Janice tidak percaya bahwa Jason akan bertindak seberani itu di depan Keluarga Karim, apalagi di hadapan Joshua. Dia sama sekali tidak memedulikan ucapan Jason dan terus berusaha diam-diam melepaskan diri dari cengkeramannya.Saat mengangkat kepala, pandangannya bertemu dengan mata Jason yang kelam dan penuh dengan aura mengancam. Semakin lama, mata itu semakin dekat. Baru saat itulah, Janice sadar bahwa Jason tidak memedulikan kehadiran Joshua yang sedang menyaksikan mereka dari seberang.Janice akhirnya merasa panik. Dia mengangkat tangan untuk menahan tubuh Jason yang semakin dekat dan mengangguk sebagai tanda setuju untuk pergi bersamanya. Jason akhirnya berhenti. Dia mengangkat tangan dan mengambil daun yang menempel di rambut Janice.Dengan nada dingin seperti biasanya, dia berkata, "Ada sesuatu."Baru saat itu Janice sadar dirinya telah dikelabui. Dia mengerutkan hidung dengan kesal, tetapi tidak punya pilihan selain menerima kenyataan itu. Dia menoleh ke arah Joshua dan berkata
Entah sejak kapan, Jason ternyata sudah melepaskan sepatu dan kaus kaki Janice."Paman, kamu ngapain? Ini membuatku nggak nyaman!" seru Janice, mencoba menarik kembali kakinya. Namun, Jason tidak merasa terganggu sedikit pun dan memegang telapak kaki Janice.Telapak tangan Jason terasa hangat. Meskipun tidak ingin mengakuinya, tubuh Janice bereaksi dengan jujur. Kehangatan itu terasa begitu nyaman, bahkan hingga membuat jari-jari kakinya bergerak tanpa sadar.Jason memegang kaki Janice. Ujung jarinya menggosok kulit di punggung kaki Janice dengan sedikit tekanan hingga menciptakan sensasi campuran antara sakit dan geli."Nggak nyaman?" tanya Jason dengan nada menggoda.Janice hanya menggigit bibirnya, tidak mengatakan apa pun. Jason kemudian mengambil semprotan dari kotak P3K, lalu menyemprotkannya ke pergelangan kaki Janice yang mulai memerah dan menempelkan salep di atasnya.Janice hanya bisa menatapnya diam-diam karena tidak mengerti mengapa dia melakukan semua ini. Tiba-tiba, sebua
Janice langsung tahu bahwa Jason pasti sedang membalas dendam karena Janice pernah menggigitnya sebelumnya. Dia memilih untuk menutup mata, siap menerima rasa sakit dan kemungkinan darah yang akan mengalir.Namun, rasa sakit itu hanya sesaat. Gigi Jason di lehernya memberi tekanan ringan dan berat secara bergantian, seperti sedang mempermainkannya. Tubuh Janice sedikit bergetar dan bibir Jason yang ada di lehernya pun berubah gerakan dan menggesek kulitnya perlahan.Detik berikutnya, Janice mendapati dirinya diangkat dan didudukkan di atas meja kecil. Dia mencoba melarikan diri, tetapi Jason mengurungnya di antara lengannya. Jason bergerak mendekat. Saking dekatnya, hanya dengan sedikit gerakan dari bibirnya, mereka akan bersentuhan.Janice mundur, tetapi Jason mengangkat tangannya untuk menahan kepala Janice dan menariknya kembali. Sentuhan samar yang nyaris tak terasa itu membuat atmosfer menjadi semakin panas."Ulangi," Jason berbisik rendah.Janice tetap diam dan bibirnya terkatup
Norman menyadari wajah Janice yang pucat pasi dan dengan cemas memanggil, "Bu Janice ...."Janice hanya tersenyum dingin, "Paman Jason benar-benar bekerja keras.""Bu Janice, sebenarnya ...." Norman mencoba menjelaskan, tetapi Janice sudah berjalan pergi meninggalkannya yang hanya bisa menghela napas sambil mengerutkan alis.Setelah kembali ke kamarnya, Janice langsung menuju kamar mandi. Begitu melihat bayangannya di cermin, dia terkejut melihat tanda merah yang jelas di lehernya. Tanda gigi itu sangat samar, tetapi area yang memerah itu tampak intim. Siapa pun yang melihatnya pasti akan tahu apa yang terjadi.Janice mencoba mencucinya berkali-kali. Namun, semakin lama dia mencuci, semakin merah pula area tersebut. Akhirnya, dia menyerah.Besok dia harus pergi ke studio Amanda untuk melapor. Tampaknya dia hanya bisa menutupi tanda itu dengan alas bedak. Saat sedang berpikir bagaimana cara meminjam alas bedak dari Ivy, tiba-tiba Ivy muncul di depan pintunya."Janice? Kamu sudah pulang?
