Happy reading :)
Bimo membawa Jelita ke Senayan City, sebuah mall yang terletak di tengah pusat bisnis Senayan. Mall ini sangat lengkap, selain diisi oleh berbagai outlet dengan merk-merk terkenal di dunia terdapat juga foodcourt, kafe, restoran western maupun tradisional, maupun kafe, dan juga arena tempat hiburan untuk anak dan keluarga. Jelita mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengamati dan mengagumi tempat yang baru dikenalnya. Ini mall ketiga yang dikunjunginya setelah Central Park dan Taman Anggrek. Ketiga mall itu bagus-bagus, tetapi memiliki atmosfer yang terasa berbeda-beda dengan eksklusifitasnya masing-masing. Jelita berdecak kagum dalam hati saat Bimo menggiringnya memasuki restoran sushi yang berdekorasi simple dan elegan. Suasananya terasa santai dengan area sushi bar di mana pengunjung bisa menyaksikan langsung para chef berkreasi membuat sushi, juga bisa memilih sendiri sushi yang tersaji di atas conveyor belt. Pikir Jelita pasti orang-orang yang datang ke sini berkantong tebal, a
William ingin marah, ada yang terasa meledak-ledak dalam hatinya melihat Jelita sedang tertangkap makan siang bersama Bimo. Terlebih kedua orang itu terlihat begitu akrab. Dari tempatnya, William bisa melihat Jelita tersenyum dan tertawa lepas sepanjang mengobrol dengan Bimo. Saat bersamanya, Jelita tak pernah bersikap selepas itu. Gadis itu bahkan kerap takut-takut kepada dirinya, seakan William ini harimau lapar yang bisa memangsanya kapan saja. Padahal William sudah membuka diri, dia juga tak pernah membentaknya lagi. Apa yang Jelita takutkan dari dirinya? “Will, ayo.” Nadya menepuk pelan lengan William yang sejak tadi bersedekap sambil melamunkan Jelita. Pria itu menoleh dan membalas senyum Nadya sambil melangkah bersama memasuki restoran. William melirik ke arah Jelita, jarak mereka dipisahkan oleh dua meja. Dilihatnya gadis itu sedang berbicara dengan Bimo yang baru saja meminta tagihan kepada seorang pelayan. Bimo menjawab Jelita disertai senyum buayanya yang khas. William tah
Laura cemberut karena hari ini dia harus kembali pulang ke Palembang. Masa liburannya sudah selesai dan dia harus segera kembali ke bangku sekolahnya yang membosankan. Selain itu, separuh hatinya telanjur tertinggal di sini. Tersangkut pada sosok om-om ganteng yang telah merampok cintanya, bukan lagi mencuri. “Kak Lita, aku titip om Bimo ya. Dia cinta pertamaku. Tolong dijagain baik-baik. Kalian nanti satu kampus, kan?” katanya sambil menatap wajah Jelita lewat pantulan cermin di meja rias. Saat ini Jelita sedang mengepang rambutnya. Jelita sebisa mungkin menahan tawanya yang nyaris meledak. Bisa-bisanya Laura jatuh cinta pada Bimo, cowok yang jauh lebih tua darinya. “Sayangnya mama nggak bakalan kasih aku buat melanjutkan sekolah SMA di sini. Tapi pas kuliah nanti, aku bakal kuliah di Jakarta, di kampus yang sama dengan om Bimo.” Jelita mengikat rambut Laura sambil tertawa. “Bimo sudah lulus pas kamu kuliah di sana nanti. Lupakan dia, siapa tahu nanti pas di SMA kamu bakal ketemu
Jelita memeluk Bik Yuni yang akan segera ikut Hana ke Palembang. Meskipun belum lama mengenal Bik Yuni tetapi mereka sudah sedekat keluarga. “Makasih ya, Bik, atas support Bibik selama ini buatku,” kata Jelita dengan mata berkaca-kaca, teringat bagaimana Bik Yuni kerap membuatkannya camilan saat dia belajar.Bik Yuni menepuk-nepuk lembut pundak Jelita yang sudah dianggapnya seperti anak. “Mbak Lita semangat terus ya, harus lulus sampai jadi Sarjana dan carilah kerja yang lebih baik buat masa depan. Biar nggak kayak saya yang jadi pembantu terus sampai setua ini,” ujarnya memotivasi.Kedua orang itu saling melempar senyum dengan tatapan berkabut haru. Sampai kemudian Hana menyuruh Bik Yuni agar lekas menaiki mobil karena mereka sudah siap berangkat. “Kak Lita, ayo ikut antar kami ke bandara!” Tiba-tiba Laura turun dari mobil dan menarik-narik lengan Jelita. Aldi ikut turun dan melakukan hal yang sama. “Ayo, Kakak ikuuut,” rengek bocah itu. Aldi menyukai Jelita karena pembantu omnya
