Happy reading and vote ya :)
Pada hari yang ditunggu-tunggu, sinar mentari bersinar terang bagai menyambut wisuda Jelita. Dalam balutan toga wisudanya yang elegan, Jelita melangkah menuju panggung dengan penuh percaya diri ketika namanya dipanggil. Gelar sarjana dengan predikat cum laude menjadi tonggak keberhasilannya. Prestasi gemilang yang menggambarkan dedikasi dan ketekunan tanpa henti. Hatinya dipenuhi sukacita saat dia mendengar tepuk tangan meriah dari para hadirin yang kagum melihat prestasinya. Setelah ritual wisuda berakhir, suasana berubah menjadi riuh rendah di antara para tamu yang hadir. Bersama teman-teman seperjuangan, Jelita berpose di depan kamera yang siap menangkap momen bersejarah ini. Kebahagiaan Jelita terpancar jelas, memenuhi setiap pori-pori tubuhnya. Namun, kekosongan terasa menghampiri saat Jelita tak jua menemukan sosok William. Jelita mencari-carinya di antara kerumunan. Dia berusaha menelepon William, namun teleponnya hanya berdering panjang tanpa sahutan. Jelita menunggu, menole
Dina menyusul William yang sedang berada di Singapura untuk urusan bisnis. Rencananya William akan langsung kembali ke Jakarta sore ini, tapi Dina ingin mengajak William terbang bersamanya ke Paris untuk menghadiri sebuah acara yang sangat penting baginya. Mereka sedang berada di dalam kamar hotel tempat William menginap. Saat William pergi ke kamar mandi, Dina duduk di tepi tempat tidur dan tidak sengaja melihat ponsel William bergetar, menandakan adanya pesan masuk. Rasa penasaran menyelimuti Dina, dan tanpa sengaja dia membuka pesan tersebut. Dari Jelita.Dina terkejut melihat isi pesan itu. Jelita memberitahu bahwa dia menitipkan surat undangan wisudanya lewat resepsionis di gedung perusahaan William. Tidak hanya itu, foto surat undangan itu juga dilampirkan dalam pesan tersebut. Dina tercekat, tanggal wisuda Jelita bertepatan dengan acaranya di Paris.Dina mendadak cemas dan khawatir. William terlihat sangat menyayangi adiknya itu, bisa jadi William akan lebih memprioritaskan a
Dina menggenggam tangan William erat-erat, ingin menunjukkan kepada Nadya bahwa mereka sedang bersama, sebagai kekasih. Dia pura-pura tak tahu perasaan Nadya sebenarnya yang jelas-jelas terlihat terpukul melihat kebersamaannya dengan William.“Nad, kenalkan ini William.”“Kami sudah saling kenal kok, kami juga teman dekat. Makanya aku mengundang dia di acara gala dinner waktu itu.” Nadya menyahut dengan suaranya yang gemetar.Dina tertawa, menunjukkan kebahagiaannya secara terang-terangan. “Ah iya, berkat acara itu kami akhirnya bertemu lagi. Acara itu membawa keajaiban bagi kami, Nad. Kami dulu satu kampus. Setelah bertahun-tahun tak bertemu kami berjumpa lagi di acaramu itu. Dia malah menjadi pacarku sekarang.” Hati Nadya panas, sakit sekali. Ia sama sekali tidak menyangka hubungan mereka berdua telah berkembang sedemikian cepat sampai ke tahap pacaran. Perasaan cemburu dan marah semakin menggebu di dalam diri Nadya. Ia merasa seperti dunianya hancur, seolah-olah semuanya direncana
Pada akhirnya Jelita mengizinkan Bimo tinggal di apartemennya, tentunya setelah Bimo melakukan negosiasi yang ulet dengan Jelita. “Oke. Aku tidak akan tidur di ranjangmu tanpa izin, tidak akan mengintipmu mandi dan berganti pakaian, tidak akan menggerayangi dadamu … kecuali kau mengizinkan, terus apa lagi?” Bimo mengedipkan sebelah matanya. Jelita memutar bola mata ketika Bimo mengucapkan janji-janjinya itu dalam negosiasi alot mereka. “Ah, ya. Aku akan memberimu uang sewa harian setara dengan biaya sewa hotel tempatku menginap saat ini. Dibayar di muka.” Jelita seketika terdiam dan tampak berpikir keras. “Berapa harga menginap semalam di sana?” “Kisaran tiga juta per malam.” “Tiga juta?” Jelita terkesiap dan berkedip-kedip. “Yeah.” Bimo mengangguk-angguk sombong. Meskipun sebenarnya kamar di apartemen Jelita jauh lebih sempit dari kamarnya di hotel, tetapi Bimo tak menjadikan itu masalah. Tak penting tentang sempitnya kamar dan minimnya fasilitas yang dia terima jika pindah da
