"Apa ibu saya sudah boleh pulang, Dok?" tanya Aryo saat dokter memeriksa ibunya malam itu."Kondisi ibu anda belum stabil. Ibu anda masih harus dirawat dan belum boleh turun dari tempat tidurnya," jawab dokter itu.Aryo mendesah kecewa, karena itu berarti biaya rumah sakit akan semakin membengkak. Dokter yang masih berusia sekitar empat puluh tahunan itu berlalu dan menuju ke ruangan pasien lain.Aryo kembali duduk di kursi yang ada di sisi tempat tidur ibunya. Ia menatap wajah ibu yang pucat dan mulai menua. Kedua mata ibunya masih terpejam dan terlihat kerutan yang jelas terlihat. Sesekali terdengar rintihan tertahan dari bibir ibu.Tiba-tiba seseorang membuka pintu ruang perawatan itu. Aryo mengangkat wajahnya dan melihat Tania datang. Tania sudah memakai pakaian yang lebih santai. Ia masuk dan mendekati tempat tidur Ibu Aryo."Nia, akhirnya kamu datang juga," kata Aryo."Iya, Mas. Tapi jangan berharap terlalu banyak. Aku cuma menjenguk ibu dan akan pulang ke rumah lagi." Tania me
Siang itu Indah dan Sandy mengajak ibu, Arinna dan Charles ke rumah baru mereka. "Wah, besar sekali rumah kalian, Nak." Ibu Indah menatap bangunan rumah itu dengan takjub."Ayo kita masuk, Bu! Mas Sandy memilih rumah ini supaya anak-anak punya kamar masing-masing. Kalau Ibu mau menginap di sini, juga ada kamar yang bisa Ibu gunakan," kata Indah. "Ini rumah kita, Ma, Pa?" Arinna dan Charles tak kalah takjub."Iya, apa kalian suka?" tanya Indah."Suka, bagus sekali rumahnya, Ma." Mata Arinna berbinar senang."Ayo kita ke kamar kalian! Kalian sudah besar, jadi harus belajar tidur sendiri," tukas Sandy.Sandy menggandeng tangan Arinna dan Charles. Indah tersenyum melihat kedua anaknya berlari kecil di sisi Sandy. Indah memeluk ibunya yang juga terlihat haru."Ibu ikut senang karena Sandy sangat baik dan menyayangi kalian, Nak. Ibu mendoakan kalian tetap harmonis dan bahagia seperti ini.""Terimakasih, Bu. Aku sangat bahagia dan bersyukur karena Mas Sandy bisa dekat dan memperlakukan Ari
Setelah beberapa bulan direnovasi, bangunan restoran akhirnya telah selesai diperbaiki. Desain bangunan itu diubah sesuai dengan konsep yang diinginkan oleh Indah. Bu Ratna dan Sandy sangat menyetujui usul Indah untuk mengubah konsep restoran itu menjadi tempat makan keluarga yang nyaman dan hangat.Walaupun Indah tidak mengenyam pendidikan tinggi, tetapi ia adalah wanita yang cerdas, teliti, dan punya pertimbangan pemasaran dan manajemen yang baik.Selama menikah dengan Sandy, Indah juga telah mempelajari banyak ilmu manajemen dan meningkatkan kapasitasnya.Pagi itu Indah membantu Sandy merapikan dasinya. Sandy memeluk pinggang Indah yang ramping dan merapatkannya ke tubuhnya. "Sayang, proses pembangunan restoran sudah selesai. Para karyawan lama juga telah dihubungi untuk bekerja kembali. Tapi aku belum membeli meja, kursi, dan perabot lainnya. Aku ingin kamu yang menyiapkannya, agar semua sesuai dengan keinginanmu," kata Sandy."Iya, Mas. Aku akan mengurusnya. Kamu bisa mengandalk
