah melihat sosok Bimo kini berada tepat di depannya dan menatap wajahnya. Baru kali ini Bimo menatap tepat ke dalam mata Aya. Kaki Aya langsung gemetar menyadari keindahan wajah Bimo yang ternyata lebih tampan jika dilihat dari jarak sedekat ini. Tapi begitulah, tampan-tampan tapi player. “Ck. Orang ganteng mah bebas!’ gerutu Aya dalam hati.“Ay!”Aya kaget Bimo memanggilnya lagi karena dia malah sibuk melamunkan kegantengan cowok ini sejak tadi.“Eh. I-iya, Bim?”“Elu tahu di mana Jelita, kan?”Aya mengangguk-angguk tapi kemudian dengan cepat menggeleng.“Ck, yang benar dong lu, Ay! Tahu nggak?” desak Bimo.Aya menggigit bibir. Melih
Bimo akhirnya keluar dari apartemen setelah berdebat dengan Jelita selama satu jam. Cowok itu nyengir sepanjang jalan menuju mobilnya. Menyenangkan sekali bisa menggoda dan membuat kesal gadis itu. Melihatnya manyun dan mengomel, sedikit mirip dengan Kak Tika, bedanya Jelita tak segalak itu. Meskipun marah gadis itu tetap terlihat feminim, beda dengan kakaknya yang kelewat barbar. Bimo menghela napas ketika rasa sedih mencubiti perasaannya. Sebulan lagi Atika menikah dan akan tinggal bersama Bastian. Bimo akan sepi dan sendirian. Dia tidak siap dengan kondisi itu. Bimo kemudian menelepon ayahnya. “Yah, aku mau pindah ke apartemen yang di Gandaria,” tekadnya. Apartemen itu memang untuknya, sang ayah membelinya dengan syarat Bimo boleh pindah ke sana setelah IPK-nya berhasil mencapai angka tiga, namun sampai sekarang Bimo belum berhasil meraih nilai sebaik itu sehingga dia tetap terkurung di rumah Atika. “Wah, sepertinya ini kabar baik. Kamu yakin bakal mendapat IPK tiga di semester i
“Cih. Aku nggak mau jadi gundikmu!”“Njirrr! Siapa juga yang mau jadiin elu gundik gue sih, Ta? Yang ada gue malah pengen jadiin elu ratu satu-satunya di hati gue.Jelita mencebik, tak mau percaya begitu saja. ‘Dasar player! Bisa aja ngomongnya.’“Dengerin, berhenti buruk sangka dulu ke gue bisa kagak sih lu?” Bimo menjitak Jelita dan dengan cepat dia menerima balasan berupa tabokan panas di lengannya yang bertato.“Buset, galak beut lu jadi cewek!” omel Bimo yang tak ada kapok-kapoknya menggoda Jelita meskipun berkali-kali kena tabok.“Dengerin, Jelita. Gue punya ide brilian! Gimana kalau elu jadi asisten pribadi gue yang bertugas menyelesaikan semua tugas kuliah dan tugas skripsi gue?”Jelita tertawa. “Bim, itu terdengar seperti tugas yang sangat melelahkan. Apa kamu yakin mendelegasikan semuanya padaku?”“Ya iyalah, Ta! Gue percaya sepenuhnya ke elu. Gue punya rencana besar untuk mengubah dunia, tapi sayangnya gue lebih suka dugem daripada duduk di bangku kuliah. Jadi, gue butuh se
Bimo mengulum senyum, sejak tinggal bersama Jelita dia jadi merasa semakin terurus. Jelita pandai sekali membuat makanan yang lezat. Bimo tak pernah melewatkan sarapan dan jadwal makan lainnya. Gadis itu juga cerewet mengingatkannya agar cepat pulang jika Bimo asyik kongkow bersama Stephan sampai tengah malam, bahkan Bimo sudah dua minggu ini tidak dugem. Apalagi main perempuan.“Elu kayak suami takut istri aja, Bim!” ledek Stephan yang sudah tahu jika temannya itu kini tinggal seatap dengan Jelita. Tetapi Stephan menjaga rahasia ini rapat-rapat demi nama baik Jelita, atas permintaan Bimo juga. Bimo tak ingin Jelita dipandang buruk oleh teman-teman yang lain hanya karena dekat dengannya. “Gue pikir nikah enak juga, Step, kalau bini gue Jelita.” Bimo nyengir kepada Stephan yang menoleh kepadanya dengan mata membeliak kaget.Stephan kemudian terbahak. “Wah, gue angkat topi sama Jelita karena sanggup bikin seorang Bimo Abimana, player kelas kakap kita tobat dan memikirkan menikah. Dia m
