Vania merasa jijik hingga ingin muntah, tetapi tidak ada yang bisa dimuntahkannya. Janice berujar dengan lantang, "Siapa suruh mulut kalian bicara sembarangan? Mulut kalian busuk sekali! Kalian cocoknya makan makanan sisa begini!"Saat berikutnya, Janice segera mengambil air yang digunakan seorang paman untuk merendam gigi palsu dan menyiramnya ke mulut Risma. Teriakan menjadi makin histeris.Paman itu pun buru-buru bangkit, lalu melambaikan tangannya sambil berkata dengan terbata-bata, "Eh ... eh .... Gigi palsuku!"Janice sontak memelototi paman itu, lalu menyiram Risma dan Vania lagi. Di sisi lain, Anwar benar-benar terkesiap dengan situasi ini. Dia membentak, "Janice! Berhenti!"Janice berdiri di meja sambil menatap Anwar. Dia memekik dengan murka, "Kenapa kamu selalu memarahi Paman Zachary tanpa tanya alasannya dulu? Kamu nggak pernah pikir, sikapmu padanya menentukan sikap orang lain padanya?""Statusnya memang Tuan Kedua Keluarga Karim, tapi dia selalu diinjak-injak oleh orang l
Vania menggertakkan giginya dan akhirnya tidak berbicara. Pisau itu menggores kulit Risma. Risma pun berteriak, "Vania, tolong Ibu! Wanita ini sudah gila!"Vania menangis sambil berkata, "Janice, jangan begini. Aku tahu kamu nggak bisa menerima realitas ini. Tapi, ibuku nggak bersalah."Wajah Vania memerah karena menangis. Namun, dia tidak akan pernah mengakui kesalahan mereka. Bisa dilihat betapa munafiknya wanita ini.Orang-orang mengenal Vania selama tiga tahun lebih. Ketika melihat ekspresinya yang benar-benar sedih, mereka jadi tidak tahu harus memercayai siapa.Saat ini, Anwar menghardik, "Janice, kamu sudah gila? Lepaskan Bu Risma! Kamu kira audio palsu itu bisa menipu kami semua?"Hardikannya ini bukan hanya menyakiti hati Janice, tetapi juga hati Zachary. Ayahnya lebih memilih untuk memercayai orang luar daripada semua penderitaan yang dialaminya. Jadi, Zachary memekik, "Ayah, semua ini nyata!""Diam! Benar-benar nggak tahu aturan! Suruh Janice keluar!" Anwar bahkan tidak ingi
Keadilan? Heh!"Setelah lapor polisi, kamu mau bilang apa? Bilang aku ingin membunuh ibumu karena menggila? Lantas, kenapa aku tiba-tiba menggila? Siapa yang memprovokasiku?" timpal Janice.Begitu mendengarnya, semua orang menatap Anwar dengan hati-hati. Bukankah Janice menggila setelah Anwar membentak Zachary dan Ivy?Vania termangu. Dia baru menyadari bahwa Janice sudah memasang perangkap sejak mereka bertelepon. Mereka sekeluarga bersikap begitu patuh hanya untuk menunggu Anwar bersuara.Jadi, apa gunanya melaporkan masalah ini kepada polisi? Untuk bersaksi bahwa Anwar yang telah memprovokasi Janice?"Cukup!" Anwar menyergah, "Sepertinya kamu dan ibumu minum kebanyakan. Sebaiknya kalian pulang dan istirahat!""Paman ...." Vania menatap Anwar dengan tidak percaya.Anwar melambaikan tangannya memanggil kepala pelayan, lalu menyerahkan kotak pedang. "Pedang ini nggak cocok untukku. Kalian bawa pulang saja. Antar mereka keluar."Vania dan Risma merasa enggan. Mereka ingin membujuk, teta
"Aku cuma peduli pada hasilnya. Aku nggak perlu mengajarimu lagi harus gimana, 'kan?" Nada bicara Jason terdengar seperti sedang berbicara kepada bawahan.Kegembiraan sontak sirna dari wajah Vania. Tatapannya dipenuhi ketakutan. Dia mengangguk dengan kaku. "A ... aku sudah ngerti. Aku pasti bakal menebus kesalahanku.""Ya." Jason merespons dengan tidak acuh, lalu berbalik dan pergi. Tubuh Vania sontak melemas. Dia hampir terjatuh.Risma segera memapahnya dan berkata, "Vania, kamu harus kuat. Jason belum mencampakkanmu. Masih ada kesempatan.""Memang benar, tapi dia makin nggak peduli padaku.""Nggak masalah. Yang penting dia janji mau menikahimu. Setelah menjadi istri Jason, kamu bisa menyingkirkan semua wanita yang merayunya. Janice cuma bakal mati pada akhirnya!" ucap Risma sambil menggertakkan gigi dan memegang lehernya yang terluka.Vania mendengus. "Janice, kita lihat saja hasilnya nanti."Saat ini, ada pelayan yang kebetulan lewat. Ketika melihat Risma dan Vania, mereka pun diam-
