"Irene, jaga sikapmu pada istriku! Jangan kurang ajar!" Sandy mengingatkan Irene.Irene menarik kembali tangannya dan mengalihkan pandangannya dari Indah. Indah berbalik dan meneruskan langkahnya ke pintu. Sandy mengejar dan memegang lengan Indah."Sayang, kamu lapar? Aku temani kamu, ya.""Gak perlu, Mas. Kamu kan sedang sibuk," jawab Indah.Sandy tetap membukakan pintu dan keluar dari ruangan bersama Indah. Sandy menarik Indah ke sudut yang sepi dan berbisik padanya."Sayang, kamu marah? Maafkan sikap Irene yang kurang dewasa. Dia memang manja karena merupakan anak bungsu. Sejak dulu dia dekat padaku, mama juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Mungkin dia bersikap begitu karena belum mengenalmu."Indah menatap Sandy dan berusaha menahan rasa kesalnya, ia berpikir mungkin dirinya yang terlalu sensitif."Aku mengerti, Mas. Aku hanya sedikit bosan di dalam dan gak melakukan apa-apa. Aku mau mencari udara segar sebentar di luar."Sandy memegang kedua lengan Indah di hadapannya
Indah segera mencari taksi online dan pulang ke rumah ibunya. Ia merasa kecewa dengan sikap Irene, tapi lebih kesal lagi dengan sikap Sandy kali ini. Sandy selama ini selalu peka dan cepat tanggap membela serta melindungi perasaan Indah. Namun kali ini Sandy hanya diam, seolah ulah dan sikap Irene adalah sesuatu yang wajar.'Adik angkat macam apa dia? Kenapa dia seenaknya menghina dan merendahkan aku?' gerutu Indah dalam batinnya.Indah masih duduk di bangku belakang mobil itu. Sebentar lagi ia akan tiba di rumah ibunya. Indah membiarkan ponselnya berdering dan enggan menjawab panggilan telepon Sandy."Sudah sampai, Bu." Sopir taksi melirik Indah yang masih duduk termenung."Oh, iya. Ini uangnya," kata Indah.Indah turun dari mobil itu dan berjalan ke rumahnya. Ia menghela nafas panjang sebelum masuk, agar ibu dan kedua anaknya tidak melihatnya sedang marah dan kecewa."Loh, kamu sudah pulang, Nak? Mana Nak Sandy?" tanya ibu."Dia masih sibuk, Bu. Aku lelah dan bosan, jadi pulang dulu
"Sayang, nanti kita ajak anak-anak main di mal, ya. Sekalian aku antar kamu belanja bulanan," kata Sandy sambil tetap fokus mengemudi. Sore itu mereka baru saja pulang dari kantor. Mobil mereka menembus jalanan yang padat dengan kendaraan yang berlalu lalang."Wah, anak-anak pasti senang sekali, Mas," jawab Indah."Iya, aku juga senang melihat mereka bermain dan tertawa gembira. Aku sangat menyayangi mereka.""Iya, Mas. Dulu mereka gak pernah ke mal atau jalan-jalan. Sekarang aku sangat bersyukur, karena kamu bisa membuat mereka bahagia dan menyayangi mereka dengan tulus," imbuh Indah."Mereka sudah menjadi anak-anakku. Kamu, Arinna, Charles, dan ibu adalah bagian terpenting dalam hidupku." Sandy melirik Indah sambil tersenyum."Mas, apa Irene masih marah? Aku gak mengerti, kenapa dia kesal dan sepertinya cemburu padaku," ujar Indah.Sandy menghela nafas berat sebelum menjawab, "Irene memang sejak dahulu manja dan keras kepala. Biarkan saja dia untuk sementara, Sayang. Kamu jangan te
