Revan pun tidak kalah terkejutnya dengan Alfian. Setelah tersadar dari keterkejutannya, Revan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Alfian. Tanpa ragu-ragu Alfian menjabat tangan Revan, karena Alfian sama sekali tidak ingin menyimpan rasa dendam pada Revan, meski hanya sebesar biji sawi."Alfian, tolong maafkan semua kesalahanku, aku benar-benar menyesal," Revan meminta maaf dengan tulus."Sudah lama aku memaafkanmu," jawaban Alfian terasa seperti angin segar yang datang dari surga. Selama mendekam di penjara, Revan benar-benar menyesali semua perbuatannya terhadap Alfian, Vanessa dan Roy. Tanpa terasa setetes air jatuh dari mata Revan, ia pun memeluk Alfian dengan perasaan haru bercambur lega."Terima kasih sudah mau memaafkan aku." Revan kemudian melepas pelukannya."Sudah sepatutnya kita saling memaafkan. Aku harus segera pulang. Anak dan istriku sudah menunggu di rumah." Balas Alfian. Alfian dan Revan bangkit dari atas sajadah."Kau sudah punya anak berapa?" tanya Revan pada
Samar-samar, Alfian mendengar isak tangis seorang wanita di sisinya. Alfian berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan sulit untuk digerakkan, sementara selang infus tertancap di tangan kiri Alfian.Alfian membuka mata, dilihatnya Nurmala, Ayu, dan Sarah duduk di sisinya sambil menangis. Alfian melihat kaki dan lehernya di bungkus dengan gips, kepalanya juga di perban karena benturan keras yang menyebabkan luka di kepala Alfian. Puing-puing ingatan sebelum terjadi kecelakaan mulai tersusun di ingatannya, air bening mengalir di sudut mata tajam Alfian. Mendadak dadanya terasa sesak, karena memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi."Ba-bagaimana keadaan orang yang aku tabrak?" tanya Alfian dengan suara terbata, masih membekas di ingatannya ketika dirinya sudah menabrak seorang tukang bakso yang sedang mendorong gerobaknya di tepi jalan. Alfian sama sekali tidak mempedulikan rasa sakit di tubuhnya, yang ia pikirkan hanyalah keadaan orang yang ia tabrak.
Mobil melaju di tengah jalan raya dengan kecepatan sedang. Ashraf menatap jendela, memikirkan Alfian yang sedang sakit. Meskipun tidak berkata apapun, tapi Ashraf merasa sedih melihat Alfian terluka. Di tengah kesedihannya, Ashraf melihat gadis kecil berseragam merah putih berjalan dengan langkah cepat di atas trotoar."Pak, Pak, kejar anak itu." Ashraf menepuk-nepuk lengan Pak Yanto, lalu menunjuk teman sekelasnya."Baik, Den." Yanto meningkatkan kecepatan mobilnya, kemudian menepikan mobilnya menuju trotoar. Ashraf menurunkan kaca jendelanya, lalu memanggil gadis cantik itu."Senja, Senja, Senja."Langkah Senja terhenti ketika mendengar namanya dipanggil, ia tersenyum begitu manisnya saat melihat Ashraf. Mobil pun berhenti melaju ketika sudah berada di sisi Senja. "Ashraf," gumam Senja."Ayo naik mobilku, nanti telat loh, bentar lagi bel sekolah bunyi," pinta Ashraf sambil membuka pintu untuk Senja."Iya." Senja mengangguk. Ashraf menggeser duduknya saat Senja mulai memasuki mobil.
