Selamat membaca. Jangan lupa vote ya :)
“Cih. Aku nggak mau jadi gundikmu!”“Njirrr! Siapa juga yang mau jadiin elu gundik gue sih, Ta? Yang ada gue malah pengen jadiin elu ratu satu-satunya di hati gue.Jelita mencebik, tak mau percaya begitu saja. ‘Dasar player! Bisa aja ngomongnya.’“Dengerin, berhenti buruk sangka dulu ke gue bisa kagak sih lu?” Bimo menjitak Jelita dan dengan cepat dia menerima balasan berupa tabokan panas di lengannya yang bertato.“Buset, galak beut lu jadi cewek!” omel Bimo yang tak ada kapok-kapoknya menggoda Jelita meskipun berkali-kali kena tabok.“Dengerin, Jelita. Gue punya ide brilian! Gimana kalau elu jadi asisten pribadi gue yang bertugas menyelesaikan semua tugas kuliah dan tugas skripsi gue?”Jelita tertawa. “Bim, itu terdengar seperti tugas yang sangat melelahkan. Apa kamu yakin mendelegasikan semuanya padaku?”“Ya iyalah, Ta! Gue percaya sepenuhnya ke elu. Gue punya rencana besar untuk mengubah dunia, tapi sayangnya gue lebih suka dugem daripada duduk di bangku kuliah. Jadi, gue butuh se
Bimo mengulum senyum, sejak tinggal bersama Jelita dia jadi merasa semakin terurus. Jelita pandai sekali membuat makanan yang lezat. Bimo tak pernah melewatkan sarapan dan jadwal makan lainnya. Gadis itu juga cerewet mengingatkannya agar cepat pulang jika Bimo asyik kongkow bersama Stephan sampai tengah malam, bahkan Bimo sudah dua minggu ini tidak dugem. Apalagi main perempuan.“Elu kayak suami takut istri aja, Bim!” ledek Stephan yang sudah tahu jika temannya itu kini tinggal seatap dengan Jelita. Tetapi Stephan menjaga rahasia ini rapat-rapat demi nama baik Jelita, atas permintaan Bimo juga. Bimo tak ingin Jelita dipandang buruk oleh teman-teman yang lain hanya karena dekat dengannya. “Gue pikir nikah enak juga, Step, kalau bini gue Jelita.” Bimo nyengir kepada Stephan yang menoleh kepadanya dengan mata membeliak kaget.Stephan kemudian terbahak. “Wah, gue angkat topi sama Jelita karena sanggup bikin seorang Bimo Abimana, player kelas kakap kita tobat dan memikirkan menikah. Dia m
Di ruang pribadi Nyonya Cindy, suasana hening terasa. Dia duduk sendirian di kursi berlapis sutra dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. Nyonya Cindy diam-diam meratap dalam hatinya. “William, Mami sedih melihatmu terpuruk sejak putus dengan Jelita. Hatimu hancur dan semangatmu pudar. Mami tak ingin melihatmu begitu, Nak,” gumamnya dengan air mata yang menitik. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka perlahan, dan William masuk dengan langkah lesu. Ia menatap ibunya dengan tatapan hampa. Sudah tiga hari ini William menginap di rumah Nyonya Cindy di Lampung, membawa serta kesedihannya. William dengan suara terdengar rapuh berkata dan bersimpuh di pangkuan sang ibu. “Mam, aku tak tahu apa yang harus kulakukan,” lirihnya dengan perasaan kosong, tanpa arah. Nyonya Cindy membelai-belai rambut William. “Sayang, Mami tahu ini sulit bagimu. Tapi kamu harus percaya bahwa hidup masih memiliki banyak arti dan tujuan lain. Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam kesedihan ini.” William mengusap
"Kamu tidak bisa melakukannya, William! Keluarga dan perusahaan membutuhkanmu. Kamu harus bertanggung jawab!" "Aku sudah bertanggung jawab, Om, tetapi bukan dalam cara yang Om inginkan. Aku akan fokus pada karierku dan membangun masa depanku sendiri. Aku tidak akan mengikuti rencana yang Om susun." Deni merasa kekuasaannya mulai tergeser. Dia mencoba menemukan kata-kata yang bisa mengubah keputusan William. "Pikirkanlah, William. Pernikahan dengan Nadya akan membawa keuntungan besar bagi kita. Kita akan memiliki stabilitas finansial dan kekuasaan yang tak terbatas." "Tapi apa artinya semuanya jika aku tidak bahagia? Aku tidak akan hidup dalam kebohongan dan membiarkan kehidupan cintaku terjebak dalam perjanjian bisnis." William teguh dalam pendiriannya. Dia tahu bahwa memaksakan pernikahan yang tidak diinginkannya hanya akan membawa kebahagiaan palsu. Deni, yang semula percaya bahwa dia bisa mengendalikan segalanya, merasa hancur melihat William yang tidak mengikuti jalannya. "Ka
Suasana pesta pernikahan Atika terasa meriah dan penuh kegembiraan. Orang-orang berkumpul, tertawa, dan menikmati makanan yang lezat. Namun, di antara kegembiraan itu, Atika terlihat tidak begitu antusias dan bahagia seperti pengantin wanita pada umumnya. Dia memandang sekeliling dengan tatapan kosong, pikirannya terombang-ambing di tengah perasaan campur aduk. Atika berbisik dalam hati. “Apa yang terjadi padaku? Seharusnya ini adalah hari yang penuh kebahagiaan. Tapi mengapa aku merasa seperti ini?” Atika menatap keramaian pesta, memperhatikan para tamu yang sedang menikmati makanan dan minuman. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sosok yang berbeda di antara kerumunan. Sosok itu terlihat seperti John Wick! Dia tampak bergerak dengan gesit, menyajikan hidangan kepada para tamu sebagai seorang pelayan. Atika dalam kebingungan bertanya-tanya. 'John? Tidak mungkin. Apakah itu benar-benar dia?' pikirnya. Atika memfokuskan tatapannya, tetapi sosok itu dengan cepat menghilang di antara
William mempersiapkan diri dengan hati yang berdebar-debar. Hari ini adalah ulang tahun Jelita, dan dia ingin menemui gadis itu dengan perasaan yang baru, sebagai seorang kakak yang peduli. Dia berharap bisa berdamai dengan masa lalu, menghapus luka-luka yang terbuka selama ini. Bayangan Jelita masih terus menghantuinya. William menyadari bahwa untuk benar-benar melangkah maju, dia harus menghadapi Jelita dan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Dia membutuhkan penutupan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Jelita. William tiba di apartemen Jelita dengan harapan yang tinggi. Namun, saat pintu terbuka, kebingungan menghampirinya. Ruangan itu sepi, tak ada tanda-tanda perayaan ulang tahun. William mencari-cari Jelita dengan gelisah, berharap menemukannya di sudut apartemen. Dan dia baru sadar jika unit ini tak berpenghuni, “Sepertinya dia tak pernah ke sini,” gumam William seperti orang bodoh. William langsung mencari jejak Jelita sepanjang sisa hari itu. Dia merasa seperti
Jelita dan Bimo setiap hari berangkat ke kampus bersama-sama dari apartemen. Sejak bersama Jelita, Bimo lebih energik menjalani kuliahnya. Meski bukan karena kesungguhannya untuk belajar, Bimo tetap cuek dan hanya ingin bersenang-senang dan kesenangannya adalah bersama Jelita yang suka menghabiskan waktunya di kampus, gadis itu nyaris tak pernah bolos kuliah. Jelita selalu saja serius dan fokus pada semua tugas kuliahnya, tak lupa membereskan semua tugas kuliah Bimo juga sesuai perjanjian. Di kelas, Jelita dengan tekun mencatat setiap penjelasan dosen, memperhatikan detail tugas, dan mengajukan pertanyaan jika ada hal yang tidak dimengerti. Sementara itu, Bimo duduk di sampingnya dengan santainya, melihat-lihat ponselnya, dan terlihat tidak tertarik dengan apa yang disampaikan dosen. "Bimo, ini tugas minggu depan sangat penting. Kita harus mempersiapkannya dengan serius." Bimo, sambil tersenyum malas, menjawab, "Kita? Elu aja kali.” Jelita memutar bola mata. “Baiklah, aku yang akan
Angin berhembus lembut di sore yang cerah, menggoyahkan tirai putih di apartemen Bimo. Dalam ruangan yang penuh dengan buku dan catatan, Bimo belajar dengan serius, mencoba memahami teori-teori perkuliahan yang kompleks. Kenapa juga dia mau-mau saja saat Jelita memakai belajar sebagai syarat saat Bimo minta dibuatkan sepiring nasi goreng yang lezat tadi? Setelah kenyang, Bimo jadi menyesal mengiyakan syarat ini. “Bangke, apaan sih ini maksudnya, anjir?” Bimo mulai pusing. Bimo melirik Jelita, ingin bertanya. Namun dia malah menelan ludah. Di seberang meja, Jelita duduk dengan perhatian yang sama, melahap isi bukunya. Tubuh Jelita yang anggun terpancar dari balik sinar matahari yang menyinari ruangan. Rambut hitam panjangnya tergerai dengan indah, mencerminkan kecantikan alami yang tak bisa diabaikan oleh Bimo. Bimo terus mencoba memusatkan perhatiannya pada buku catatan berisi materi kuliah yang sudah dirangkum Jelita untuknya, tetapi pikirannya terus terpaku pada sosok Jelita. Ia