William duduk sendirian di meja pojok coffee shop, menyaksikan suasana yang riuh di sekelilingnya. Bau harum kopi dan desiran percakapan mengisi ruangan, menciptakan aura yang khas dari sebuah coffee shop. Mata William tiba-tiba terpaku pada layar televisi datar yang tergantung di salah satu dinding yang sedang menayangkan acara gosip selebriti. Di sana, berita tentang wisuda seorang artis muncul di layar. Dia mengerutkan kening saat menyadari bahwa kampus artis tersebut sama dengan kampus Jelita. William menyimak acara itu, bukan karena tertarik pada kehidupan si artis, melainkan ingin tahu kapan tepatnya hari wisuda itu terjadi. “Ternyata sudah seminggu yang lalu?” gumamnya bingung. Kilatan kesedihan langsung menyapu wajahnya. Jelita ternyata tak mengundangnya ke acara wisuda itu. Pria itu memejamkan matanya, mencoba merenung dalam-dalam. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang menggantung di udara. Mengapa Jelita tidak mengundangnya? Apakah gadis itu sangat marah melihat dirinya berm
Dina terduduk di ruang kerjanya, menggigit bibirnya dengan gelisah. Pemberitahuan dari direktur pengembangan bisnisnya masih terpampang di layar komputernya, mengingatkannya akan situasi yang semakin rumit. Perusahaan Nadya tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja sama yang selama ini dianggapnya potensial dan menguntungkan. “Apa ini masuk akal?” gumamnya bingung. Namun, pukulan berikutnya datang dengan kekuatan yang lebih mengguncang. Tuan Adyatama, sang investor utama yang selama ini memberikan dukungan finansial kepada Harmonia Dreams, tiba-tiba menarik seluruh dana investasinya. Dina merasa seolah-olah lantai di bawah kakinya tiba-tiba retak dan keberhasilan perusahaannya terancam terjatuh ke jurang kehancuran. “Apa-apaan ini?” Dina merasakan darahnya mengalir dengan cepat, dan detak jantungnya berdentang dalam kegelisahan. Dia mencoba merenung, mencari tahu apa yang telah terjadi, apa yang telah membuat segalanya berubah dengan cepat dan tak terduga. Dina menging
Dina sibuk mempersiapkan proposal bisnis untuk William sambil mengomel kesal. Dia uring-uringan karena tidak pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya. Setiap pria yang pernah dekat dengannya tidak pernah begitu berhati-hati dan perhitungan saat dia meminta bantuan investasi untuk Harmonia Dreams. Tetapi William berbeda. Pria itu terlalu mengutamakan profesionalismenya. "Kenapa semua ini harus begitu rumit?" gerutu Dina dalam hati. "Seharusnya, seorang pria yang tertarik padaku akan bersedia memberikan dukungan finansial tanpa banyak pertimbangan." Dia melihat kembali proposal bisnisnya, memastikan setiap detail terpenuhi dan berusaha menciptakan argumen yang meyakinkan untuk menarik minat William. Namun, di balik kekesalannya, dia juga menyadari sikap profesional William adalah kualitas yang tak boleh diabaikan. "Dia benar-benar tahu bagaimana menjaga keuangan dengan baik," pikir Dina sambil menghela napas. "Mungkin itulah sebabnya dia sukses dan kaya. Aku harus menghargai
Hartono dan Sam akhirnya berjumpa setelah lama tidak bersua. Mereka bertemu di rumah Hartono yang luas dan asri. Tatapan Hartono langsung terpaku pada anaknya yang tumbuh dewasa dan berkharisma. Sam yang terakhir dilihatnya lewat monitor sebagai John Wick, ketika terjebak dalam serangan tim pembunuh bayarannya yang mematikan dan mengepungnya di pulau pribadi Adam Ashford. Hartono lega melihat Sam kini kembali, berdiri di hadapannya dengan senyum lebar. Sehat dan selamat! "Ayah!" seru Sam saat memeluk Hartono dengan erat. Ada riak kerinduan dalam suaranya yang bergelombang. Hartono merasa hangat di dalam dadanya, senang bisa melihat putranya setelah begitu lama. "Hai, Nak," kata Hartono dengan suara serak karena terharu. "Apa kabarmu?" "Aku baik-baik saja, Yah. Aku merindukanmu," jawab Sam dengan tulus. Hartono tersenyum dan mengusap lembut kepala anaknya. Di dalam hatinya, ia merasa beruntung dapat kembali melihat Sam. Meskipun dia sudah tahu bahwa Sam adalah John Wick, si pembun