Pagi itu Indah masih meringkuk menghadap ke dinding. Kepalanya berdenyut pening jika ia mencoba bangun dari tempat tidurnya. Ia mendengar ibu membuka pintu kamar dan menghampirinya."Nak, suamimu datang. Dia menunggumu di teras.""Mau apa dia, Bu? Kalau mau membuat keributan lagi, suruh saja dia pergi," jawab Indah dengan malas."Sepertinya gak begitu, Nak. Dia tadi sudah minta maaf sama Ibu. Ada sesuatu yang penting yang harus dia sampaikan padamu. Temui saja dulu, Nak!" kata Ibu Indah."Iya, Bu." Indah bangkit dan duduk di tempat tidurnya. Indah menatap dirinya di cermin, penampilannya sangat menyedihkan karena wajahnya pucat, pipinya tirus karena porsi makan berkurang, dan hanya mengenakan daster. Indah segera mengganti pakaiannya, menyisir dan mengikat rambutnya, dan memakai lipstik agar tidak terlihat seperti mayat hidup.Setelah itu ia menarik nafas dalam-dalam dan kembali melihat dirinya di cermin. Tak lupa ia memasukkan alat tes kehamilan di sakunya. Indah berpikir, seandainy
Indah sedang merias wajahnya dan memakai gaun terbaik yang ia miliki. Sejak dulu Indah kurang bisa bendandan, apalagi sejak menikah dan memiliki anak kecil. Indah sangat jarang berdandan, kecuali jika ada acara khusus. Walaupun sudah berkutat di depan cermin selama setengah jam sambil menonton tutorial berdandan di ponselnya, namun riasan wajah Indah hanya biasa saja, sangat jauh dari yang ia harapkan. Gaun yang Indah pakai juga sangat sederhana, hanya gaun terusan selutut berwarna biru yang tidak terlalu banyak memiliki variasi. Entah berapa kali sudah Indah memakai gaun itu untuk berbagai acara. Bagi dirinya yang sudah memiliki dua anak, yang terpenting adalah pakaian yang bisa membuatnya nyaman dan mudah bergerak. Indah juga belum berpikir untuk membeli gaun baru, karena ia harus menghemat pengeluaran dan memakai uang untuk sesuatu yang penting. Bagi Indah, acara pesta, undangan, dan sebagainya tidak selalu terjadi. Oleh karena itu, ia tidak terlalu memikirkan pakaian bagus dan r
Indah menghela nafas panjang, ia menatap Arinna dan Charles yang baru saja tidur. Indah mencium anak-anaknya dan menyelimuti mereka, lalu ia keluar dari kamar mereka.Indah duduk di tempat tidurnya dengan gundah. Perkataan Aryo tadi kembali terngiang di benaknya. Perkataan yang sangat tajam dan membuat hati Indah terasa sangat nyeri. Indah membayangkan saat ini suaminya sedang bersenang-senang dengan rekan-rekannya. Mungkin beberapa teman Aryo dengan bangga memamerkan istri-istri mereka pada yang lain. Tapi sebaliknya, Aryo justru malu mengajak istrinya sendiri. Rasanya sudah sangat lama Indah tidak pergi keluar rumah bersama Aryo. Aryo lebih sering pergi kemanapun sendiri, terutama jika bertemu dengan teman-temannya. Aryo juga sangat jarang mengundang temannya bertandang ke rumah. Mungkin benar, Aryo merasa sangat malu mempunyai istri seperti Indah. Namun tidak hanya itu saja, Aryo juga enggan dekat dengan kedua buah hati mereka. Indah tidak dapat mengingat kapan terakhir kali ia da