Malam itu Indah sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menunggu suaminya pulang. Jam di layar ponselnya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sandy memang sedang sangat sibuk bekerja, bahkan di akhir pekan terkadang Sandy masih ada pertemuan di luar kantor dengan klien atau rekan bisnisnya.Namun sesibuk apapun, Sandy selalu berusaha memberi waktu untuk Indah, Arinna, dan Charles. Di akhir pekan Sandy akan mengajak keluarganya jalan-jalan atau makan di luar. Sandy juga tidak ragu memperkenalkan Indah dan anak-anaknya pada semua rekan bisnisnya.Mata Indah mulai terasa berat, ia bersandar di sandaran sofa itu."Bu, kalau Ibu mengantuk, tidur saja. Biar aku yang membukakan pintu untuk bapak," kata Tini."Gak apa-apa. Kamu saja yang tidur duluan," jawab Indah. Tini menurut dan masuk ke kamarnya.Tak lama kemudian, Indah mendengar suara mobil Sandy masuk ke halaman rumah. Indah bergegas bangkit dan membuka pintu. Sekalipun sudah lelah dan mengantuk, Indah tetap tersenyum menyambut Sandy
Sampai esok harinya suasana hati Indah menjadi tidak nyaman karena ulah Tini. Setelah Indah menegurnya, Tini mengurung diri di kamar. Indah bahkan harus mengetuk pintu kamar Tini berulang kali sebelum berangkat bekerja.Tini keluar dari kamar dengan mata sembab dan wajah lesu."Ibu dan bapak mau berangkat kerja. Bereskan rumah, ya!" ucap Indah singkat. Tini hanya mengangguk lemah sambil menutup pintu kamarnya dari luar.Di sepanjang perjalanan Indah hanya duduk diam di samping Sandy yang menyetir mobilnya."Sudahlah, Sayang. Aku yakin Tini gak punya maksud jahat. Dia masih sangat muda, mungkin sikap dan pemikirannya belum dewasa dan masih labil."Indah mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. Mungkin saja ia memang terlalu curiga dan sensitif, tapi Indah merasa tidak ada salahnya untuk mengantisipasi.Indah dan Sandy tiba di restoran. Pagi itu Bu Ratna juga sudah tiba untuk meninjau perkembangan restoran yang baru. "Pagi, Ma," Sandy mencium pipi sang mama.Indah juga memeluk Bu R
"Apa-apaan kamu, Tin? Jangan lancang!" Sandy melepaskan pegangan tangan Tini."Pak, saya sudah gak tahan lagi. Saya suka dan cinta sama Bapak." Tatapan gadis itu kini bukan seperti gadis lugu."Kamu mabuk? Aku ini majikanmu. Tolong jaga sikap dan ucapanmu!" Sandy terus menghindar dan menjauhkan diri dari gadis itu."Pak, apa kurangnya saya dari Bu Indah? Saya cantik dan lebih muda dari Ibu. Sebelum menikah dengan Bapak dia itu janda, kan? Kalau saya masih perawan, Pak. Saya rela menyerahkan hal yang paling berharga dalam diri saya pada Bapak. Saya yakin kalau Bapak akan bisa menyukai saya." Tini mendekati Sandy kembali."Jangan mendekat! Saya peringatkan kamu!" Sandy berteriak."Pak, jangan pura-pura gak mau begitu! Saya tahu Bapak bosan dengan perempuan galak dan ketus seperti Bu Indah. Apa salahnya Bapak coba dulu mendekati saya? Saya pasti akan bersikap lembut dan lebih baik sama Bapak." Tini semakin gencar menggoda Sandy.Sandy tidak punya jalan lain selain melarikan diri dan kelu
Pagi itu Indah sedang memeriksa laporan keuangan restoran di dalam ruang kerjanya. "Pagi, Indah." Bu Ratna masuk ke ruangan dengan gaya anggunnya. "Pagi, Ma. Mama sudah sarapan?" sapa Indah."Sudah. Kenapa wajahmu pucat dan lelah begitu, Nak?""Ah, gak apa-apa, Ma. Indah sehat koq."Beberapa hari ini ia merasa lelah, karena setiap pulang dari restoran, Indah harus mengurus Arinna, Charles, dan mengerjakan pekerjaan rumah. "Kamu gak ada niat untuk mencari pembantu baru, Nak?" tanya Bu Ratna."Belum terpikir, Ma. Setelah kejadian kemarin, Indah masih takut untuk mempercayai orang baru. Indah sudah memperlakukan Tini dengan baik, tapi ternyata dia punya niat buruk. Memang gak mudah mencari orang yang bisa kita percayai, ya Ma," jawab Indah."Nanti Mama coba hubungi Bi Ijah. Dia dulu bekerja di rumah Mama dalam waktu cukup lama. Dia mulai bekerja sejak masih gadis, dan baru keluar setelah hamil dan mempunyai anak. Pekerjaannya rapi dan baik, orangnya juga bisa dipercaya. Mama sudah me