Mendengar suara itu, Janice berbalik dan melihat seorang wanita mengenakan setelan hitam yang rapi berhenti tepat di depannya."Masih ingat aku? Aku Herisa." Pemenang peringkat ketiga dalam lomba.Janice mengangguk sopan. "Ingat. Hai."Herisa merapikan setelannya sambil menyisir rambutnya dengan lembut. "Terima kasih atas pengorbananmu waktu itu.""Nggak masalah. Sebentar lagi telat, ayo kita naik dulu. Nanti kita bisa ngobrol lebih banyak," kata Janice sambil melirik jam tangannya. Dia tidak ingin datang terlambat. Ini adalah hari pertama magangnya, setidaknya dia harus tiba 10 menit lebih awal untuk membiasakan diri."Baik," jawab Herisa sambil mengikuti langkah Janice. Dengan antusias, dia berkata, "Janice, sebenarnya aku pikir karyamu lebih pantas dapatin juara pertama."Janice berhenti sejenak dan memotong pembicaraan dengan lembut, "Herisa, simpan pendapat itu untuk dirimu sendiri. Jangan pernah mengatakannya lagi."Vania bukanlah orang yang terlihat tenang seperti yang dia tunju
Saat mereka masuk ke kantor, Bella bertepuk tangan untuk menarik perhatian semua orang dan berkata, "Ini adalah karyawan magang yang baru. Bu Vania yang sudah dinobatkan sama Bu Amanda sebagai juara pertama. Selebihnya, aku rasa nggak perlu diperkenalkan lagi."Nada bicara Bella yang penuh makna segera ditangkap oleh semua orang di ruangan itu. Mereka langsung berbaris untuk menyapa Vania dengan ramah. Sementara itu, Janice dan Herisa bahkan tidak ditanya namanya.Vania melirik sekilas ke arah Janice, lalu memulai aksinya.Dia melangkah ke tengah antara Janice dan Herisa sambil menggandeng lengan mereka berdua dengan senyuman lembut dan berkata, "Mereka berdua adalah teman-temanku, Janice dan Herisa. Mohon bimbingannya untuk mereka ke depannya."Janice sempat tertegun. Jelas sekali Vania mendengar percakapan mereka di depan lift dan sekarang mencari kesempatan untuk membalas.Vania sengaja menggunakan mereka berdua untuk memamerkan sikapnya yang murah hati, sekaligus merendahkan kebera
Janice sudah pernah mengalami kekejaman Vania di kehidupan sebelumnya. Vania sangat ahli dalam memerankan dua kepribadian dengan sangat sempurna. Di masa lalu, Janice akan melakukan segalanya untuk menjelaskan diri. Namun sekarang, dia menyadari bahwa menghadapi Vania tidak perlu repot-repot.Gila-gilaan saja sudah cukup.Janice meletakkan ponselnya, lalu mengambil teko kopi yang masih panas, dan berbalik dengan cepat."Mulutmu busuk sekali, belum cukup kena air panas ya? Bu Vania mau coba gimana rasanya disiksa orang gila di sini?""Aku cuma kehilangan gaji. Tapi kamu? Kamu bakal kehilangan harga diri, kehormatan keluargamu, dan harga diri Jason. Kamu berani mengambil risiko itu?"Seperti yang diduga, begitu melihat teko kopi, otot di wajah Vania refleks menegang. Bahkan, riasannya yang tebal tampak hampir retak.Dia segera mundur dua langkah dan tatapannya berubah tajam. "Janice, jangan terlalu percaya diri! Kamu pikir kamu bisa menang? Pada akhirnya, Jason tetap berpihak padaku. Sem