Jantung Janice sontak berdetak kencang. Dia menatap Zachary dengan terkejut. "Kenapa begitu?"Zachary tersenyum murah hati. "Ayah nggak menyukaimu. Kalau tahu masalah ini terjadi karenamu, dia pasti bakal marah besar.""Maaf, Paman." Janice merasa bersalah."Nggak apa-apa. Nggak usah dipikirkan." Zachary mengelus kepala Janice.Ivy tiba-tiba berkata, "Sayang, aku masih lapar. Kita makan lagi yuk.""Oke." Suami istri itu pun bergandengan tangan dan pergi.Janice merasa agak frustrasi. Dia berkeliling di taman. Tiba-tiba, dia melihat sebuah sosok hitam. Itu adalah Jason.Jason sedang berdiri di pinggir kolam sambil merokok. Cahaya di kolam terpantul di wajahnya. Angin sepoi meniup rambut di dahi Jason. Tatapan Jason terlihat mendalam.Janice mengepalkan tangannya, merasa dia harus memperjelas semuanya. Akan tetapi, ponsel Jason tiba-tiba berdering, membuat Janice menghentikan langkah kakinya.Jason membelakangi Janice saat menjawab panggilan. "Jangan nangis lagi. Kak Zachary nggak bakal
Janice tidak percaya bahwa Jason akan bertindak seberani itu di depan Keluarga Karim, apalagi di hadapan Joshua. Dia sama sekali tidak memedulikan ucapan Jason dan terus berusaha diam-diam melepaskan diri dari cengkeramannya.Saat mengangkat kepala, pandangannya bertemu dengan mata Jason yang kelam dan penuh dengan aura mengancam. Semakin lama, mata itu semakin dekat. Baru saat itulah, Janice sadar bahwa Jason tidak memedulikan kehadiran Joshua yang sedang menyaksikan mereka dari seberang.Janice akhirnya merasa panik. Dia mengangkat tangan untuk menahan tubuh Jason yang semakin dekat dan mengangguk sebagai tanda setuju untuk pergi bersamanya. Jason akhirnya berhenti. Dia mengangkat tangan dan mengambil daun yang menempel di rambut Janice.Dengan nada dingin seperti biasanya, dia berkata, "Ada sesuatu."Baru saat itu Janice sadar dirinya telah dikelabui. Dia mengerutkan hidung dengan kesal, tetapi tidak punya pilihan selain menerima kenyataan itu. Dia menoleh ke arah Joshua dan berkata
Entah sejak kapan, Jason ternyata sudah melepaskan sepatu dan kaus kaki Janice."Paman, kamu ngapain? Ini membuatku nggak nyaman!" seru Janice, mencoba menarik kembali kakinya. Namun, Jason tidak merasa terganggu sedikit pun dan memegang telapak kaki Janice.Telapak tangan Jason terasa hangat. Meskipun tidak ingin mengakuinya, tubuh Janice bereaksi dengan jujur. Kehangatan itu terasa begitu nyaman, bahkan hingga membuat jari-jari kakinya bergerak tanpa sadar.Jason memegang kaki Janice. Ujung jarinya menggosok kulit di punggung kaki Janice dengan sedikit tekanan hingga menciptakan sensasi campuran antara sakit dan geli."Nggak nyaman?" tanya Jason dengan nada menggoda.Janice hanya menggigit bibirnya, tidak mengatakan apa pun. Jason kemudian mengambil semprotan dari kotak P3K, lalu menyemprotkannya ke pergelangan kaki Janice yang mulai memerah dan menempelkan salep di atasnya.Janice hanya bisa menatapnya diam-diam karena tidak mengerti mengapa dia melakukan semua ini. Tiba-tiba, sebua
Janice langsung tahu bahwa Jason pasti sedang membalas dendam karena Janice pernah menggigitnya sebelumnya. Dia memilih untuk menutup mata, siap menerima rasa sakit dan kemungkinan darah yang akan mengalir.Namun, rasa sakit itu hanya sesaat. Gigi Jason di lehernya memberi tekanan ringan dan berat secara bergantian, seperti sedang mempermainkannya. Tubuh Janice sedikit bergetar dan bibir Jason yang ada di lehernya pun berubah gerakan dan menggesek kulitnya perlahan.Detik berikutnya, Janice mendapati dirinya diangkat dan didudukkan di atas meja kecil. Dia mencoba melarikan diri, tetapi Jason mengurungnya di antara lengannya. Jason bergerak mendekat. Saking dekatnya, hanya dengan sedikit gerakan dari bibirnya, mereka akan bersentuhan.Janice mundur, tetapi Jason mengangkat tangannya untuk menahan kepala Janice dan menariknya kembali. Sentuhan samar yang nyaris tak terasa itu membuat atmosfer menjadi semakin panas."Ulangi," Jason berbisik rendah.Janice tetap diam dan bibirnya terkatup
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan