2 minggu sudah berlalu, Ashraf baru bisa keluar dari rumah sakit karena Alfian ingin kondisi putranya lebih optimal.Alfian mendorong kursi roda yang membawa Nurmala, sedangkan Ashraf terlelap di pangkuan istrinya. Dua bodyguard berjalan tidak jauh di belakang mereka.Lukman menjemput cucu dan menantunya di depan rumah sakit. Ayu mengambil alih cucunya. Alfian menuntun Nurmala masuk kedalam mobil."Sini biar Al, yang bawa Ashraf, Ma."Alfian hendak mengambil Ashraf tapi Ayu menjauhkannya."Mama, juga mau gendong cucu Mama.""Jangan, nanti Mama capek." Alfian tetap mengambil Ashraf dari gendongan Ayu, lalu membawanya masuk ke dalam mobil. Dengan berat hari Ayu mengalah pada Alfian."Nanti di rumah 'kan bisa gantian gendong Ashraf. Biarin aja, Alfian lagi senang-senangnya punya anak. Sama kayak Papa dulu." Lukman menghibur Ayu yang menghembuskan napas berat. Ia mengusap bahu istrinya dengan lembut, lalu menuntunnya masuk mobil.Sepanjang perjalanan suasana di dalam mobil terasa begitu
Setiap pagi, selalu saja ada drama antara Ashraf dan Alfian. Di halaman teras Balita yang sudah berusia 2 tahun itu menangis meraung-raung tiap Alfian akan berangkat ke kantor. Ashraf bergelayut di kaki Alfian, melarang Sang Papa untuk pergi meninggalkannya. Balita itu menyembunyikan wajahnya di kaki panjang Alfian, membuat celana yang tengah Alfian kenakan basah dengan ingus bercampur air mata. Nurmala berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Ashraf. Dia memberikan mainan mobil-mobilan pada putra kecilnya. "Ashraf main sama Mama dulu, ya. Papa mau kerja, cari uang buat beli mainannya Ashraf." Nurmala membujuk Ashraf dengan lembut, tapi sayangnya Ashraf tidak melunak dengan rayuannya. Dia tetap pada pendiriannya yang keras kepala, mirip seperti Alfian waktu kecil. Ashraf mengambil mainannya, lalu membuang mainan itu hingga terpelanting di lantai. "Loh, Ashraf jangan gitu, Nak. Nggak boleh, ya," tutur Nurmala dengan lembut. Nurmala mendongak melihat ekspresi Alfian yang tersenyum-se
Tanpa terasa 5 tahun sudah berlalu, kini Ashraf sudah berusia 7 tahun dan memiliki adik kecil yang lucu bernama Khanza Aulia. Tak hanya itu, Nurmala juga tengah mengandung anak ke tiganya. Kehamilannya sudah memasuki bulan ke 2. Alfian dan Nurmala tinggal di rumah pribadinya. Hari-hari Alfian terasa lengkap dan lebih berwarna semenjak ada Nurmala dan anak-anaknya.Ashraf membuka pintu kamar kedua orang tuanya. Dilihatnya Alfian yang tidur sambil memeluk Nurmala. Ashraf menghampiri kedua orang tuanya, lalu membangunkan Alfian dan Nurmala."Ma, Pa, bangun sekarang sudah hampir jam empat. Sebentar lagi adzan subuh." Ashraf membangunkan Alfian dengan mengguncang lengan ayahnya.Mendengar suara putra sulungnya, Nurmala terjaga dari tidurnya. "Nak, kamu sudah bangun." Sapa Nurmala sembari mengusap matanya."Iya, Ma." Sahut Ashraf yang berdiri di sisi ranjang, tangannya masih ada di lengan Alfian."Sekarang sudah jam berapa, Nak?" tanya Nurmala sembari memperhatikan Ashraf yang sudah rapi d