Tanpa adanya kegiatan di rumah sakit membuat waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa hari sudah sore. Nurmala membuka kancing kemeja yang Alfian kenakan, lalu membukanya dengan hati-hati supaya tidak mengganggu cedera di tubuh Alfian. "Aawww! Sakit, Nur! Pelan-pelan." Alfian meringis kesakitan ketika Nurmala melepaskan pakaian yang Alfian kenakan."Masih, sakit ya, Mas! Padahal sudah pelan-pelan." Nurmala ikut meringis ngilu melihat Alfian kesakitan."Tidak apa, teruskan saja," ucap Alfian setelah lebih tenang.Nurmala meletakkan kemeja rumah sakit yang sudah berhasil ia lepas dari tubuh Alfian ke atas nakas, lalu mengambil handuk kecil di dalam baskom yang berisi air hangat dan memerasnya. Dengan telaten Nurmala menyeka tubuh Alfian dengan handuk basah yang hangat. Nurmala mulai menyeka wajah Alfian, turun ke dada, kemudian ke lengan, berpindah ke punggung dan ketiak. Sebisa mungkin Nurmala melewati cedera di kepala, leher dan kaki Alfian."Mas, aku mau izin! Nanti malam, aku akan
Lima tahun kemudian, putri dari almarhum Dirga tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan rajin, wajahnya mirip sekali dengan Dirga. Biasanya anak di usianya bermain boneka dan berlarian dengan riang menikmati indahnya masa kanak-kanak. Namun, berbeda dengan dirinya, bangun tidur sudah harus membersihkan rumah, sedangkan Sulastri memasak di dapur. Rindu tidak memiliki masa-masa indah menjadi anak kecil. Namanya bukan lagi Rindu, orang-orang memanggilnya Kanaya. Padahal, Dirga menamainya Rindu Ayuningtyas untuk mengenang mendiang istrinya. Dirga sangat merindukan Ningrum Ayuningtyas, mendiang istrinya.Rindu mengusap kaca jendela yang berdebu dengan sapu tangan basah di tangannya. Ia juga harus naik ke atas kursi dan berjinjit supaya bisa mencapai bagian ujung kaca jendela. Sesekali ia menyeka keningnya yang basah oleh keringat karena rasa letih yang dirasakannya. Sejak pagi tadi, ia sudah bangun dan membersihkan rumah. Di pandanginya langit yang sudah cerah, panas matahari semakin te
Rindu menangis sambil memungut Al-Qur'an yang jatuh di atas paving blok. Ia mencium Al-Qur'an tersebut, lalu memeluk Al-Qur'annya dengan erat. Buru-buru Ashraf turun dari sepedanya dan menghampiri Rindu yang tengah menangis."Kamu nggak apa-apa? Apa ada yang terluka?" tanya Ashraf dengan panik."Sakit." Jawab Rindu sambil memegangi kakinya yang tertabrak sepeda Ashraf. Pipinya sudah basah oleh air mata."Maaf, ya, Dik. Aku nggak sengaja." Ashraf merasa bersalah karena membuat anak kecil menangis. Ashraf menoleh ke kanan dan ke kiri, takut orang tua Rindu datang dan mengamuk karena sudah membuat Rindu terluka.Ashraf membantu Rindu berdiri. "Jangan nangis, ya.""Ini perih." Rindu menunjukkan telapak tangannya yang terluka pada Ashraf. Pun semakin merasa bersalah."Di mana rumah kamu, ayo kuantar pulang.""Jauh di sana." Rindu menunjuk ujung jalan sambil menangis sesenggukan. Ashraf dibuat bingung, mana berani ia membawa Rindu pulang, sementara Rindu tidak berhenti menangis."Jangan nang
"Maafin, Kanaya, Buuu." Rindu menangis pilu ketika Sulastri mencengkram tangannya dengan kuat, ia tahu sebentar lagi Sulastri akan menghukumnya. Setelah Ashraf pergi, Sulastri menyeret Rindu ke kamar mandi. Dengan emosi yang meluap-luap, ia mengguyur tubuh mungil Rindu dengan air dari bak mandi. "Ampuuuun, Bu, Ampuuuun." Rindu menangis sambil meraup wajahnya. Ia kesulitan mengambil napas karena Sulastri menyiramnya dengan air tanpa henti. "Uuhuuuk uhuuuk uhuuuk." Rindu terbatuk-batuk disela tangisnya. Napasnya tersengal-sengal, ia kesulitan bernapas karena guyuran air yang tiada henti masuk ke dalam hidung dan membuatnya tersedak. "Biar tahu rasa kamu. Ini hukuman buat kamu. Kecil-kecil sudah gatel. Kamu mirip sekali dengan ibumu, suka menggoda laki-laki." Sulastri berujar dengan suara tinggi. Bahkan, tetangga di sebelahnya bisa mendengar teriakan dan tangisan pilu Rindu. Namun, Sulastri tidak peduli. Hati nuraninya sudah mati tertutup oleh emosi. Sulastri masih menyirami Rindu den
Pagi hari, di kediaman keluarga Alfian gempar dengan kabar Sulastri yang masuk penjara karena kasus KDRT terhadap putrinya. Para pekerja sibuk menggosipkan Darsono dan istrinya. Mereka semua tidak menyangka jika istrinya Darsono sekejam itu. Beberapa pekerja yang lain berharap Sulastri mendapat balasan yang setimpal."Mas, tahu kabar tentang kasus istri dan anaknya Pak Darsono, nggak?" tanya Nurmala sambil meletakkan kopi panas di hadapan Alfian yang duduk di ruang makan bersama dengan anak-anaknya."Nggak, memangnya ada berita apa? Kok, kayaknya heboh gitu." Alfian mengoles roti dengan selai untuk sarapan paginya. Ia menilik ekspresi wajah Nurmala yang tampak serius."Istrinya Pak Darsono masuk penjara," Nurmala mengutarakan kabar yang ia dapat dari asisten rumah tangganya yang bergosib di dapur tadi."APA." Alfian terkejut sampai tangannya berhenti beraktivitas. Alfian pikir ia salah dengar."Kok, bisa, Ma? Emang apa salahnya?" Ashraf menoleh pada Nurmala yang sedang menarik kursi l