Alfian bangkit dari kursi, dan berjalan melewati Revan begitu saja. Disusul oleh Roy yang mengekor di belakangnya. Alfian bersikap biasa saja di hadapan Revan, seolah-olah tak mengetahui apapun. Sebisa mungkin ia menahan amarah yang sedang meletup-letup di hatinya. Dia tidak ingin Revan waspada karena Alfian telah mencurigainya dan merusak rencana dadakan yang sudah tersusun rapi di kepalanya."Al." langkah Alfian tercekat, kemudian berbalik lantaran menerima sapaan dari bekas sahabatnya."Kepalamu kenapa?" tanya Revan. Dia menatap Alfian dengan sinis sudut bibirnya mengembang mengejek Alfian ketika melihat perban yang menutupi luka di kepala Alfian."Hanya luka kecil," jawab Alfian datar."Itu azab karena sudah merusak rumah tangga orang." Revan benar-benar menguji kesabaran Alfian. Namun Alfian tetap bersikap tenang meski Revan berulang kali memancing emosinya."Keadilan yang sesungguhnya hanya milik Allah. Percayalah balasan itu pasti ada." Jawab Alfian kemudian berlalu pergi."Van
Revan membuka pintu ruang rawat Vanessa, ia terkejut ketika melihat Vanessa tidak lagi berada di ruangan yang biasanya. Ia panik, khawatir Vanessa sudah siuman dan akan membongkar seluruh rahasianya.Revan meninggalkan ruangan itu menuju resepsionis, dia menghentikan perawat yang berjalan melewatinya."Sus, pasien bernama Vanessa di pindahkan kemana?" tanya Revan dengan suara bergetar ketakutan."Oh, saya dengar pasien atas nama Vanessa sudah siuman dan keluarganya membawanya pulang.""APA?" pekik Revan. Jantungnya berdebar tak berirama. Perasaannya campur aduk. Dinginnya jeruji besi penjara sudah membayanginya. Revan sangat menyesal, harusnya ia lenyapkan saja Vanessa saat Toni dan Siska lengah."Apa ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya perawat pada Revan yang masih termangu berperang sendiri dengan gejolak batin yang menerjangnya."Apa dia bisa bicara?""Iya, bisa.""Dipindah kemana dia sekarang?""Maaf, kalau itu saya kurang tahu.""Baiklah, terima kasih." Revan menjambak rambutnya
2 minggu sudah berlalu, Ashraf baru bisa keluar dari rumah sakit karena Alfian ingin kondisi putranya lebih optimal.Alfian mendorong kursi roda yang membawa Nurmala, sedangkan Ashraf terlelap di pangkuan istrinya. Dua bodyguard berjalan tidak jauh di belakang mereka.Lukman menjemput cucu dan menantunya di depan rumah sakit. Ayu mengambil alih cucunya. Alfian menuntun Nurmala masuk kedalam mobil."Sini biar Al, yang bawa Ashraf, Ma."Alfian hendak mengambil Ashraf tapi Ayu menjauhkannya."Mama, juga mau gendong cucu Mama.""Jangan, nanti Mama capek." Alfian tetap mengambil Ashraf dari gendongan Ayu, lalu membawanya masuk ke dalam mobil. Dengan berat hari Ayu mengalah pada Alfian."Nanti di rumah 'kan bisa gantian gendong Ashraf. Biarin aja, Alfian lagi senang-senangnya punya anak. Sama kayak Papa dulu." Lukman menghibur Ayu yang menghembuskan napas berat. Ia mengusap bahu istrinya dengan lembut, lalu menuntunnya masuk mobil.Sepanjang perjalanan suasana di dalam mobil terasa begitu
Setiap pagi, selalu saja ada drama antara Ashraf dan Alfian. Di halaman teras Balita yang sudah berusia 2 tahun itu menangis meraung-raung tiap Alfian akan berangkat ke kantor. Ashraf bergelayut di kaki Alfian, melarang Sang Papa untuk pergi meninggalkannya. Balita itu menyembunyikan wajahnya di kaki panjang Alfian, membuat celana yang tengah Alfian kenakan basah dengan ingus bercampur air mata. Nurmala berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Ashraf. Dia memberikan mainan mobil-mobilan pada putra kecilnya. "Ashraf main sama Mama dulu, ya. Papa mau kerja, cari uang buat beli mainannya Ashraf." Nurmala membujuk Ashraf dengan lembut, tapi sayangnya Ashraf tidak melunak dengan rayuannya. Dia tetap pada pendiriannya yang keras kepala, mirip seperti Alfian waktu kecil. Ashraf mengambil mainannya, lalu membuang mainan itu hingga terpelanting di lantai. "Loh, Ashraf jangan gitu, Nak. Nggak boleh, ya," tutur Nurmala dengan lembut. Nurmala mendongak melihat ekspresi Alfian yang tersenyum-se