Revan pun tidak kalah terkejutnya dengan Alfian. Setelah tersadar dari keterkejutannya, Revan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Alfian. Tanpa ragu-ragu Alfian menjabat tangan Revan, karena Alfian sama sekali tidak ingin menyimpan rasa dendam pada Revan, meski hanya sebesar biji sawi."Alfian, tolong maafkan semua kesalahanku, aku benar-benar menyesal," Revan meminta maaf dengan tulus."Sudah lama aku memaafkanmu," jawaban Alfian terasa seperti angin segar yang datang dari surga. Selama mendekam di penjara, Revan benar-benar menyesali semua perbuatannya terhadap Alfian, Vanessa dan Roy. Tanpa terasa setetes air jatuh dari mata Revan, ia pun memeluk Alfian dengan perasaan haru bercambur lega."Terima kasih sudah mau memaafkan aku." Revan kemudian melepas pelukannya."Sudah sepatutnya kita saling memaafkan. Aku harus segera pulang. Anak dan istriku sudah menunggu di rumah." Balas Alfian. Alfian dan Revan bangkit dari atas sajadah."Kau sudah punya anak berapa?" tanya Revan pada
Samar-samar, Alfian mendengar isak tangis seorang wanita di sisinya. Alfian berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan sulit untuk digerakkan, sementara selang infus tertancap di tangan kiri Alfian.Alfian membuka mata, dilihatnya Nurmala, Ayu, dan Sarah duduk di sisinya sambil menangis. Alfian melihat kaki dan lehernya di bungkus dengan gips, kepalanya juga di perban karena benturan keras yang menyebabkan luka di kepala Alfian. Puing-puing ingatan sebelum terjadi kecelakaan mulai tersusun di ingatannya, air bening mengalir di sudut mata tajam Alfian. Mendadak dadanya terasa sesak, karena memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi."Ba-bagaimana keadaan orang yang aku tabrak?" tanya Alfian dengan suara terbata, masih membekas di ingatannya ketika dirinya sudah menabrak seorang tukang bakso yang sedang mendorong gerobaknya di tepi jalan. Alfian sama sekali tidak mempedulikan rasa sakit di tubuhnya, yang ia pikirkan hanyalah keadaan orang yang ia tabrak.
Mobil melaju di tengah jalan raya dengan kecepatan sedang. Ashraf menatap jendela, memikirkan Alfian yang sedang sakit. Meskipun tidak berkata apapun, tapi Ashraf merasa sedih melihat Alfian terluka. Di tengah kesedihannya, Ashraf melihat gadis kecil berseragam merah putih berjalan dengan langkah cepat di atas trotoar."Pak, Pak, kejar anak itu." Ashraf menepuk-nepuk lengan Pak Yanto, lalu menunjuk teman sekelasnya."Baik, Den." Yanto meningkatkan kecepatan mobilnya, kemudian menepikan mobilnya menuju trotoar. Ashraf menurunkan kaca jendelanya, lalu memanggil gadis cantik itu."Senja, Senja, Senja."Langkah Senja terhenti ketika mendengar namanya dipanggil, ia tersenyum begitu manisnya saat melihat Ashraf. Mobil pun berhenti melaju ketika sudah berada di sisi Senja. "Ashraf," gumam Senja."Ayo naik mobilku, nanti telat loh, bentar lagi bel sekolah bunyi," pinta Ashraf sambil membuka pintu untuk Senja."Iya." Senja mengangguk. Ashraf menggeser duduknya saat Senja mulai memasuki mobil.