"Sayang, aku pulang dulu, ya," Aryo mengecup kening Tania. "Ah, kenapa buru-buru, Mas? Aku masih kangen nih," kata Tania sambil kembali memeluk tubuh Aryo. Tania membelai tubuh Aryo dengan jemarinya yang lentik dan menggoda Aryo. Jemari Tania dengan lincah menjamah seluruh tubuh Aryo, dimulai dengan dadanya yang bidang, perut, hingga punggungnya. Aryo hampir tidak bisa menahan hasratnya karena sentuhan wanita cantik dan genit itu. "Dasar nakal! Ini sudah malam, Sayang. Nanti istriku curiga, lagipula besok kita juga bertemu lagi di kantor. Apa kamu tidak bosan bertemu denganku setiap hari?" ucap Aryo sambil mencubit lembut hidung Tania. Tania mengerucutkan bibirnya, seolah tidak rela untuk berpisah dengan Aryo. Aryo semakin gemas melihat tingkah manja gadis cantik itu. Aryo menghujani wajah, leher, dan bibir Tania dengan ciuman bertubi-tubi. Gadis itu tertawa dan semakin merangkul Aryo dengan erat. Ia bahkan bergelayut di pundak Aryo, tak ingin melepaskan pria tampan itu. Aryo me
Indah tercengang, ternyata kecurigaannya benar terbukti. "Mengapa kamu menyembunyikan semua ini dari aku, Ra? Kamu itu teman lamaku, kenapa kamu malah memihak suamiku?" tanya Indah meradang. "Maaf, Ndah. Aku bukan membela suamimu atau mau menutupi kesalahannya. Aku pernah mengingatkan Aryo, bahwa perbuatannya itu salah dan akan menyakiti hatimu. Tapi Aryo justru marah padaku. Dia mengancam kalau aku memberitahukan semuanya ini, ia akan membuat aku kehilangan pekerjaan. Kamu tahu kan? Jabatan Aryo di kantor lebih tinggi daripada aku. Dia sudah lama bekerja dan dekat dengan pimpinan. Aku takut ancamannya itu menjadi kenyataan. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini, Ndah," beber Clara. Indah menutup wajahnya, air matanya kini luruh tak tertahan. Sekalipun selama ini ia sudah menaruh rasa curiga pada Aryo, tetapi mendengar kenyataan itu, hati Indah tetap hancur dan sakit. "Maafkan aku, Ndah. Kamu yang sabar, ya," kata Clara sambil mengulurkan tisu pada Indah. Indah mengambil tisu itu
Aryo terkejut melihat istrinya berdiri di hadapannya.Tania menyusul Aryo dan bertanya, "Sayang, ada apa?""Oh, jadi kamu pelakor tidak tahu malu itu?" tanya Indah dengan geram."Apa-apaan kamu, Ndah? Kenapa datang kemari?" tanya Aryo seolah tanpa rasa bersalah.Indah menggelengkan kepalanya dan berkata, "Apa?! Kamu tidak merasa bersalah sedikitpun, Mas? Terbuat dari apa hatimu itu?"Aryo menatap Clara yang berdiri di belakang Indah dan berkata dengan kesal, "Oh, jadi kamu mengadukan semua ini pada Indah? Beraninya kamu, tunggu saja akibatnya!""Aku tidak takut lagi dengan ancamanmu, Aryo! Kamu dan Tania sudah tahu telah berbuat salah, tapi malah terus melanjutkan perbuatan itu. Silakan kalau kamu mau pecat aku, aku tidak peduli!" teriak Clara."Awas kamu!" Aryo menunjuk wajah Clara."Eh, kamu yang salah, Mas. Jangan malah mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain! Teganya kamu berbuat seperti ini, Mas! Apa kamu sudah tidak mengingat lagi janji pernikahan kita? Apa kamu tidak i
Indah masuk ke dalam kamarnya dan mengambil koper dari atas lemari. Setelah itu ia mengeluarkan baju-baju miliknya, juga milik Arinna dan Charles. Indah juga mengambil mainan anak-anaknya, tak banyak memang, tapi mungkin nanti mereka akan menanyakannya. Alat make up Indah tidak banyak, ia mengambilnya dan memasukkan ke dalam tas selempangnya. Indah berusaha untuk tetap kuat dan tidak menangis. Aryo tidak mencegah Indah pergi dari rumah itu. Dari dalam kamar, Indah bahkan sempat mendengar tawa ibu mertuanya dan Tania. Indah menggelengkan kepalanya, sejenak ia menghapus air mata yang mengalir di pipinya, lalu kembali memasukkan barang-barang miliknya ke dalam koper. Indah melihat ke sekeliling kamarnya, tempat ia dan suaminya tidur selama sepuluh tahun ini. Tak bisa dipungkiri, banyak kenangan manis yang terjadi di rumah ini. Dulu Aryo adalah pria yang baik, lembut, dan penyayang. Entah sejak kapan ia berubah, perasaan cinta itu terkikis oleh waktu. Sebelum meninggalkan kamar itu, I
