Happy reading. Vote ya kalau kamu suka ceritanya :)
“Bimo orangnya baik kok, Bang. Laura juga terlihat nyaman berteman dengannya. Dia nggak seurakan yang Abang lihat.” “Bagaimana bisa kamu dan Laura berteman dengannya?” Kemudian Jelita menceritakan tentang lomba renang dan taruhan yang dilakukan Laura dengan Bimo. Dia meyakinkan William jika Bimo bisa dijadikan teman yang baik baginya dan juga Laura. Bahkan Bimo bisa memotivasi Laura sampai-sampai gadis itu bertekad ingin rutin olahraga mulai hari ini gara-gara kalah renang dari Bimo. “Jadi kalian di mall Taman Anggrek?” “Iya, Bang.” “Kebetulan, posisiku dekat situ. Nanti aku susul kalian. Kita pulang bareng.” “Tapi, Bang. Nggak enak sama Bimo, masa berangkat bareng dia tapi pulangnya sama Abang? Rasanya kok agak gimana gitu. Apalagi kami kan memang sepakat sejak awal untuk berangkat dan pulang bareng-bareng.” William menghela napas panjang. Dia sebenarnya paham tanpa perlu dijelaskan lagi oleh Jelita, tetapi ada rasa menusuk dalam hatinya hanya karena Jelita bersama pria selain
Jelita mengembangkan jarak sehingga tangan William terlepas dari pinggangnya. “Ya ampun, lihat deh Laura. Masih semangat aja dia.” Jelita geleng-geleng melihat Laura masih asyik berselancur didampingi Bimo. Diam-diam Jelita mengagumi Bimo yang juga terlihat lincah mengimbangi permainan Laura. Gerakan keduanya sungguh indah. “Ayo, kita tunggu mereka sambil nonton,” ajak William tiba-tiba. “Pasti setelah ini Laura akan merengek-rengek minta makan di KFC, mereka tak akan ke mana-mana, nanti kita langsung susul mereka ke sana,” katanya sambil menggandeng Jelita menuju bioskop. Mereka tak repot-repot memilih judul film, bahkan asal-asalan memilih. Toh tujuan mereka bukan benar-benar untuk menonton, tetapi untuk mengisi kekosongan waktu daripada berlama-lama menunggu Laura dan Bimo. “Mau popcorn, Ta?” William menawari saat mereka akan memasuki bioskop, tetapi Jelita menggeleng karena perutnya sudah kenyang. “Minum?” tanyanya lagi, dan Jelita menggeleng lagi. Bioskop tidak terlalu penu
Jadwal tes ujian masuk perguruan tingga tinggal hitungan hari. Tetapi si kecil Aldi tiba-tiba saja demam. Jelita buru-buru memisahkan Aldi dari Andre saat tidur agar tak tertular. Membiarkan Laura mengomel karena harus berbagi kamar dengan adiknya yang paling reseh. Syukurlah sekarang Laura sudah lebih jinak dan mau mendengar arahan Jelita. “Ini demi kesehatan kita bersama ya, Kak. Cukup Aldi saja yang sakit, kalian jangan.” Begitu Jelita bilang tadi sehingga Laura mau berdamai dengan keadaan. Aldi rewel sekali karena sakit, dia tak mau ditinggal sendirian saat tidur sehingga Jelita harus memeluknya terus sambil menepuk-nepuk sayang hingga anak itu tertidur. Jelita rutin mengecek suhu tubuhnya beberapa jam sekali dan memberi obat penurun demam sesuai arahan dokter pribadi keluarga Subrata yang tadi datang memeriksa Aldi. Praktis hal itu membuat Jelita kurang tidur. Meskipun begitu dia memaksakan diri tetap belajar mengerjakan soal-soal latihan, sampai mengantuk dan tertidur di sisi Al
Mobil Bimo berhenti tepat di depan rumah William. “Besok mobilku ready di sini jam 6 ya, kita berangkat pagi biar nggak kena macet.” “Makasih banget ya, Bim.” “My pleasure.” Jelita menuruni mobil dan menutup pintunya, kemudian melambaikan tangan sebelum memasuki gerbang rumah William. Dilihatnya ada mobil yang bukan punya William. “Siapa ya, apa tamunya Abang?” gumamnya sambil memasuki rumah. Baru selangkah masuk, dia langsung bertemu tatap dengan perempuan berusia sekitar lima puluhan. Dilihat dari penampilannya yang elegan, Jelita langsung tahu kalau dia bukan tamu biasa. “Siapa kamu?” tegur perempuan itu sambil bersedekap memandangi Jelita. Dia adalah Marta Subrata, adik kandung dari ayahnya William. “Saya Jelita, Nyonya. Pembantunya tuan William.” “Pembantu?” Tatapan perempuan itu memindai Jelita dari ujung rambut hingga ujung kaki. Diam-diam dia terkejut William memiliki pembantu secantik artis ibukota. “Aldi sakit kok malah kamu pergi sih? Lihat tuh, Bik Yuni jadi kerepot