"Aryo, kali ini kamu harus menolong Ibu! Ibu sangat membutuhkan uang itu. Ibu gak tahu harus cari pinjaman kemana lagi. Semua warung di sini sudah Ibu datangi untuk meminjam uang. Mereka sudah gak mau memberi Ibu pinjaman, sampai Ibu membayar hutang yang lama." Suara Ibu Aryo terdengar parau."Bu, Aryo gak punya uang sebanyak itu. Coba nanti Aryo bicarakan dengan Tania," jawab Aryo."Kamu harus bisa membujuk istrimu untuk memberikan uang itu, Nak!" pinta ibu."Nanti aku telepon Ibu lagi, ya."Aryo menghela nafas panjang, ia berusaha menelan salivanya dengan susah payah. Tiba-tiba rasa kopi yang ia minum lebih pahit dari biasanya. Aryo mengambil cangkir itu dan berjalan ke wastafel. Ia meletakkan cangkir yang masih berisi separuh kopi hitam.Aryo berjalan ke ruang tamu rumah itu. Istrinya baru saja keluar dari kamar setelah menidurkan anaknya."Nia, duduk sini! Aku mau bicara." Aryo menunjuk ke sofa.Tania menurut, ia duduk di sofa yang sudah mulai usang itu. Sofa itu adalah milik pemi
"Indah, besok bisa temani Mama?" tanya Bu Ratna melalui panggilan telepon seluler."Memangnya Mama mau kemana?" tanya Indah."Mama ada arisan dengan teman-teman. Mereka penasaran sama kamu, menantu Mama, jadi bulan lalu Mama janji mau ajak kamu di arisan berikutnya. Lagi pula sekarang kamu sudah resmi menjadi Nyonya Sandy, kamu harus mulai menyesuaikan diri dengan pergaulan dan cara kami bersosialisasi."Indah terkejut, tapi ia tidak mempunyai alasan untuk menolak permintaan mertuanya itu."Baik, Ma. Jam berapa?" tanya Indah."Acaranya jam lima sore, tapi kita ke salon dulu jam tiga, ya. Nanti Mama jemput.""Apa?! Kenapa harus ke salon, Ma?" tanya Indah heran."Tentu supaya penampilan kita lebih cantik, Sayang. Oh ya, mungkin Irene juga akan datang besok. Kalian sudah bertemu, kan?" "Ah, iya, sudah." Indah tergagap-gagap. Terbayang di benak Indah ulah Irene saat terakhir kali mereka jumpa."Ya sudah, sampai besok, Sayang." Mertua Indah mengakhiri panggilan telepon itu.Indah menghela
"Jadi Indah sudah pernah menikah sebelumnya?" tanya seorang wanita cantik bergaun putih yang duduk di ujung meja."Iya, Tante," jawab Indah"Oo.." hampir semua wanita di ruangan itu memberikan ekspresi yang sama dan saling melempar pandangan penuh makna."Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja." kata Bu Ratna berusaha mengalihkan pembicaraan. Terlihat jelas dari mimik wajahnya bahwa ia juga merasa tidak nyaman dengan pembicaraan itu."Oke, Jeng," jawab wanita itu. Sepertinya Bu Ratna memang cukup disegani dan berpengaruh dalam komunitas itu. Indah merasa lega, karena akhirnya pandangan mata orang-orang itu tidak lagi tertuju padanya.Bu Ratna dan teman-temannya mulai asyik bersenda gurau. Mereka memesan hidangan yang terlihat nikmat dan mahal. Restoran itu memang menawarkan hidangan modern dan mahal, tidak seperti restoran yang Indah kelola. Cukup lama Indah menatap makanan di atas piringnya. Makanan itu terlihat nikmat, namun asing bagi Indah. Ia melihat ke sekelilingnya, memperhatik
"Jeng Ratna, tunggu! Kita pasti bisa bicarakan ini baik-baik." Salah satu dari anggota arisan itu berusaha mengejar Bu Ratna. Namun Bu Ratna tetap melangkah meninggalkan restoran, dengan diiringi tatapan penuh tanya dari para pengunjung."Maafkan Indah, Ma," bisik Indah sembari mereka berjalan menuju mobil."Kamu gak perlu minta maaf, Indah. Ini bukan kesalahanmu. Justru Mama menyesal karena sikap mereka yang memalukan dan menyakiti kamu." Bu Ratna masih terlihat kesal dan tidak menyangka kalau acara arisan itu akan berakhir dengan suasana yang tidak menyenangkan.Indah dan Bu Ratna masuk ke mobil. Indah kembali mengeringkan rambutnya yang basah dengan tisu. Walaupun ia berusaha keras menahan diri, namun air matanya tetap mengalir."Kamu gak apa-apa, Nak? Maaf karena Mama memaksa kamu mengikuti acara ini. Mama gak menyangka mereka akan berbuat seperti itu sama kamu. Irene yang sudah Mama anggap seperti anak sendiri malah bersikap seperti itu. Mama sangat kecewa sama dia.""Indah gak a
