"Indah, besok bisa temani Mama?" tanya Bu Ratna melalui panggilan telepon seluler."Memangnya Mama mau kemana?" tanya Indah."Mama ada arisan dengan teman-teman. Mereka penasaran sama kamu, menantu Mama, jadi bulan lalu Mama janji mau ajak kamu di arisan berikutnya. Lagi pula sekarang kamu sudah resmi menjadi Nyonya Sandy, kamu harus mulai menyesuaikan diri dengan pergaulan dan cara kami bersosialisasi."Indah terkejut, tapi ia tidak mempunyai alasan untuk menolak permintaan mertuanya itu."Baik, Ma. Jam berapa?" tanya Indah."Acaranya jam lima sore, tapi kita ke salon dulu jam tiga, ya. Nanti Mama jemput.""Apa?! Kenapa harus ke salon, Ma?" tanya Indah heran."Tentu supaya penampilan kita lebih cantik, Sayang. Oh ya, mungkin Irene juga akan datang besok. Kalian sudah bertemu, kan?" "Ah, iya, sudah." Indah tergagap-gagap. Terbayang di benak Indah ulah Irene saat terakhir kali mereka jumpa."Ya sudah, sampai besok, Sayang." Mertua Indah mengakhiri panggilan telepon itu.Indah menghela
"Jadi Indah sudah pernah menikah sebelumnya?" tanya seorang wanita cantik bergaun putih yang duduk di ujung meja."Iya, Tante," jawab Indah"Oo.." hampir semua wanita di ruangan itu memberikan ekspresi yang sama dan saling melempar pandangan penuh makna."Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja." kata Bu Ratna berusaha mengalihkan pembicaraan. Terlihat jelas dari mimik wajahnya bahwa ia juga merasa tidak nyaman dengan pembicaraan itu."Oke, Jeng," jawab wanita itu. Sepertinya Bu Ratna memang cukup disegani dan berpengaruh dalam komunitas itu. Indah merasa lega, karena akhirnya pandangan mata orang-orang itu tidak lagi tertuju padanya.Bu Ratna dan teman-temannya mulai asyik bersenda gurau. Mereka memesan hidangan yang terlihat nikmat dan mahal. Restoran itu memang menawarkan hidangan modern dan mahal, tidak seperti restoran yang Indah kelola. Cukup lama Indah menatap makanan di atas piringnya. Makanan itu terlihat nikmat, namun asing bagi Indah. Ia melihat ke sekelilingnya, memperhatik
"Jeng Ratna, tunggu! Kita pasti bisa bicarakan ini baik-baik." Salah satu dari anggota arisan itu berusaha mengejar Bu Ratna. Namun Bu Ratna tetap melangkah meninggalkan restoran, dengan diiringi tatapan penuh tanya dari para pengunjung."Maafkan Indah, Ma," bisik Indah sembari mereka berjalan menuju mobil."Kamu gak perlu minta maaf, Indah. Ini bukan kesalahanmu. Justru Mama menyesal karena sikap mereka yang memalukan dan menyakiti kamu." Bu Ratna masih terlihat kesal dan tidak menyangka kalau acara arisan itu akan berakhir dengan suasana yang tidak menyenangkan.Indah dan Bu Ratna masuk ke mobil. Indah kembali mengeringkan rambutnya yang basah dengan tisu. Walaupun ia berusaha keras menahan diri, namun air matanya tetap mengalir."Kamu gak apa-apa, Nak? Maaf karena Mama memaksa kamu mengikuti acara ini. Mama gak menyangka mereka akan berbuat seperti itu sama kamu. Irene yang sudah Mama anggap seperti anak sendiri malah bersikap seperti itu. Mama sangat kecewa sama dia.""Indah gak a
Sejak pertengkaran antara Tania dan ibunya, Aryo seolah terjepit dalam posisi yang tidak menyenangkan. Di satu sisi, ia tidak ingin menjadi anak durhaka yang menyakiti hati ibu yang melahirkan dirinya. Namun di sisi lain, tak mungkin juga ia menyakiti istrinya. Ia seperti terjebak dalam dilema, bagaikan makan buah simalakama.Aryo belum mengunjungi atau menelepon ibunya lagi. Ia tidak sanggup melihat ekspresi wajah kecewa ibunya, karena uang yang diperlukan belum juga terkumpul.Suasana di rumah Aryo juga masih hambar. Tania masih terlihat kesal dan menjadi lebih pendiam. Di kantor Aryo dan Tania juga jarang berkomunikasi. Mereka seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal. Aryo merasa jenuh dengan pertengkaran mereka. Ia merasa kebahagiaan rumah tangganya telah lenyap dalam sekejap mata.Sore itu Aryo duduk di ruang tamu rumah sederhana itu. Di hadapannya ada secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Lamunan Aryo seketika buyar ketika ponselnya berdering. Ia melihat nomor ibunya