Jelita dan Bik Yuni betul-betul sibuk malam itu, bahkan sampai tamunya pulang kesibukan kedua orang itu belum juga berakhir. Dan di tengah kesibukan Jelita membereskan dapur, ponselnya berdering, dilihatnya nama William terpampang dalam layar. “Halo—“ “Cepatlah istirahat, besok kamu harus bangun pagi untuk pergi tes.” Kemudian panggilan itu berakhir. Jelita menghela napas. Dia juga ingin cepat istirahat, tapi tak mungkin membiarkan Bik Yuni bekerja sendirian. Maka dia tetap melanjutkan kegiatannya membenahi dapur dan seluruh perkakas yang belum selesai dibereskan. Di kamarnya, William memerhatikan Jelita lewat kamera cctv dengan perasaan gundah. Gadis itu betul-betul keras kepala. “Kenapa dia nggak mau menghentikan kerjaannya itu sih?” gumamnya kesal. William meremas-remas tangannya melihat Jelita menguap sambil membereskan dapur. Sial. Sampai kapan dia akan membiarkan gadis yang disayanginya selelah itu? Iapun keluar kamar dan menuju dapur, pura-pura ingin mengambil minum. “Kali
Bimo mengucek mata, lalu merenggangkan tubuhnya sambil menguap panjang. Lalu tangannya menggapai-gapai nakas untuk mengambil ponsel. “Wanjrit!” pekiknya dengan mata melotot. Cowok itupun tunggang langgang ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Lalu ganti baju secepat kilat, tersandung-sandung saat memakai celana panjangnya. “Sialan, bisa-bisanya gue nggak dengar suara alarm bunyi.” Pria itu mengumpat diri sendiri karena terlalu nyenyak tidur dan baru terbangun tepat jam 6 lewat padahal dia sudah janji akan siap di depan rumah Jelita jam 6 tepat. Dia tergopoh-gopoh menuju mobil sambil menelepon Jelita, tetapi gadis itu tak jua menerima panggilannya. “Bangke, nggak dijawab lagi teleponnya.” Bimo betul-betul panik. Bimo menekan klakson mobilnya berulang-ulang tepat di depan rumah Wiliam. Dan pria itu baru berhenti membuat keributan setelah melihat Bik Yuni nongol dari balik gerbang rumah. “Jelita mana, Bik?” “Sudah berangkat sama tuan William.” “Hah? Sudah berangkat tho.” Bimo mend
Bimo membawa Jelita ke Senayan City, sebuah mall yang terletak di tengah pusat bisnis Senayan. Mall ini sangat lengkap, selain diisi oleh berbagai outlet dengan merk-merk terkenal di dunia terdapat juga foodcourt, kafe, restoran western maupun tradisional, maupun kafe, dan juga arena tempat hiburan untuk anak dan keluarga. Jelita mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengamati dan mengagumi tempat yang baru dikenalnya. Ini mall ketiga yang dikunjunginya setelah Central Park dan Taman Anggrek. Ketiga mall itu bagus-bagus, tetapi memiliki atmosfer yang terasa berbeda-beda dengan eksklusifitasnya masing-masing. Jelita berdecak kagum dalam hati saat Bimo menggiringnya memasuki restoran sushi yang berdekorasi simple dan elegan. Suasananya terasa santai dengan area sushi bar di mana pengunjung bisa menyaksikan langsung para chef berkreasi membuat sushi, juga bisa memilih sendiri sushi yang tersaji di atas conveyor belt. Pikir Jelita pasti orang-orang yang datang ke sini berkantong tebal, a
William ingin marah, ada yang terasa meledak-ledak dalam hatinya melihat Jelita sedang tertangkap makan siang bersama Bimo. Terlebih kedua orang itu terlihat begitu akrab. Dari tempatnya, William bisa melihat Jelita tersenyum dan tertawa lepas sepanjang mengobrol dengan Bimo. Saat bersamanya, Jelita tak pernah bersikap selepas itu. Gadis itu bahkan kerap takut-takut kepada dirinya, seakan William ini harimau lapar yang bisa memangsanya kapan saja. Padahal William sudah membuka diri, dia juga tak pernah membentaknya lagi. Apa yang Jelita takutkan dari dirinya? “Will, ayo.” Nadya menepuk pelan lengan William yang sejak tadi bersedekap sambil melamunkan Jelita. Pria itu menoleh dan membalas senyum Nadya sambil melangkah bersama memasuki restoran. William melirik ke arah Jelita, jarak mereka dipisahkan oleh dua meja. Dilihatnya gadis itu sedang berbicara dengan Bimo yang baru saja meminta tagihan kepada seorang pelayan. Bimo menjawab Jelita disertai senyum buayanya yang khas. William tah