Herisa terlihat cemas, lalu berbisik, "Ini ... ini nggak apa-apa? Bukannya anggur Pak Jason sangat mahal?"Vania tersenyum santai, seolah tidak peduli. "Jason sering bawa aku ke sini. Dia selalu bilang aku boleh ambil apa saja yang aku suka. Aku juga nggak terlalu tahu harganya. Tapi aku pernah nggak sengaja menjatuhkan sebotol, katanya harganya ratusan juta. Jason juga nggak marah, dia malah khawatir aku terluka.""Wah, kenapa jadi malah pamer kemesraan?" Seorang rekan bercanda. "Ayo, semua, ucapkan terima kasih pada calon Nyonya besar!""Terima kasih, Nyonya Besar!""Ah, jangan begitu. Kalian buat aku malu," jawab Vania dengan pipi tersipu. Namun, sudut matanya tetap terpaku pada Janice, seolah-olah ingin menegaskan dirinya sebagai pemilik Jason di depan semua orang.Janice menatapnya dengan ekspresi tenang, mengikuti rekan-rekan kerja lainnya dan pura-pura tertawa sopan. Dia bahkan tidak peduli pada Jason, apalagi pada gelar "calon nyonya besar" ini.Herisa tiba-tiba mendekat dan te
"Kalau begitu, lihat baik-baik siapa ini." Begitu Anwar selesai bicara, para pengawal menyeret Ivy masuk ke ruangan.Ivy didorong hingga tersungkur di samping tempat tidur. Janice bergegas turun dan membantunya berdiri.Namun, sebelum mereka berdiri dengan stabil, Elaine langsung menerjang ke depan dan menarik paksa kerah baju Ivy."Lihat ini, ini Nyonya Kedua Keluarga Karim. Masih ada tanda dari pria lain di tubuhnya. Pantas saja, dia bersembunyi. Kalau aku jadi dia, aku juga malu bertemu orang."Ivy berusaha sekuat tenaga untuk melawan, tetapi lukanya baru saja sembuh. Dia bukan tandingan Elaine. Janice akhirnya menarik kembali kerahnya dan membantunya merapikan pakaian.Wajah Ivy dipenuhi rasa hina, matanya memerah karena menahan emosi. "Elaine, kamu sudah keterlaluan."Elaine mencibir. "Aku keterlaluan? Setidaknya aku nggak mencari pria lain. Kamu berani bilang kalau wanita di foto ini bukan kamu?"Sambil berbicara, dia mengangkat foto-foto yang kotor itu.Ivy meliriknya sekilas, l
Janice tahu itu Landon, tetapi dalam mimpinya, dia selalu tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Pada akhirnya, dia memilih untuk membuka matanya, menatap kosong ke langit-langit yang putih bersih.Entah berapa lama kemudian, pintu kamar didorong oleh Arya. "Sudah sadar? Masih ada yang sakit nggak?""Aku baik-baik saja." Janice menopang tubuhnya, menggeleng pelan.Arya menggigit bibirnya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Kamu masih ingat apa yang terjadi?"Janice menunduk, lalu menjawab dengan tenang, "Maksudmu aku yang merasa diri sendiri pintar, tapi tetap saja dimanfaatkan, lalu berakhir melompat ke laut? Aku ingat, sangat jelas."Ekspresi Arya menegang. Dia buru-buru menjelaskan, "Bukan, sebenarnya dia ...."Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Janice sudah menyela, "Dokter Arya, kamu masih ingat apa yang kukatakan saat kita bertemu di bar? Aku akan mengulanginya lagi sekarang. Aku lebih baik mati bersama musuhku daripada diselamatkan olehnya.""Kamu nggak tahu, dem
Janice menutup matanya, merasakan tubuhnya jatuh dengan cepat sebelum akhirnya terhempas ke dalam laut yang sedingin es.Saat ini, dia tak lagi memiliki tenaga, bahkan tak ingin berusaha melawan. Dia membiarkan tubuhnya tenggelam ke dasar laut.Air laut menekan paru-parunya, rasa sesak yang mencekik perlahan-lahan membuat kesadarannya memudar.Tiba-tiba, ombak di atasnya bergejolak. Sebuah bayangan menerobos masuk ke air. Dia ingin sekali melihat dengan jelas siapa itu, tetapi tubuhnya sudah tak mampu bertahan.Lagi pula, mustahil itu Jason. Dari ketinggian seperti itu, dia tidak mungkin melompat.Sebelum kesadarannya sepenuhnya hilang, tubuhnya tiba-tiba dipeluk erat oleh seseorang. Sesaat kemudian, bibirnya ditahan oleh sesuatu.Seperti menemukan harapan terakhir, Janice langsung melingkarkan tangannya di leher orang itu. Tubuhnya mulai didorong ke permukaan air.Namun, tepat saat mereka hampir mencapai permukaan, orang yang memeluknya tiba-tiba melepaskannya. Janice mencoba menggapa