Sejak pertengkaran antara Tania dan ibunya, Aryo seolah terjepit dalam posisi yang tidak menyenangkan. Di satu sisi, ia tidak ingin menjadi anak durhaka yang menyakiti hati ibu yang melahirkan dirinya. Namun di sisi lain, tak mungkin juga ia menyakiti istrinya. Ia seperti terjebak dalam dilema, bagaikan makan buah simalakama.Aryo belum mengunjungi atau menelepon ibunya lagi. Ia tidak sanggup melihat ekspresi wajah kecewa ibunya, karena uang yang diperlukan belum juga terkumpul.Suasana di rumah Aryo juga masih hambar. Tania masih terlihat kesal dan menjadi lebih pendiam. Di kantor Aryo dan Tania juga jarang berkomunikasi. Mereka seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal. Aryo merasa jenuh dengan pertengkaran mereka. Ia merasa kebahagiaan rumah tangganya telah lenyap dalam sekejap mata.Sore itu Aryo duduk di ruang tamu rumah sederhana itu. Di hadapannya ada secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Lamunan Aryo seketika buyar ketika ponselnya berdering. Ia melihat nomor ibunya
Pagi itu Indah masih meringkuk menghadap ke dinding. Kepalanya berdenyut pening jika ia mencoba bangun dari tempat tidurnya. Ia mendengar ibu membuka pintu kamar dan menghampirinya."Nak, suamimu datang. Dia menunggumu di teras.""Mau apa dia, Bu? Kalau mau membuat keributan lagi, suruh saja dia pergi," jawab Indah dengan malas."Sepertinya gak begitu, Nak. Dia tadi sudah minta maaf sama Ibu. Ada sesuatu yang penting yang harus dia sampaikan padamu. Temui saja dulu, Nak!" kata Ibu Indah."Iya, Bu." Indah bangkit dan duduk di tempat tidurnya. Indah menatap dirinya di cermin, penampilannya sangat menyedihkan karena wajahnya pucat, pipinya tirus karena porsi makan berkurang, dan hanya mengenakan daster. Indah segera mengganti pakaiannya, menyisir dan mengikat rambutnya, dan memakai lipstik agar tidak terlihat seperti mayat hidup.Setelah itu ia menarik nafas dalam-dalam dan kembali melihat dirinya di cermin. Tak lupa ia memasukkan alat tes kehamilan di sakunya. Indah berpikir, seandainy
"Masih mual, Nak? Bagaimana kalau ke dokter saja?" Ibu Indah menatap Indah yang berjalan perlahan keluar dari kamar mandi dengan cemas. Sudah lebih dari sepuluh kali Indah bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat, karena Indah tidak bisa menyantap makanan apapun. Ibu Indah sudah mencoba membuatkan sup ayam kampung kesukaan Indah. Namun baru saja Indah menyuapkan suapan kedua nasi dan sayurnya, ia kembali muntah. Begitupun dengan roti, buah, atau biskuit, Indah tidak sanggup menelannya. "Nak, apa mungkin.." kata Ibu Indah sambil berpikir."Apa, Bu?" tanya Indah.Ibu Indah menatap putrinya beberapa saat dan berkata, "Apa ini gejala hamil? Kemarin kamu juga mengalami gejala seperti ini, kan?" Mata Indah terbelalak, ia lalu mengambil ponselnya. Ia membuka kalender tempat ia mencatat tanggal terakhir datang bulannya. Ternyata memang tanggal itu sudah terlewat. Masalah yang terjadi bertubi-tubi membuat Indah lupa dan tidak curiga sama sekali pada gejala y