Sore itu Sandy mengajak Indah berkeliling dengan mobilnya. Mereka masuk ke sebuah komplek perumahan mewah. Ada pos pengaman yang terletak di pintu gerbang perumahan itu. Setiap mobil atau kendaraan asing yang akan masuk harus melapor terlebih dahulu."Kita mau kemana, Mas?" tanya Indah.Indah tidak bisa menutupi rasa kagumnya ketika melihat bangunan rumah yang rata-rata berlantai dua dan berderet dengan rapi.Sandy hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan istrinya itu. Selama satu bulan ini, ia memang sengaja menyiapkan sebuah kejutan manis untuk Indah.Mereka berhenti di sebuah rumah berpagar tinggi dan bercat putih. "Mas ada janji dengan klien?" tanya Indah lagi."Ayo turun!" ajak Sandy.Indah melihat rumah itu sangat bagus dan besar. Pintunya kokoh dan dinding yang putih bersih seperti rumah baru. Namun yang membuat Indah heran adalah ketika Sandy merogoh sesuatu di saku celananya.Sandy mengambil kunci dan membuka pintu rumah itu."Ini rumah siapa, Mas?"Sandy merangkul Inda
Aryo langsung menjual anting milik Tania. Namun uang dalam kartu debit dan hasil penjualan perhiasan Tania belum mencukupi untuk membayar biaya perawatan ibunya.Hati Aryo lebih terasa getir, karena Tania sama sekali tidak peduli pada ibunya. Jangankan untuk merawat sang ibu, untuk menjenguk pun Tania enggan.Aryo harus memutar otak untuk mendapatkan uang secepatnya. Kondisi ibunya belum pulih, menurut dokter, ibunya membutuhkan pengobatan dan perawatan jangka panjang. Sekalipun nanti sudah diijinkan pulang ke rumah, Ibu Aryo harus meminum beberapa jenis obat secara rutin.Mustahil rasanya bagi Aryo, mengharap pinjaman dari istri atau pihak keluarganya. Ia mencoba menghubungi saudara dan teman-teman terdekatnya, tetapi mereka tidak mau memberikan pinjaman. Wajar saja, karena Aryo masih memiliki hutang pada mereka.'Harus bagaimana ini? Kalau sampai besok aku gak bisa mendapatkan uang, ibu terpaksa harus aku bawa pulang. Tapi kondisi ibu belum memungkinkan untuk dirawat di rumah,' guma
"Apa ibu saya sudah boleh pulang, Dok?" tanya Aryo saat dokter memeriksa ibunya malam itu."Kondisi ibu anda belum stabil. Ibu anda masih harus dirawat dan belum boleh turun dari tempat tidurnya," jawab dokter itu.Aryo mendesah kecewa, karena itu berarti biaya rumah sakit akan semakin membengkak. Dokter yang masih berusia sekitar empat puluh tahunan itu berlalu dan menuju ke ruangan pasien lain.Aryo kembali duduk di kursi yang ada di sisi tempat tidur ibunya. Ia menatap wajah ibu yang pucat dan mulai menua. Kedua mata ibunya masih terpejam dan terlihat kerutan yang jelas terlihat. Sesekali terdengar rintihan tertahan dari bibir ibu.Tiba-tiba seseorang membuka pintu ruang perawatan itu. Aryo mengangkat wajahnya dan melihat Tania datang. Tania sudah memakai pakaian yang lebih santai. Ia masuk dan mendekati tempat tidur Ibu Aryo."Nia, akhirnya kamu datang juga," kata Aryo."Iya, Mas. Tapi jangan berharap terlalu banyak. Aku cuma menjenguk ibu dan akan pulang ke rumah lagi." Tania me
Siang itu Indah dan Sandy mengajak ibu, Arinna dan Charles ke rumah baru mereka. "Wah, besar sekali rumah kalian, Nak." Ibu Indah menatap bangunan rumah itu dengan takjub."Ayo kita masuk, Bu! Mas Sandy memilih rumah ini supaya anak-anak punya kamar masing-masing. Kalau Ibu mau menginap di sini, juga ada kamar yang bisa Ibu gunakan," kata Indah. "Ini rumah kita, Ma, Pa?" Arinna dan Charles tak kalah takjub."Iya, apa kalian suka?" tanya Indah."Suka, bagus sekali rumahnya, Ma." Mata Arinna berbinar senang."Ayo kita ke kamar kalian! Kalian sudah besar, jadi harus belajar tidur sendiri," tukas Sandy.Sandy menggandeng tangan Arinna dan Charles. Indah tersenyum melihat kedua anaknya berlari kecil di sisi Sandy. Indah memeluk ibunya yang juga terlihat haru."Ibu ikut senang karena Sandy sangat baik dan menyayangi kalian, Nak. Ibu mendoakan kalian tetap harmonis dan bahagia seperti ini.""Terimakasih, Bu. Aku sangat bahagia dan bersyukur karena Mas Sandy bisa dekat dan memperlakukan Ari