Di ruang pribadi Nyonya Cindy, suasana hening terasa. Dia duduk sendirian di kursi berlapis sutra dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. Nyonya Cindy diam-diam meratap dalam hatinya. “William, Mami sedih melihatmu terpuruk sejak putus dengan Jelita. Hatimu hancur dan semangatmu pudar. Mami tak ingin melihatmu begitu, Nak,” gumamnya dengan air mata yang menitik. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka perlahan, dan William masuk dengan langkah lesu. Ia menatap ibunya dengan tatapan hampa. Sudah tiga hari ini William menginap di rumah Nyonya Cindy di Lampung, membawa serta kesedihannya. William dengan suara terdengar rapuh berkata dan bersimpuh di pangkuan sang ibu. “Mam, aku tak tahu apa yang harus kulakukan,” lirihnya dengan perasaan kosong, tanpa arah. Nyonya Cindy membelai-belai rambut William. “Sayang, Mami tahu ini sulit bagimu. Tapi kamu harus percaya bahwa hidup masih memiliki banyak arti dan tujuan lain. Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam kesedihan ini.” William mengusap
"Kamu tidak bisa melakukannya, William! Keluarga dan perusahaan membutuhkanmu. Kamu harus bertanggung jawab!" "Aku sudah bertanggung jawab, Om, tetapi bukan dalam cara yang Om inginkan. Aku akan fokus pada karierku dan membangun masa depanku sendiri. Aku tidak akan mengikuti rencana yang Om susun." Deni merasa kekuasaannya mulai tergeser. Dia mencoba menemukan kata-kata yang bisa mengubah keputusan William. "Pikirkanlah, William. Pernikahan dengan Nadya akan membawa keuntungan besar bagi kita. Kita akan memiliki stabilitas finansial dan kekuasaan yang tak terbatas." "Tapi apa artinya semuanya jika aku tidak bahagia? Aku tidak akan hidup dalam kebohongan dan membiarkan kehidupan cintaku terjebak dalam perjanjian bisnis." William teguh dalam pendiriannya. Dia tahu bahwa memaksakan pernikahan yang tidak diinginkannya hanya akan membawa kebahagiaan palsu. Deni, yang semula percaya bahwa dia bisa mengendalikan segalanya, merasa hancur melihat William yang tidak mengikuti jalannya. "Ka
Suasana pesta pernikahan Atika terasa meriah dan penuh kegembiraan. Orang-orang berkumpul, tertawa, dan menikmati makanan yang lezat. Namun, di antara kegembiraan itu, Atika terlihat tidak begitu antusias dan bahagia seperti pengantin wanita pada umumnya. Dia memandang sekeliling dengan tatapan kosong, pikirannya terombang-ambing di tengah perasaan campur aduk. Atika berbisik dalam hati. “Apa yang terjadi padaku? Seharusnya ini adalah hari yang penuh kebahagiaan. Tapi mengapa aku merasa seperti ini?” Atika menatap keramaian pesta, memperhatikan para tamu yang sedang menikmati makanan dan minuman. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sosok yang berbeda di antara kerumunan. Sosok itu terlihat seperti John Wick! Dia tampak bergerak dengan gesit, menyajikan hidangan kepada para tamu sebagai seorang pelayan. Atika dalam kebingungan bertanya-tanya. 'John? Tidak mungkin. Apakah itu benar-benar dia?' pikirnya. Atika memfokuskan tatapannya, tetapi sosok itu dengan cepat menghilang di antara
William mempersiapkan diri dengan hati yang berdebar-debar. Hari ini adalah ulang tahun Jelita, dan dia ingin menemui gadis itu dengan perasaan yang baru, sebagai seorang kakak yang peduli. Dia berharap bisa berdamai dengan masa lalu, menghapus luka-luka yang terbuka selama ini. Bayangan Jelita masih terus menghantuinya. William menyadari bahwa untuk benar-benar melangkah maju, dia harus menghadapi Jelita dan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Dia membutuhkan penutupan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Jelita. William tiba di apartemen Jelita dengan harapan yang tinggi. Namun, saat pintu terbuka, kebingungan menghampirinya. Ruangan itu sepi, tak ada tanda-tanda perayaan ulang tahun. William mencari-cari Jelita dengan gelisah, berharap menemukannya di sudut apartemen. Dan dia baru sadar jika unit ini tak berpenghuni, “Sepertinya dia tak pernah ke sini,” gumam William seperti orang bodoh. William langsung mencari jejak Jelita sepanjang sisa hari itu. Dia merasa seperti