"Ini upah untukmu! Aktingmu cukup bagus, sampai berhasil membuat Sandy marah dan cemburu buta." Aryo menyerahkan satu amplop coklat di hadapan Hadi.Hadi membuka amplop itu dan menghitung sepintas isinya."Tambah donk, Bos! Lihat nih, aku sampai luka karena pukulan suaminya Indah itu. Aku butuh dana lebih untuk mengobati lukaku." Hadi mengelus pipinya yang masih lebam."Eh, enak saja! Itu sudah sesuai dengan perjanjian kita," tolak Aryo."Tapi kan kemarin pernjanjiannya gak ada adegan pukul-pukulan seperti ini, Bos. Kalau tahu akan luka begini, aku pasti minta tarif lebih tinggi," ujar Hadi."Sudah, terima saja dulu uangnya. Nanti aku lapor sama Nona Daisy dulu."Aryo dan Daisy sudah membuat sebuah siasat untuk membuat Sandy dan Indah salah paham. Aryo meminta Hadi untuk berpura-pura menjadi pengusaha yang ingin menjalin kerja sama dengan Indah. Hadi sebenarnya hanya seorang pengangguran yang biasa mengerjakan pekerjaan apapun, halal ataupun tidak.Setelah memberi upah untuk Hadi, Ary
"Apa?! Indah selingkuh? Itu gak mungkin, Sandy. Mama tahu Indah paling membenci perselingkuhan. Mana mungkin dia bisa melakukan itu, Nak?" seru Bu Ratna."Ma, apa yang gak mungkin di jaman sekarang ini? Indah itu sengaja membalas perlakuan Sandy. Indah menyangka Sandy sudah berselingkuh dengan Daisy. Mama lihat sendiri foto-foto ini!" Sandy menyodorkan ponselnya. "Sandy juga sudah melihat sendiri mereka sedang berduaan di rumah Ibu Indah. Hati Sandy sangat sakit melihatnya, Ma. Semua cinta dan ketulusan Sandy untuk Indah sudah gak ada artinya."Bu Ratna menatap foto-foto itu dengan mata terbelalak. "Ini gak mungkin! Mama tetap gak bisa mempercayai ini. Apa kamu sudah tanyakan baik-baik sama Indah? Siapa tahu pria itu saudaranya?""Ma, Indah saja gak menyangkal tuduhan Sandy. Dia hanya diam dan gak menjelaskan apapun. Sandy sudah mantap akan menceraikan Indah, Ma. Secepatnya Sandy akan mengurus proses perceraian ini." Sandy menatap nanar ke depan."Nak, kamu harus bicara baik-baik dan
"San, dimana Indah? Kenapa beberapa hari ini Mama gak lihat dia?" tanya Bu Ratna saat sarapan pagi itu.Sandy tak langsung menjawab, ia mengunyah makanannya perlahan sembari mencari jawaban yang tepat."Dia ada di rumah ibunya, Ma. Kasihan anak-anak, sudah beberapa hari mereka harus bersama neneknya, " jawab Sandy."Kenapa? Kalian bertengkar? Tolong jujur dan jangan menyembunyikan apapun dari Mama!""Gak ada apa-apa, Ma. Mama gak perlu cemas. Sekarang Mama fokus saja sama kesehatan Mama, jangan terus larut dalam kesedihan!" Sandy berusaha tersenyum.Perbincangan mereka terhenti ketika Daisy tiba-tiba datang dan langsung duduk di samping Sandy. Tanpa ragu Daisy langsung memegang lengan Sandy dan mencium pipinya. Sandy terlihat segan, tetapi ia membiarkan tindakan Daisy itu. Bu Ratna menatap Daisy dan Sandy bergantian. Ia mulai bisa membaca situasi itu."Ma, aku bawa makanan untuk Mama dan Sandy." Daisy meletakkan kantung plastik yang cukup besar di meja makan."Gak perlu repot-repot. B
Indah berlari keluar dari kantor itu dan masuk kembali ke mobilnya. Ia tidak menghiraukan tatapan para karyawan yang melihat reaksi dan air matanya yang terlanjur jatuh."Jahat kamu, Mas! Pantas saja kamu membela wanita itu mati-matian dan memaksa aku minta maaf padanya. Ternyata kamu masih menyimpan perasaan cinta untuknya. Lalu kamu anggap aku ini apa? Figuran? Pelampiasan?""Aku merendahkan diri, datang ke kantormu untuk membawakan makan siang dan memperbaiki hubungan kita. Tapi apa? Ternyata kamu malah menikmati waktu saat jauh dariku.""Bodoh kamu, Indah! Kenapa bisa jatuh kembali di lubang yang sama? Ternyata semua pria memang penipu!" rutuk Indah.Indah memukul-mukul setir mobilnya dan menangis. Setelah bisa sedikit menguasai diri, ia segera meninggalkan halaman kantor suaminya. 'Mas Sandy atau siapapun gak boleh melihat aku menangis. Aku gak akan menangis lagi untuk seorang pria.' Indah menghapus kasar air mata yang membasahi pipinya.Indah kembali ke restoran dan masuk ke ru