Bu Ratna memberi tahu Indah bahwa Bi Ijah mau bekerja di rumahnya. Indah menerima saran mertuanya itu, apalagi menurut mama mertuanya, Bi Ijah orang yang baik dan bisa dipercaya.Sore itu Bu Ratna datang ke rumah Indah bersama seorang wanita paruh baya yang menenteng sebuah tas."Indah, ini Bi Ijah yang Mama ceritakan kemarin." kata Bu Ratna.Indah tersenyum menyalami wanita itu. Indah melihat Bi Ijah cukup ramah dan keibuan. Ia berharap kali ini telah menemukan orang yang tepat untuk bekerja di rumahnya."Bi Ijah, ini menantu saya, Indah." Bu Ratna melirik Bi Ijah."Wah, ini istrinya Nak Sandy? Cantik sekali," puji Bi Ijah."Hubungan kita sudah cukup lama terjalin dan selama ini sangat harmonis. Saya percaya Bibi bisa bekerja dengan baik sambil menjaga anak-anak saya di sini." Bu Ratna tersenyum dan mengusap bahu Bi Ijah."Terimakasih atas kesempatannya, Nyah. Bibi janji akan bekerja sepenuh hati seperti dulu. Walaupun Bibi sekarang sudah tua, tapi Bibi masih bisa mengerjakan semua p
Pagi itu Indah masih meringkuk menghadap ke dinding. Kepalanya berdenyut pening jika ia mencoba bangun dari tempat tidurnya. Ia mendengar ibu membuka pintu kamar dan menghampirinya."Nak, suamimu datang. Dia menunggumu di teras.""Mau apa dia, Bu? Kalau mau membuat keributan lagi, suruh saja dia pergi," jawab Indah dengan malas."Sepertinya gak begitu, Nak. Dia tadi sudah minta maaf sama Ibu. Ada sesuatu yang penting yang harus dia sampaikan padamu. Temui saja dulu, Nak!" kata Ibu Indah."Iya, Bu." Indah bangkit dan duduk di tempat tidurnya. Indah menatap dirinya di cermin, penampilannya sangat menyedihkan karena wajahnya pucat, pipinya tirus karena porsi makan berkurang, dan hanya mengenakan daster. Indah segera mengganti pakaiannya, menyisir dan mengikat rambutnya, dan memakai lipstik agar tidak terlihat seperti mayat hidup.Setelah itu ia menarik nafas dalam-dalam dan kembali melihat dirinya di cermin. Tak lupa ia memasukkan alat tes kehamilan di sakunya. Indah berpikir, seandainy
"Masih mual, Nak? Bagaimana kalau ke dokter saja?" Ibu Indah menatap Indah yang berjalan perlahan keluar dari kamar mandi dengan cemas. Sudah lebih dari sepuluh kali Indah bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat, karena Indah tidak bisa menyantap makanan apapun. Ibu Indah sudah mencoba membuatkan sup ayam kampung kesukaan Indah. Namun baru saja Indah menyuapkan suapan kedua nasi dan sayurnya, ia kembali muntah. Begitupun dengan roti, buah, atau biskuit, Indah tidak sanggup menelannya. "Nak, apa mungkin.." kata Ibu Indah sambil berpikir."Apa, Bu?" tanya Indah.Ibu Indah menatap putrinya beberapa saat dan berkata, "Apa ini gejala hamil? Kemarin kamu juga mengalami gejala seperti ini, kan?" Mata Indah terbelalak, ia lalu mengambil ponselnya. Ia membuka kalender tempat ia mencatat tanggal terakhir datang bulannya. Ternyata memang tanggal itu sudah terlewat. Masalah yang terjadi bertubi-tubi membuat Indah lupa dan tidak curiga sama sekali pada gejala y