Tanpa terasa 5 tahun sudah berlalu, kini Ashraf sudah berusia 7 tahun dan memiliki adik kecil yang lucu bernama Khanza Aulia. Tak hanya itu, Nurmala juga tengah mengandung anak ke tiganya. Kehamilannya sudah memasuki bulan ke 2. Alfian dan Nurmala tinggal di rumah pribadinya. Hari-hari Alfian terasa lengkap dan lebih berwarna semenjak ada Nurmala dan anak-anaknya.Ashraf membuka pintu kamar kedua orang tuanya. Dilihatnya Alfian yang tidur sambil memeluk Nurmala. Ashraf menghampiri kedua orang tuanya, lalu membangunkan Alfian dan Nurmala."Ma, Pa, bangun sekarang sudah hampir jam empat. Sebentar lagi adzan subuh." Ashraf membangunkan Alfian dengan mengguncang lengan ayahnya.Mendengar suara putra sulungnya, Nurmala terjaga dari tidurnya. "Nak, kamu sudah bangun." Sapa Nurmala sembari mengusap matanya."Iya, Ma." Sahut Ashraf yang berdiri di sisi ranjang, tangannya masih ada di lengan Alfian."Sekarang sudah jam berapa, Nak?" tanya Nurmala sembari memperhatikan Ashraf yang sudah rapi d
Revan pun tidak kalah terkejutnya dengan Alfian. Setelah tersadar dari keterkejutannya, Revan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Alfian. Tanpa ragu-ragu Alfian menjabat tangan Revan, karena Alfian sama sekali tidak ingin menyimpan rasa dendam pada Revan, meski hanya sebesar biji sawi."Alfian, tolong maafkan semua kesalahanku, aku benar-benar menyesal," Revan meminta maaf dengan tulus."Sudah lama aku memaafkanmu," jawaban Alfian terasa seperti angin segar yang datang dari surga. Selama mendekam di penjara, Revan benar-benar menyesali semua perbuatannya terhadap Alfian, Vanessa dan Roy. Tanpa terasa setetes air jatuh dari mata Revan, ia pun memeluk Alfian dengan perasaan haru bercambur lega."Terima kasih sudah mau memaafkan aku." Revan kemudian melepas pelukannya."Sudah sepatutnya kita saling memaafkan. Aku harus segera pulang. Anak dan istriku sudah menunggu di rumah." Balas Alfian. Alfian dan Revan bangkit dari atas sajadah."Kau sudah punya anak berapa?" tanya Revan pada
Samar-samar, Alfian mendengar isak tangis seorang wanita di sisinya. Alfian berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan sulit untuk digerakkan, sementara selang infus tertancap di tangan kiri Alfian.Alfian membuka mata, dilihatnya Nurmala, Ayu, dan Sarah duduk di sisinya sambil menangis. Alfian melihat kaki dan lehernya di bungkus dengan gips, kepalanya juga di perban karena benturan keras yang menyebabkan luka di kepala Alfian. Puing-puing ingatan sebelum terjadi kecelakaan mulai tersusun di ingatannya, air bening mengalir di sudut mata tajam Alfian. Mendadak dadanya terasa sesak, karena memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi."Ba-bagaimana keadaan orang yang aku tabrak?" tanya Alfian dengan suara terbata, masih membekas di ingatannya ketika dirinya sudah menabrak seorang tukang bakso yang sedang mendorong gerobaknya di tepi jalan. Alfian sama sekali tidak mempedulikan rasa sakit di tubuhnya, yang ia pikirkan hanyalah keadaan orang yang ia tabrak.
Mobil melaju di tengah jalan raya dengan kecepatan sedang. Ashraf menatap jendela, memikirkan Alfian yang sedang sakit. Meskipun tidak berkata apapun, tapi Ashraf merasa sedih melihat Alfian terluka. Di tengah kesedihannya, Ashraf melihat gadis kecil berseragam merah putih berjalan dengan langkah cepat di atas trotoar."Pak, Pak, kejar anak itu." Ashraf menepuk-nepuk lengan Pak Yanto, lalu menunjuk teman sekelasnya."Baik, Den." Yanto meningkatkan kecepatan mobilnya, kemudian menepikan mobilnya menuju trotoar. Ashraf menurunkan kaca jendelanya, lalu memanggil gadis cantik itu."Senja, Senja, Senja."Langkah Senja terhenti ketika mendengar namanya dipanggil, ia tersenyum begitu manisnya saat melihat Ashraf. Mobil pun berhenti melaju ketika sudah berada di sisi Senja. "Ashraf," gumam Senja."Ayo naik mobilku, nanti telat loh, bentar lagi bel sekolah bunyi," pinta Ashraf sambil membuka pintu untuk Senja."Iya." Senja mengangguk. Ashraf menggeser duduknya saat Senja mulai memasuki mobil.