Vote yuk kalau kamu suka ceritanya :)
Jadwal tes ujian masuk perguruan tingga tinggal hitungan hari. Tetapi si kecil Aldi tiba-tiba saja demam. Jelita buru-buru memisahkan Aldi dari Andre saat tidur agar tak tertular. Membiarkan Laura mengomel karena harus berbagi kamar dengan adiknya yang paling reseh. Syukurlah sekarang Laura sudah lebih jinak dan mau mendengar arahan Jelita. “Ini demi kesehatan kita bersama ya, Kak. Cukup Aldi saja yang sakit, kalian jangan.” Begitu Jelita bilang tadi sehingga Laura mau berdamai dengan keadaan. Aldi rewel sekali karena sakit, dia tak mau ditinggal sendirian saat tidur sehingga Jelita harus memeluknya terus sambil menepuk-nepuk sayang hingga anak itu tertidur. Jelita rutin mengecek suhu tubuhnya beberapa jam sekali dan memberi obat penurun demam sesuai arahan dokter pribadi keluarga Subrata yang tadi datang memeriksa Aldi. Praktis hal itu membuat Jelita kurang tidur. Meskipun begitu dia memaksakan diri tetap belajar mengerjakan soal-soal latihan, sampai mengantuk dan tertidur di sisi Al
Mobil Bimo berhenti tepat di depan rumah William. “Besok mobilku ready di sini jam 6 ya, kita berangkat pagi biar nggak kena macet.” “Makasih banget ya, Bim.” “My pleasure.” Jelita menuruni mobil dan menutup pintunya, kemudian melambaikan tangan sebelum memasuki gerbang rumah William. Dilihatnya ada mobil yang bukan punya William. “Siapa ya, apa tamunya Abang?” gumamnya sambil memasuki rumah. Baru selangkah masuk, dia langsung bertemu tatap dengan perempuan berusia sekitar lima puluhan. Dilihat dari penampilannya yang elegan, Jelita langsung tahu kalau dia bukan tamu biasa. “Siapa kamu?” tegur perempuan itu sambil bersedekap memandangi Jelita. Dia adalah Marta Subrata, adik kandung dari ayahnya William. “Saya Jelita, Nyonya. Pembantunya tuan William.” “Pembantu?” Tatapan perempuan itu memindai Jelita dari ujung rambut hingga ujung kaki. Diam-diam dia terkejut William memiliki pembantu secantik artis ibukota. “Aldi sakit kok malah kamu pergi sih? Lihat tuh, Bik Yuni jadi kerepot
Jelita dan Bik Yuni betul-betul sibuk malam itu, bahkan sampai tamunya pulang kesibukan kedua orang itu belum juga berakhir. Dan di tengah kesibukan Jelita membereskan dapur, ponselnya berdering, dilihatnya nama William terpampang dalam layar. “Halo—“ “Cepatlah istirahat, besok kamu harus bangun pagi untuk pergi tes.” Kemudian panggilan itu berakhir. Jelita menghela napas. Dia juga ingin cepat istirahat, tapi tak mungkin membiarkan Bik Yuni bekerja sendirian. Maka dia tetap melanjutkan kegiatannya membenahi dapur dan seluruh perkakas yang belum selesai dibereskan. Di kamarnya, William memerhatikan Jelita lewat kamera cctv dengan perasaan gundah. Gadis itu betul-betul keras kepala. “Kenapa dia nggak mau menghentikan kerjaannya itu sih?” gumamnya kesal. William meremas-remas tangannya melihat Jelita menguap sambil membereskan dapur. Sial. Sampai kapan dia akan membiarkan gadis yang disayanginya selelah itu? Iapun keluar kamar dan menuju dapur, pura-pura ingin mengambil minum. “Kali
Bimo mengucek mata, lalu merenggangkan tubuhnya sambil menguap panjang. Lalu tangannya menggapai-gapai nakas untuk mengambil ponsel. “Wanjrit!” pekiknya dengan mata melotot. Cowok itupun tunggang langgang ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Lalu ganti baju secepat kilat, tersandung-sandung saat memakai celana panjangnya. “Sialan, bisa-bisanya gue nggak dengar suara alarm bunyi.” Pria itu mengumpat diri sendiri karena terlalu nyenyak tidur dan baru terbangun tepat jam 6 lewat padahal dia sudah janji akan siap di depan rumah Jelita jam 6 tepat. Dia tergopoh-gopoh menuju mobil sambil menelepon Jelita, tetapi gadis itu tak jua menerima panggilannya. “Bangke, nggak dijawab lagi teleponnya.” Bimo betul-betul panik. Bimo menekan klakson mobilnya berulang-ulang tepat di depan rumah Wiliam. Dan pria itu baru berhenti membuat keributan setelah melihat Bik Yuni nongol dari balik gerbang rumah. “Jelita mana, Bik?” “Sudah berangkat sama tuan William.” “Hah? Sudah berangkat tho.” Bimo mend