"Ini upah untukmu! Aktingmu cukup bagus, sampai berhasil membuat Sandy marah dan cemburu buta." Aryo menyerahkan satu amplop coklat di hadapan Hadi.Hadi membuka amplop itu dan menghitung sepintas isinya."Tambah donk, Bos! Lihat nih, aku sampai luka karena pukulan suaminya Indah itu. Aku butuh dana lebih untuk mengobati lukaku." Hadi mengelus pipinya yang masih lebam."Eh, enak saja! Itu sudah sesuai dengan perjanjian kita," tolak Aryo."Tapi kan kemarin pernjanjiannya gak ada adegan pukul-pukulan seperti ini, Bos. Kalau tahu akan luka begini, aku pasti minta tarif lebih tinggi," ujar Hadi."Sudah, terima saja dulu uangnya. Nanti aku lapor sama Nona Daisy dulu."Aryo dan Daisy sudah membuat sebuah siasat untuk membuat Sandy dan Indah salah paham. Aryo meminta Hadi untuk berpura-pura menjadi pengusaha yang ingin menjalin kerja sama dengan Indah. Hadi sebenarnya hanya seorang pengangguran yang biasa mengerjakan pekerjaan apapun, halal ataupun tidak.Setelah memberi upah untuk Hadi, Ary
"Apa?! Indah selingkuh? Itu gak mungkin, Sandy. Mama tahu Indah paling membenci perselingkuhan. Mana mungkin dia bisa melakukan itu, Nak?" seru Bu Ratna."Ma, apa yang gak mungkin di jaman sekarang ini? Indah itu sengaja membalas perlakuan Sandy. Indah menyangka Sandy sudah berselingkuh dengan Daisy. Mama lihat sendiri foto-foto ini!" Sandy menyodorkan ponselnya. "Sandy juga sudah melihat sendiri mereka sedang berduaan di rumah Ibu Indah. Hati Sandy sangat sakit melihatnya, Ma. Semua cinta dan ketulusan Sandy untuk Indah sudah gak ada artinya."Bu Ratna menatap foto-foto itu dengan mata terbelalak. "Ini gak mungkin! Mama tetap gak bisa mempercayai ini. Apa kamu sudah tanyakan baik-baik sama Indah? Siapa tahu pria itu saudaranya?""Ma, Indah saja gak menyangkal tuduhan Sandy. Dia hanya diam dan gak menjelaskan apapun. Sandy sudah mantap akan menceraikan Indah, Ma. Secepatnya Sandy akan mengurus proses perceraian ini." Sandy menatap nanar ke depan."Nak, kamu harus bicara baik-baik dan
"San, dimana Indah? Kenapa beberapa hari ini Mama gak lihat dia?" tanya Bu Ratna saat sarapan pagi itu.Sandy tak langsung menjawab, ia mengunyah makanannya perlahan sembari mencari jawaban yang tepat."Dia ada di rumah ibunya, Ma. Kasihan anak-anak, sudah beberapa hari mereka harus bersama neneknya, " jawab Sandy."Kenapa? Kalian bertengkar? Tolong jujur dan jangan menyembunyikan apapun dari Mama!""Gak ada apa-apa, Ma. Mama gak perlu cemas. Sekarang Mama fokus saja sama kesehatan Mama, jangan terus larut dalam kesedihan!" Sandy berusaha tersenyum.Perbincangan mereka terhenti ketika Daisy tiba-tiba datang dan langsung duduk di samping Sandy. Tanpa ragu Daisy langsung memegang lengan Sandy dan mencium pipinya. Sandy terlihat segan, tetapi ia membiarkan tindakan Daisy itu. Bu Ratna menatap Daisy dan Sandy bergantian. Ia mulai bisa membaca situasi itu."Ma, aku bawa makanan untuk Mama dan Sandy." Daisy meletakkan kantung plastik yang cukup besar di meja makan."Gak perlu repot-repot. B
Indah berlari keluar dari kantor itu dan masuk kembali ke mobilnya. Ia tidak menghiraukan tatapan para karyawan yang melihat reaksi dan air matanya yang terlanjur jatuh."Jahat kamu, Mas! Pantas saja kamu membela wanita itu mati-matian dan memaksa aku minta maaf padanya. Ternyata kamu masih menyimpan perasaan cinta untuknya. Lalu kamu anggap aku ini apa? Figuran? Pelampiasan?""Aku merendahkan diri, datang ke kantormu untuk membawakan makan siang dan memperbaiki hubungan kita. Tapi apa? Ternyata kamu malah menikmati waktu saat jauh dariku.""Bodoh kamu, Indah! Kenapa bisa jatuh kembali di lubang yang sama? Ternyata semua pria memang penipu!" rutuk Indah.Indah memukul-mukul setir mobilnya dan menangis. Setelah bisa sedikit menguasai diri, ia segera meninggalkan halaman kantor suaminya. 'Mas Sandy atau siapapun gak boleh melihat aku menangis. Aku gak akan menangis lagi untuk seorang pria.' Indah menghapus kasar air mata yang membasahi pipinya.Indah kembali ke restoran dan masuk ke ru