Jelita menelepon Pak Gatot, sopir keluarga Subrata yang tadi mengantar rombongan keluarga Hana ke bandara. “Pak, saya sudah di lobi yang tadi. Bapak di mana?” tanyanya sambil menoleh ke sekitar, mencari-cari dengan tatapan bingung. “Loh saya sudah balik ke Jakarta, Mbak.” “Hah? Kok saya ditinggal?” “Tadi saya ditelepon sama tuan William, saya disuruh langsung balik saja, katanya Mbak Lita nanti pulangnya bareng sama tuan.” “Oh. Baik, Pak. Terima kasih.” Jelita kemudian menutup sambungan telepon itu dan menatap ke arah William dan Nadya yang terlihat asyik berbincang tak jauh darinya. Dia mendesah, mengusir rasa tak nyaman yang melingkupi dirinya. Tak lama kemudian sebuah mobil sedan menepi. Jelita melihat sosok Pak Mamat, sopir pribadi William, turun dari dalam mobil untuk membukakan pintu bagi sang tuan. William mempersilakan Nadya masuk, setelah Nadya memasuki mobil barulah William menutup pintunya, kemudian pria itu menoleh kepada Jelita sambil membukakan pintu bagian depan lal
Jelita bisa merasakan perubahan sikap Bimo yang mendadak menarik diri sejak tahu dirinya hanyalah pembantu. Cowok itu tak pernah lagi mengiriminya pesan-pesan gombal seperti ucapan selamat pagi dan selamat tidur. Atau pesan-pesan kepo ingin tahu apa saja kegiatan Jelita seharian. Jelita justru tenang dan tak terganggu. Juga tak tersinggung andaikata Bimo benar kecewa dan memutuskan pertemanan hanya karena perbedaan kasta antara mereka. Baginya itu hak Bimo dalam memilih teman, setiap orang berhak memutuskan dengan siapa dia ingin berteman. Ketika Jelita sudah mulai masuk kuliah dan melewati masa-masa ospek yang melelahkan, Jelita tak agresif memperluas jaringan pertemanan, meskipun William menganjurkan begitu. Jelita yakin ada banyak orang seperti Bimo yang akan kecewa setelah tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Pertemanannya dengan Bimo mengajarinya satu hal penting bahwa bagaimanapun umumnya orang lebih peduli tentang siapa kita daripada bagaimana kita. Dalam waktu singkat sosok Je
Nadya berdiri di dekat pintu utama ruang dansa seperti orang bodoh, sendirian, memandangi suasana gemerlap di hadapannya. Lampu-lampu serupa lilin memancarkan cahaya hangat keemasan ke arah para tamu yang sedang sibuk berdansa. Para pria memakai tuksedo, berdampingan dengan wanitanya yang bergaun memukau dengan batu permata berkilauan di leher dan pergelangan tangan mereka, simbol kesuksesan yang mengukuhkan nama besar pribadi maupun perusahaan yang mereka miliki. Nadya sudah terbiasa dengan acara-acara eksklusif seperti ini saat masih tinggal di Paris, namun selalu di luar keramaian karena biasanya dia sedang bekerja. Akan tetapi baru kali ini ia benar-benar merasakan perasaan terasing seperti ini. Padahal kali ini ia menjadi bagian tamu penting dalam acara ini. Bahkan dia sudah menyanggul rambutnya dengan gaya modern yang manis. Dengan gaun satin hijaunya yang tanpa tali di bahu, memamerkan keindahan pundak dan tulang selangkanya yang seksi. Andai saja William melihat penampilannya
“Sayangnya wanita itu tak masuk kriteria calon menantu keluarga Subrata bukan?” Nadya tersenyum melihat William membisu. “Will, aku bisa berkompromi denganmu tentang keberadaan wanita itu dalam hubungan asmara kita nanti. Aku akan tutup mata seakan tak pernah melihatnya dan berlagak tak tahu apa-apa.” “Jangan cari masalah, Nad. Jangan pikir ini perkara yang mudah untuk diatasi.” “Percayalah padaku, Will. Aku hanya butuh status sebagai pacarmu.” “Buat apa sih, Nad?” “Buat menenangkan orangtuaku, Will. Mereka pikir selama ini aku gila karier sampai-sampai melupakan soal asmara. Dengan menjalin hubungan denganmu, mereka tak akan mencecarku lagi. Dan seperti yang kubilang, kalaupun pada akhirnya kita putus, setidaknya mereka sudah melihat aku telah mencoba sebuah hubungan.” “Apa kamu seputus asa itu, Nad?” William tertawa lirih sambil geleng-geleng kepala. “Terus terang, ya.” Nadya mencebik untuk dirinya sendiri. “Oke. Aku terima tawaranmu selama kamu betulan bisa berkompromi tenta