"Mas, kenapa gak jujur padaku kalau hutangmu sebanyak itu?" protes Tania. "Sayang, hutang dan cicilan itu memang untuk kebutuhanku. Aku rasa memang belum sepantasnya aku menceritakan semuanya padamu, kecuali kalau kita sudah menikah," jawab Aryo. "Tapi aku pikir kamu cukup kaya dan mapan, Mas. Karena itu aku mau menerima kamu," ucap Tania dengan jujur."Tapi kamu punya tabungan, kan?" tanya Ibu Aryo. Aryo menundukkan kepala dan berpikir sejenak. Dia hanya mempunyai rekening tabungan untuk menampung gajinya. Namun saldonya tidak pernah bertambah, setiap bulan gajinya menguap habis. Apalagi setelah Aryo menjalin hubungan dengan Tania. Setiap bulan Tania selalu meminta uang untuk belanja, perawatan wajah dan rambut di salon, dan sebagainya. Aryo tahu persis, setiap bulan uang yang tersisa di rekeningnya hanya mendekati saldo minimum. Seperti saat ini, tanggal gajian masih setengah bulan lagi, tapi saldo di kartu ATM Aryo hanya bersisa satu juta rupiah. Itu pun masih harus digunakan u
Pagi itu Indah masih meringkuk menghadap ke dinding. Kepalanya berdenyut pening jika ia mencoba bangun dari tempat tidurnya. Ia mendengar ibu membuka pintu kamar dan menghampirinya."Nak, suamimu datang. Dia menunggumu di teras.""Mau apa dia, Bu? Kalau mau membuat keributan lagi, suruh saja dia pergi," jawab Indah dengan malas."Sepertinya gak begitu, Nak. Dia tadi sudah minta maaf sama Ibu. Ada sesuatu yang penting yang harus dia sampaikan padamu. Temui saja dulu, Nak!" kata Ibu Indah."Iya, Bu." Indah bangkit dan duduk di tempat tidurnya. Indah menatap dirinya di cermin, penampilannya sangat menyedihkan karena wajahnya pucat, pipinya tirus karena porsi makan berkurang, dan hanya mengenakan daster. Indah segera mengganti pakaiannya, menyisir dan mengikat rambutnya, dan memakai lipstik agar tidak terlihat seperti mayat hidup.Setelah itu ia menarik nafas dalam-dalam dan kembali melihat dirinya di cermin. Tak lupa ia memasukkan alat tes kehamilan di sakunya. Indah berpikir, seandainy
"Masih mual, Nak? Bagaimana kalau ke dokter saja?" Ibu Indah menatap Indah yang berjalan perlahan keluar dari kamar mandi dengan cemas. Sudah lebih dari sepuluh kali Indah bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat, karena Indah tidak bisa menyantap makanan apapun. Ibu Indah sudah mencoba membuatkan sup ayam kampung kesukaan Indah. Namun baru saja Indah menyuapkan suapan kedua nasi dan sayurnya, ia kembali muntah. Begitupun dengan roti, buah, atau biskuit, Indah tidak sanggup menelannya. "Nak, apa mungkin.." kata Ibu Indah sambil berpikir."Apa, Bu?" tanya Indah.Ibu Indah menatap putrinya beberapa saat dan berkata, "Apa ini gejala hamil? Kemarin kamu juga mengalami gejala seperti ini, kan?" Mata Indah terbelalak, ia lalu mengambil ponselnya. Ia membuka kalender tempat ia mencatat tanggal terakhir datang bulannya. Ternyata memang tanggal itu sudah terlewat. Masalah yang terjadi bertubi-tubi membuat Indah lupa dan tidak curiga sama sekali pada gejala y