"Argh.. kenapa pernikahanku jadi kacau seperti ini?" Sandy menjambak rambutnya sendiri dan duduk di sofa ruang tamu.Bi Ijah menatapnya prihatin dan menggelengkan kepalanya. Dalam sekejap rumah tangga yang harmonis menjadi retak dan nyaris hancur."Sabar, Nak, setiap rumah tangga harus melewati ujian. Coba tenangkan diri dan jangan mengedepankan emosi!" saran Bi Ijah."Bi, apa kurangnya aku selama ini? Aku selalu berusaha menerima, menyayangi, dan mendukung Indah. Aku juga menerima Indah apa adanya meskipun dia sudah pernah menikah dan menyayangi anak-anaknya seperti anakku sendiri. Dengan mudahnya dia pergi dari rumah saat kami ada masalah kecil seperti ini. Aku masih berduka karena papa, Bi. Pikiranku kalut, seharusnya dia bisa mengerti dan memahami aku."Bi Ijah menghela nafas panjang. "Jangan mengambil keputusan saat sedang marah, Nak! Nanti kalau emosi kalian sudah membaik, bicaralah dengan lebih tenang dan jangan saling menyalahkan!""Iya, Bi. Aku akan mencoba mengikuti saran Bi
Indah mengemudi mobilnya sambil menangis. Ia tidak pernah menyangka jika hal buruk yang pernah terjadi dalam pernikahannya terdahulu akan terulang kembali. Indah meraba pipinya yang terasa sakit, ia melihat ke cermin dan menemukan tanda merah di sana. Tak henti Indah bertanya dalam hatinya, apa kegagalan kisah cintanya dengan Aryo membuatnya trauma dan sangat sensitif seperti sekarang ini?Saat berhenti di lampu merah, Indah mengambil ponselnya, ia melihat tidak ada pesan atau permintaan maaf dari Sandy padanya.'Bukannya mencegah aku pergi, dia malah berteriak dan marah seperti itu! Baiklah, aku gak akan kembali ke rumah itu!' ucap Indah dalam hatinya.Indah tak habis pikir, kenapa ada orang bermuka dua seperti Irene dan Daisy, yang terlihat sangat manis di luar, tetapi hatinya licik dan berbisa.Tanpa ia sadari, Indah tiba di depan rumah ibunya. Ia menghapus air matanya dan memakai masker untuk menutupi bekas tamparan Sandy di wajahnya. Indah mengerti, tidak mungkin ia bisa menyemb
Dua jam berlalu, Indah tetap berada di kamar dengan perasaan tak menentu. Bayangan Sandy sedang berbincang dan berpegangan tangan dengan Daisy tak pernah bisa hilang dari benaknya. Tak biasanya Sandy membiarkannya kesal dan marah seperti ini. Biasanya, Sandy akan kembali ke kamar dan memeluk Indah sampai amarahnya surut. Indah duduk sambil memeluk bantal. Sekalipun beberapa hari ia lelah dan mengantuk karena kurang tidur, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya.'Apa aku yang keterlaluan? Terlalu sensitif dan cemburu di saat yang gak tepat?''Tapi bagaimana bisa Mas Sandy berbuat seperti itu padaku? Dia seolah gak menghargai perasaanku?'Indah menarik nafas dalam-dalam, ia mencuci mukanya dan berpikir untuk pulang dahulu ke rumahnya.'Seandainya Mas Sandy masih ingin menemani mama, biar saja dia di sini dulu,' pikir Indah.Indah keluar dari kamar, tak disangka, Daisy masih ada di ruang tamu dan sedang berbincang dengan Irene. Sementara Sandy sedang tertidur di lantai beralaskan