"Argh.. kenapa pernikahanku jadi kacau seperti ini?" Sandy menjambak rambutnya sendiri dan duduk di sofa ruang tamu.Bi Ijah menatapnya prihatin dan menggelengkan kepalanya. Dalam sekejap rumah tangga yang harmonis menjadi retak dan nyaris hancur."Sabar, Nak, setiap rumah tangga harus melewati ujian. Coba tenangkan diri dan jangan mengedepankan emosi!" saran Bi Ijah."Bi, apa kurangnya aku selama ini? Aku selalu berusaha menerima, menyayangi, dan mendukung Indah. Aku juga menerima Indah apa adanya meskipun dia sudah pernah menikah dan menyayangi anak-anaknya seperti anakku sendiri. Dengan mudahnya dia pergi dari rumah saat kami ada masalah kecil seperti ini. Aku masih berduka karena papa, Bi. Pikiranku kalut, seharusnya dia bisa mengerti dan memahami aku."Bi Ijah menghela nafas panjang. "Jangan mengambil keputusan saat sedang marah, Nak! Nanti kalau emosi kalian sudah membaik, bicaralah dengan lebih tenang dan jangan saling menyalahkan!""Iya, Bi. Aku akan mencoba mengikuti saran Bi
Indah mengemudi mobilnya sambil menangis. Ia tidak pernah menyangka jika hal buruk yang pernah terjadi dalam pernikahannya terdahulu akan terulang kembali. Indah meraba pipinya yang terasa sakit, ia melihat ke cermin dan menemukan tanda merah di sana. Tak henti Indah bertanya dalam hatinya, apa kegagalan kisah cintanya dengan Aryo membuatnya trauma dan sangat sensitif seperti sekarang ini?Saat berhenti di lampu merah, Indah mengambil ponselnya, ia melihat tidak ada pesan atau permintaan maaf dari Sandy padanya.'Bukannya mencegah aku pergi, dia malah berteriak dan marah seperti itu! Baiklah, aku gak akan kembali ke rumah itu!' ucap Indah dalam hatinya.Indah tak habis pikir, kenapa ada orang bermuka dua seperti Irene dan Daisy, yang terlihat sangat manis di luar, tetapi hatinya licik dan berbisa.Tanpa ia sadari, Indah tiba di depan rumah ibunya. Ia menghapus air matanya dan memakai masker untuk menutupi bekas tamparan Sandy di wajahnya. Indah mengerti, tidak mungkin ia bisa menyemb
Dua jam berlalu, Indah tetap berada di kamar dengan perasaan tak menentu. Bayangan Sandy sedang berbincang dan berpegangan tangan dengan Daisy tak pernah bisa hilang dari benaknya. Tak biasanya Sandy membiarkannya kesal dan marah seperti ini. Biasanya, Sandy akan kembali ke kamar dan memeluk Indah sampai amarahnya surut. Indah duduk sambil memeluk bantal. Sekalipun beberapa hari ia lelah dan mengantuk karena kurang tidur, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya.'Apa aku yang keterlaluan? Terlalu sensitif dan cemburu di saat yang gak tepat?''Tapi bagaimana bisa Mas Sandy berbuat seperti itu padaku? Dia seolah gak menghargai perasaanku?'Indah menarik nafas dalam-dalam, ia mencuci mukanya dan berpikir untuk pulang dahulu ke rumahnya.'Seandainya Mas Sandy masih ingin menemani mama, biar saja dia di sini dulu,' pikir Indah.Indah keluar dari kamar, tak disangka, Daisy masih ada di ruang tamu dan sedang berbincang dengan Irene. Sementara Sandy sedang tertidur di lantai beralaskan