Bimo membawa Jelita ke Senayan City, sebuah mall yang terletak di tengah pusat bisnis Senayan. Mall ini sangat lengkap, selain diisi oleh berbagai outlet dengan merk-merk terkenal di dunia terdapat juga foodcourt, kafe, restoran western maupun tradisional, maupun kafe, dan juga arena tempat hiburan untuk anak dan keluarga. Jelita mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengamati dan mengagumi tempat yang baru dikenalnya. Ini mall ketiga yang dikunjunginya setelah Central Park dan Taman Anggrek. Ketiga mall itu bagus-bagus, tetapi memiliki atmosfer yang terasa berbeda-beda dengan eksklusifitasnya masing-masing. Jelita berdecak kagum dalam hati saat Bimo menggiringnya memasuki restoran sushi yang berdekorasi simple dan elegan. Suasananya terasa santai dengan area sushi bar di mana pengunjung bisa menyaksikan langsung para chef berkreasi membuat sushi, juga bisa memilih sendiri sushi yang tersaji di atas conveyor belt. Pikir Jelita pasti orang-orang yang datang ke sini berkantong tebal, a
William ingin marah, ada yang terasa meledak-ledak dalam hatinya melihat Jelita sedang tertangkap makan siang bersama Bimo. Terlebih kedua orang itu terlihat begitu akrab. Dari tempatnya, William bisa melihat Jelita tersenyum dan tertawa lepas sepanjang mengobrol dengan Bimo. Saat bersamanya, Jelita tak pernah bersikap selepas itu. Gadis itu bahkan kerap takut-takut kepada dirinya, seakan William ini harimau lapar yang bisa memangsanya kapan saja. Padahal William sudah membuka diri, dia juga tak pernah membentaknya lagi. Apa yang Jelita takutkan dari dirinya? “Will, ayo.” Nadya menepuk pelan lengan William yang sejak tadi bersedekap sambil melamunkan Jelita. Pria itu menoleh dan membalas senyum Nadya sambil melangkah bersama memasuki restoran. William melirik ke arah Jelita, jarak mereka dipisahkan oleh dua meja. Dilihatnya gadis itu sedang berbicara dengan Bimo yang baru saja meminta tagihan kepada seorang pelayan. Bimo menjawab Jelita disertai senyum buayanya yang khas. William tah
Laura cemberut karena hari ini dia harus kembali pulang ke Palembang. Masa liburannya sudah selesai dan dia harus segera kembali ke bangku sekolahnya yang membosankan. Selain itu, separuh hatinya telanjur tertinggal di sini. Tersangkut pada sosok om-om ganteng yang telah merampok cintanya, bukan lagi mencuri. “Kak Lita, aku titip om Bimo ya. Dia cinta pertamaku. Tolong dijagain baik-baik. Kalian nanti satu kampus, kan?” katanya sambil menatap wajah Jelita lewat pantulan cermin di meja rias. Saat ini Jelita sedang mengepang rambutnya. Jelita sebisa mungkin menahan tawanya yang nyaris meledak. Bisa-bisanya Laura jatuh cinta pada Bimo, cowok yang jauh lebih tua darinya. “Sayangnya mama nggak bakalan kasih aku buat melanjutkan sekolah SMA di sini. Tapi pas kuliah nanti, aku bakal kuliah di Jakarta, di kampus yang sama dengan om Bimo.” Jelita mengikat rambut Laura sambil tertawa. “Bimo sudah lulus pas kamu kuliah di sana nanti. Lupakan dia, siapa tahu nanti pas di SMA kamu bakal ketemu
Jelita memeluk Bik Yuni yang akan segera ikut Hana ke Palembang. Meskipun belum lama mengenal Bik Yuni tetapi mereka sudah sedekat keluarga. “Makasih ya, Bik, atas support Bibik selama ini buatku,” kata Jelita dengan mata berkaca-kaca, teringat bagaimana Bik Yuni kerap membuatkannya camilan saat dia belajar.Bik Yuni menepuk-nepuk lembut pundak Jelita yang sudah dianggapnya seperti anak. “Mbak Lita semangat terus ya, harus lulus sampai jadi Sarjana dan carilah kerja yang lebih baik buat masa depan. Biar nggak kayak saya yang jadi pembantu terus sampai setua ini,” ujarnya memotivasi.Kedua orang itu saling melempar senyum dengan tatapan berkabut haru. Sampai kemudian Hana menyuruh Bik Yuni agar lekas menaiki mobil karena mereka sudah siap berangkat. “Kak Lita, ayo ikut antar kami ke bandara!” Tiba-tiba Laura turun dari mobil dan menarik-narik lengan Jelita. Aldi ikut turun dan melakukan hal yang sama. “Ayo, Kakak ikuuut,” rengek bocah itu. Aldi menyukai Jelita karena pembantu omnya