"Ini upah untukmu! Aktingmu cukup bagus, sampai berhasil membuat Sandy marah dan cemburu buta." Aryo menyerahkan satu amplop coklat di hadapan Hadi.Hadi membuka amplop itu dan menghitung sepintas isinya."Tambah donk, Bos! Lihat nih, aku sampai luka karena pukulan suaminya Indah itu. Aku butuh dana lebih untuk mengobati lukaku." Hadi mengelus pipinya yang masih lebam."Eh, enak saja! Itu sudah sesuai dengan perjanjian kita," tolak Aryo."Tapi kan kemarin pernjanjiannya gak ada adegan pukul-pukulan seperti ini, Bos. Kalau tahu akan luka begini, aku pasti minta tarif lebih tinggi," ujar Hadi."Sudah, terima saja dulu uangnya. Nanti aku lapor sama Nona Daisy dulu."Aryo dan Daisy sudah membuat sebuah siasat untuk membuat Sandy dan Indah salah paham. Aryo meminta Hadi untuk berpura-pura menjadi pengusaha yang ingin menjalin kerja sama dengan Indah. Hadi sebenarnya hanya seorang pengangguran yang biasa mengerjakan pekerjaan apapun, halal ataupun tidak.Setelah memberi upah untuk Hadi, Ary
"Apa?! Indah selingkuh? Itu gak mungkin, Sandy. Mama tahu Indah paling membenci perselingkuhan. Mana mungkin dia bisa melakukan itu, Nak?" seru Bu Ratna."Ma, apa yang gak mungkin di jaman sekarang ini? Indah itu sengaja membalas perlakuan Sandy. Indah menyangka Sandy sudah berselingkuh dengan Daisy. Mama lihat sendiri foto-foto ini!" Sandy menyodorkan ponselnya. "Sandy juga sudah melihat sendiri mereka sedang berduaan di rumah Ibu Indah. Hati Sandy sangat sakit melihatnya, Ma. Semua cinta dan ketulusan Sandy untuk Indah sudah gak ada artinya."Bu Ratna menatap foto-foto itu dengan mata terbelalak. "Ini gak mungkin! Mama tetap gak bisa mempercayai ini. Apa kamu sudah tanyakan baik-baik sama Indah? Siapa tahu pria itu saudaranya?""Ma, Indah saja gak menyangkal tuduhan Sandy. Dia hanya diam dan gak menjelaskan apapun. Sandy sudah mantap akan menceraikan Indah, Ma. Secepatnya Sandy akan mengurus proses perceraian ini." Sandy menatap nanar ke depan."Nak, kamu harus bicara baik-baik dan
"San, dimana Indah? Kenapa beberapa hari ini Mama gak lihat dia?" tanya Bu Ratna saat sarapan pagi itu.Sandy tak langsung menjawab, ia mengunyah makanannya perlahan sembari mencari jawaban yang tepat."Dia ada di rumah ibunya, Ma. Kasihan anak-anak, sudah beberapa hari mereka harus bersama neneknya, " jawab Sandy."Kenapa? Kalian bertengkar? Tolong jujur dan jangan menyembunyikan apapun dari Mama!""Gak ada apa-apa, Ma. Mama gak perlu cemas. Sekarang Mama fokus saja sama kesehatan Mama, jangan terus larut dalam kesedihan!" Sandy berusaha tersenyum.Perbincangan mereka terhenti ketika Daisy tiba-tiba datang dan langsung duduk di samping Sandy. Tanpa ragu Daisy langsung memegang lengan Sandy dan mencium pipinya. Sandy terlihat segan, tetapi ia membiarkan tindakan Daisy itu. Bu Ratna menatap Daisy dan Sandy bergantian. Ia mulai bisa membaca situasi itu."Ma, aku bawa makanan untuk Mama dan Sandy." Daisy meletakkan kantung plastik yang cukup besar di meja makan."Gak perlu repot-repot. B
Indah berlari keluar dari kantor itu dan masuk kembali ke mobilnya. Ia tidak menghiraukan tatapan para karyawan yang melihat reaksi dan air matanya yang terlanjur jatuh."Jahat kamu, Mas! Pantas saja kamu membela wanita itu mati-matian dan memaksa aku minta maaf padanya. Ternyata kamu masih menyimpan perasaan cinta untuknya. Lalu kamu anggap aku ini apa? Figuran? Pelampiasan?""Aku merendahkan diri, datang ke kantormu untuk membawakan makan siang dan memperbaiki hubungan kita. Tapi apa? Ternyata kamu malah menikmati waktu saat jauh dariku.""Bodoh kamu, Indah! Kenapa bisa jatuh kembali di lubang yang sama? Ternyata semua pria memang penipu!" rutuk Indah.Indah memukul-mukul setir mobilnya dan menangis. Setelah bisa sedikit menguasai diri, ia segera meninggalkan halaman kantor suaminya. 'Mas Sandy atau siapapun gak boleh melihat aku menangis. Aku gak akan menangis lagi untuk seorang pria.' Indah menghapus kasar air mata yang membasahi pipinya.Indah kembali ke restoran dan masuk ke ru