Tanpa adanya kegiatan di rumah sakit membuat waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa hari sudah sore. Nurmala membuka kancing kemeja yang Alfian kenakan, lalu membukanya dengan hati-hati supaya tidak mengganggu cedera di tubuh Alfian. "Aawww! Sakit, Nur! Pelan-pelan." Alfian meringis kesakitan ketika Nurmala melepaskan pakaian yang Alfian kenakan."Masih, sakit ya, Mas! Padahal sudah pelan-pelan." Nurmala ikut meringis ngilu melihat Alfian kesakitan."Tidak apa, teruskan saja," ucap Alfian setelah lebih tenang.Nurmala meletakkan kemeja rumah sakit yang sudah berhasil ia lepas dari tubuh Alfian ke atas nakas, lalu mengambil handuk kecil di dalam baskom yang berisi air hangat dan memerasnya. Dengan telaten Nurmala menyeka tubuh Alfian dengan handuk basah yang hangat. Nurmala mulai menyeka wajah Alfian, turun ke dada, kemudian ke lengan, berpindah ke punggung dan ketiak. Sebisa mungkin Nurmala melewati cedera di kepala, leher dan kaki Alfian."Mas, aku mau izin! Nanti malam, aku akan
Lima tahun kemudian, putri dari almarhum Dirga tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan rajin, wajahnya mirip sekali dengan Dirga. Biasanya anak di usianya bermain boneka dan berlarian dengan riang menikmati indahnya masa kanak-kanak. Namun, berbeda dengan dirinya, bangun tidur sudah harus membersihkan rumah, sedangkan Sulastri memasak di dapur. Rindu tidak memiliki masa-masa indah menjadi anak kecil. Namanya bukan lagi Rindu, orang-orang memanggilnya Kanaya. Padahal, Dirga menamainya Rindu Ayuningtyas untuk mengenang mendiang istrinya. Dirga sangat merindukan Ningrum Ayuningtyas, mendiang istrinya.Rindu mengusap kaca jendela yang berdebu dengan sapu tangan basah di tangannya. Ia juga harus naik ke atas kursi dan berjinjit supaya bisa mencapai bagian ujung kaca jendela. Sesekali ia menyeka keningnya yang basah oleh keringat karena rasa letih yang dirasakannya. Sejak pagi tadi, ia sudah bangun dan membersihkan rumah. Di pandanginya langit yang sudah cerah, panas matahari semakin te
“Dimas memang mantan pacarku, tapi hubungan kami sudah lama berakhir jauh sebelum Dimas kenal sama kamu, itu pun karena aku mengkhianati Dimas dan hanya mengincar uang Dimas. Setelah itu, kami nggak pernah punya hubungan apa pun lagi.Setelah bertahun-tahun nggak ketemu, akhirnya aku ketemu Dimas lagi saat Tante Lilis kenalin aku sama kamu dan keluarganya untuk dijodohkan dengan Ardi. Dimas nggak pernah mengkhianati kamu, aku memfitnah Dimas karena Dimas bongkar keburukanku sama Ardi, makanya Ardi nggak mau nikahin aku. Aku juga yang buat laporan palsu ke polisi kalau Dimas itu pengedar narkoba, aku dan Tante Lilis yang sudah bersekongkol karena kami punya dendam pada Dimas. Kami menyuap para penegak hukum supaya Dimas mendekam lama di penjara.”Kejujuran Sonya terasa seperti tamparan keras yang memporak-porandakan hati Kanaya. Ia menatap Sonya dengan tatapan penuh luka bercampur marah, andaikan dirinya lebih percaya pada Dimas, tentu saja Tania tidak akan kehilangan kasih sayang seor
“Padahal sudah minum obat, tapi demamnya nggak turun-turun, Ma.” Kanaya mengadu pada Nurmala sembari mengompres kening Tania dengan handuk basah.Kanaya sangat khawatir karena sudah 7 hari ini Tania sakit, akan tetapi semakin hari kondisinya semakin memburuk. Mata Tania terus terpejam, sementara bibirnya selalu memanggil ‘Papa’.“Nay, sepertinya Tania kangen sama Papanya. Suruh Papanya ke sini siapa tahu Tania bisa cepet sembuh,” Nurmala tidak ingin melihat kesehatan cucunya semakin menurun karena merindukan ayah kandungnya.“Tidak ada ruang untuk pria itu di sini.” Ujar Alfian yang baru tiba di bangsal setelah pulang dari kantor.“Walau bagaimana pun Dimas adalah orang tuanya Tania, dia berhak tahu kondisi putrinya.”“Aku tidak mau pria itu memberi pengaruh buruk pada Tania.” Alfian masih belum bisa memaafkan pengkhianatan Dimas pada Kanaya di masa lalu.“Yang penting kita selalu mengawasi Tania dan mendidiknya. Dengan memisahkan Tania dan Dimas, itu sama saja kamu menyiksa Tania. Ya
Bunyi ketukan pintu membuat Dimas yang sedang menulis terlonjak kegirangan. Ia buru-buru mengambil tongkat kruk dan langkah tertatih-tatih pergi ke pintu utama karena tidak ingin Kanaya menunggunya terlalu lama.“Kamu siapa?” senyum di wajah Dimas mendadak surut saat melihat bukan Kanaya yang datang ke apartemennya.“Saya Reno, Nyonya Kanaya menyuruh saya untuk menjaga dan membantu anda menulis terjemahan bahasa asing.” Reno tak kalah terkejutnya melihat pria yang harus dijaganya adalah mantan suami dari majikannya. Reno ingat betul dulu ketika selesai akad nikah, Dimas melumat ****** Kanaya dengan rakus.“Kenapa bukan Kanaya yang datang kemari?” tanya Dimas dengan kecewa.“Nyonya Kanaya sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Pak Rian.”DEGJantung Dimas sakit serasa disambar petir, dunia terasa berputar, kepalanya tiba-tiba pusing hingga membuat tubuhnya oleng. Beruntung Dimas berpegangan pada bingkai pintu untuk menopang berat tubuhnya.“Pak, anda baik-baik saja?” Reno deng
“Kapan kau akan bayar hutangmu?”“Beri aku waktu, sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan uangnya. Aaaaghh...” Rian berteriak kesakitan saat tangannya dipelintir.“2 minggu yang lalu kau juga berkata begitu.” Rentenir itu merampas kontak mobil dan kunci rumah milik Rian. “Sita semua barang-barang di rumah ini.”“Jangan, Pak. Aku mohon jangan sita mobil saya, saya pasti akan melunasi semua hutang-hutang saya.”“Mau bayar pakai apa, hah? Ingat, kalau sampai 2 minggu kau belum membayar hutangmu, maka rumahmu akan aku sita.”Rian hanya bisa pasrah melihat satu-persatu barang dalam rumahnya digotong keluar. Usahanya yang bangkrut membuatnya terlilit hutang pada lintah darat. Satu-satunya harapan adalah dengan menikahi Kanaya dan menguras semua hartanya, akan tetapi wanita itu sangat sulit untuk didekati.***Satu minggu kemudian, Kanaya mengantarkan Dimas ke apartemennya karena Dimas ngotot ingin pulang. Ia takut tagihan rumah sakit akan membengkak dan Dimas tidak bisa membayarnya.Begitu
“Ini yang namanya musibah membawa berkah.” Dimas sangat ikhlas mendapat musibah seperti ini, jika Kanaya dan Tania bisa kembali padanya.“Maksudnya?” tanya Kanaya dengan kening berkerut.“Kalau bukan karena menambrakku, mungkin kamu tidak akan mau duduk di dekatku.”Kanaya mengedarkan pandangannya, atmosfir ruangan mendadak terasa panas meski AC sudah menyala. Kanaya menggigit bibir bawahnya, rasa canggung tiba-tiba merayap menyelimuti hati Kanaya.Dimas melihat makanan di atas nakas yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk pasien. “Itu makanan untukku?”Kanaya mengikuti arah mata Dimas memandang. “Iya.”“Aku lapar.” Dimas sengaja mengalihkan pembicaraan karena tidak mau melihat Kanaya terus larut dengan rasa bersalahnya. Kanaya mengambil makanan di laci, lalu menyodorkannya pada Dimas.“Bagaimana aku bisa makan kalau kedua tanganku tidak bisa bergerak?”“Bukannya cuma tangan kirimu yang cedera?” Kanaya menatap Dimas dengan tatapan memicing penuh selidik, sebab tangan Dimas yang d
“Pak Dimas, anda sedang apa di sini?” pertanyaan yang terlontar dari sekurity berhasil membuyarkan lamunan Dimas.“Siapa pria yang menggendong Tania?” tanya Dimas to the point.“Oh, dia Pak Rian. Temannya Tuan Ashraf.”“Suaminya Kanaya?” tanya Dimas lagi.“Oh, bukan, Pak. Nyona Tania belum menikah lagi setelah berpisah dari anda.”“Ok.” Perasaan lega seketika menyelimuti hati Dimas. “Jangan katakan pada siapa pun kalau aku datang kemari, aku hanya ingin melihat putriku dari jauh.”Sekurity tidak menanggapi permintaan Dimas, dia lebih setia pada majikan yang menggajinya tiap bulan. Dimas pergi dengan perasaan lega karena memiliki buah hati yang cantik.***“Ma, benar ya tadi itu Papaku?” tanya Tania yang sangat penasaran dengan sosok Dimas karena mengaku sebagai papanya.“Kamu nggak perlu tahu tentang dia. Pokoknya kamu nggak boleh dekat-dekat sama dia.”“Memangnya kenapa, Ma?”“Mama nggak mau dia misahin kita, Sayang.” Kanaya memeluk Tania yang rebahan di atas ranjang dengan erat.“Ma
“Apa maksudmu?” Kanaya pura-pura tidak tahu maksud dari perkataan Dimas.“Jangan membodohiku, aku tahu Tania adalah putriku.”“Dia anakku, bukan anakmu.” Kanaya berdiri, kemudian menyembunyikan Tania di balik tubuhnya.Sikap Kanaya malah membuat Dimas semakin kesal, dia sudah berani merahasiakan kelahiran Tania dan masih ingin menjauhkannya dari Dimas.“Bagaimana jika aku menuntutmu ke pengadilan karena sudah menyembunyikan kelahiran Tania dariku, lalu mengambil hak asuhnya?” Dimas menggertak Kanaya. Ia sama sekali tidak memiliki niat untuk memisahkan Kanaya dari putrinya.Kanaya tersentak kaget takut dengan ancaman Dimas. Raut wajahnya yang tegas berubah menjadi panik hingga membuat Dimas semakin yakin jika Tania adalah putri kandungnya.“Dia memang anak kita ‘kan?” tanya Dimas lagi dengan tatapan mata memicing.Dimas memang marah karena Kanaya sudah merahasiakan kelahiran Tania darinya, tapi ia juga berharap masih memiliki kesempatan untuk kembali pada Kanaya dan bersama-sama membes
"Dia bukan anakmu. Dia anakku," jawab Kanaya dengan tegas.Kanaya sangat mengenal watak Dimas yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan, apalagi jika dia tahu Tania adalah darah dagingnya.“Apa kamu sudah menikah?” tanya Dimas dengan rasa sakit yang menusuk di hati. Dadanya sudah kembang kempis menunggu jawaban Kanaya.“I, iya.” Kanaya terpaksa berbohong karena takut Dimas akan merebut putrinya. Ia tidak mau kehilangan harta yang paling berharga dalam hidupnya.Jawaban Kanaya benar-benar melukai hati Dimas. Kanaya terpaksa berbohong karena tidak ingin berurusan lagi dengan Dimas, apalagi jika Dimas sampai merebut putrinya.“Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu.” Dimas yang patah hati langsung memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Dimas menghela napas berat, ini bukan saatnya untuk frustasi, ia harus mencari pekerjaan untuk melanjutkan sisa hidupnya.“Siapa yang telepon, Ma?” tanya Tania.“Teman Mama, Nak.” Jawab Kanaya membari mengusap ra
“Ini dompetmu.” Bagitu duduk di taman komplek perumahan, Ardi menyerahkan dompet yang Dimas minta berserta berkas-berkas penting milik Dimas.“Sebenarnya apa yang terjadi selama aku penjara?” tanya Dimas to the point.“Kamu tahu sendiri kalau aku tidak punya pengalaman di bidang bisnis, sedangkan CEO yang Mama pekerjakan malah menipu Mama, dia bekerja untuk pesaing bisnis keluarga kita. Mama sudah menggadaikan semua harta kita untuk mempertahankan perusahaan, tapi uangnya malah dibawa kabur oleh CEO itu, karena tidak mampu membayar pinjaman, semua barang berharga disita oleh BANK.”“Apa ibumu menjual harta milikku juga?” Dimas mempertanyakan harta yang ia miliki dari hasil jerih payahnya sendiri.“Iya.” Ardi tidak berani membalas tatapan Dimas karena rasa bersalahnya.“Kalian sangat keterlaluan.” Dimas berusaha menahan amarah yang sudah lama ia pendam. Ia sudah berjanji pada Andra untuk hijrah menjadi orang yang baik. Dimas menganggap penjara adalah hukuman atas dosa-dosa yang selama