"Argh.. kenapa pernikahanku jadi kacau seperti ini?" Sandy menjambak rambutnya sendiri dan duduk di sofa ruang tamu.Bi Ijah menatapnya prihatin dan menggelengkan kepalanya. Dalam sekejap rumah tangga yang harmonis menjadi retak dan nyaris hancur."Sabar, Nak, setiap rumah tangga harus melewati ujian. Coba tenangkan diri dan jangan mengedepankan emosi!" saran Bi Ijah."Bi, apa kurangnya aku selama ini? Aku selalu berusaha menerima, menyayangi, dan mendukung Indah. Aku juga menerima Indah apa adanya meskipun dia sudah pernah menikah dan menyayangi anak-anaknya seperti anakku sendiri. Dengan mudahnya dia pergi dari rumah saat kami ada masalah kecil seperti ini. Aku masih berduka karena papa, Bi. Pikiranku kalut, seharusnya dia bisa mengerti dan memahami aku."Bi Ijah menghela nafas panjang. "Jangan mengambil keputusan saat sedang marah, Nak! Nanti kalau emosi kalian sudah membaik, bicaralah dengan lebih tenang dan jangan saling menyalahkan!""Iya, Bi. Aku akan mencoba mengikuti saran Bi
Indah mengemudi mobilnya sambil menangis. Ia tidak pernah menyangka jika hal buruk yang pernah terjadi dalam pernikahannya terdahulu akan terulang kembali. Indah meraba pipinya yang terasa sakit, ia melihat ke cermin dan menemukan tanda merah di sana. Tak henti Indah bertanya dalam hatinya, apa kegagalan kisah cintanya dengan Aryo membuatnya trauma dan sangat sensitif seperti sekarang ini?Saat berhenti di lampu merah, Indah mengambil ponselnya, ia melihat tidak ada pesan atau permintaan maaf dari Sandy padanya.'Bukannya mencegah aku pergi, dia malah berteriak dan marah seperti itu! Baiklah, aku gak akan kembali ke rumah itu!' ucap Indah dalam hatinya.Indah tak habis pikir, kenapa ada orang bermuka dua seperti Irene dan Daisy, yang terlihat sangat manis di luar, tetapi hatinya licik dan berbisa.Tanpa ia sadari, Indah tiba di depan rumah ibunya. Ia menghapus air matanya dan memakai masker untuk menutupi bekas tamparan Sandy di wajahnya. Indah mengerti, tidak mungkin ia bisa menyemb
Dua jam berlalu, Indah tetap berada di kamar dengan perasaan tak menentu. Bayangan Sandy sedang berbincang dan berpegangan tangan dengan Daisy tak pernah bisa hilang dari benaknya. Tak biasanya Sandy membiarkannya kesal dan marah seperti ini. Biasanya, Sandy akan kembali ke kamar dan memeluk Indah sampai amarahnya surut. Indah duduk sambil memeluk bantal. Sekalipun beberapa hari ia lelah dan mengantuk karena kurang tidur, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya.'Apa aku yang keterlaluan? Terlalu sensitif dan cemburu di saat yang gak tepat?''Tapi bagaimana bisa Mas Sandy berbuat seperti itu padaku? Dia seolah gak menghargai perasaanku?'Indah menarik nafas dalam-dalam, ia mencuci mukanya dan berpikir untuk pulang dahulu ke rumahnya.'Seandainya Mas Sandy masih ingin menemani mama, biar saja dia di sini dulu,' pikir Indah.Indah keluar dari kamar, tak disangka, Daisy masih ada di ruang tamu dan sedang berbincang dengan Irene. Sementara Sandy sedang tertidur di lantai beralaskan