Thiago mengabaikan luka yang terus mengucurkan darah. Dengan penuh kegilaan, dia memutar setir dengan kasar, berusaha membuat mobil di atasnya terlempar.Janice terhantam dua kali sebelum berhasil mencengkeram kursi dan menstabilkan tubuhnya. Dia menarik napas dalam, lalu dengan sekuat tenaga menerjang ke depan, melingkarkan lengannya di leher Thiago dari belakang."Kamu begitu ingin mati? Aku akan mengabulkan keinginanmu!""Dasar jalang! Le ... lepaskan!"Wajah Thiago memerah, tetapi karena terlalu banyak kehilangan darah, bibirnya tampak pucat pasi. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya tanpa sadar memperlambat laju kendaraan.Jason memanfaatkan kesempatan itu untuk mengendalikan mobilnya dan turun dari atas. Dia lalu menabrakkan bagian depan mobilnya ke mobil Thiago, memaksa pria itu untuk berhenti.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Thiago semakin murka. Dengan kekuatan penuh, dia melepaskan cengkeraman Janice.Tubuh Janice membentur kursi dengan keras, membuatnya kesulitan
Langit di luar diselimuti awan hitam yang pekat, sementara angin laut menerpa tubuh Janice dengan keras. Cuaca dan pemandangan ini terasa begitu familier.Di kehidupan lampau, Ivy meninggal di tempat ini. Kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya. Siapa yang tahu bahwa tidak jauh dari lokasi kecelakaan, di dalam rumah itu, tersembunyi segala kebusukan.Tidak, ada seseorang yang tahu. Jason di kehidupan lampau.Saat ini, awan gelap menutupi langit. Laut yang luas terbentang seperti jurang yang siap menelan Janice kapan saja.Tiba-tiba, angin kencang dan hujan deras menerjang, sama seperti gejolak di hatinya yang tak bisa tenang.Matanya berkilat sedih. Di wajahnya, sudah tidak jelas lagi mana air hujan dan mana air mata. Dia berusaha mengendalikan tubuhnya, tetapi kakinya terasa berat.Detik berikutnya, tangan Thiago mencengkeram lehernya dan membantingnya ke tanah. "Aku akan membunuhmu sekarang juga, lalu melemparmu ke laut!"Wajah Janice memerah karena kekurangan oksigen. Dia bahkan ta
"Kamu menyukai kekerasan, tapi selalu merasa nggak pernah mencapai bentuk yang paling sempurna. Jadi, kamu terus bereksperimen, sampai suatu hari kamu mematahkan kaki pacarmu.""Kamu menyukai kecantikan yang cacat, tapi mereka tetap nggak bisa mencapai standar sempurnamu.""Hingga akhirnya, kamu bertemu dengan Rachel yang mengalami amputasi karena cedera. Dia menjadi dewi dalam hidupmu. Di hadapannya, kamu tampil sebagai pria sopan dan penuh perhatian. Tapi, ada seseorang yang terus menanamkan dalam pikiranmu kalau kamu nggak pantas untuknya."Mendengar ini, Thiago tiba-tiba berhenti. Matanya menatap Janice dengan penuh kecurigaan dan penilaian. "Dari mana kamu tahu?""Kamu pikir aku cuma tahu sejauh ini? Aku bahkan bisa memberitahumu apa yang terjadi selanjutnya, lalu kamu akan tahu gimana aku mengetahuinya." Janice sengaja membuatnya penasaran.Semua detail ini sebenarnya adalah informasi yang pernah diungkap oleh polisi di kehidupan sebelumnya.Thiago jelas tidak sabaran. Dia mengep
Benar, Janice sudah lama mengenali Thiago. Atau lebih tepatnya, mengenali dirinya dari kehidupan sebelumnya.Di kehidupan sebelumnya, Thiago dikenal sebagai pewaris keluarga kaya yang paling menakutkan. Karena sejak kecil, Thiago sudah memiliki sindrom XYY.Keluarga Tandiono selalu berusaha menutupi penyakitnya dengan uang, menyuap semua orang agar menutup mulut atas perbuatannya.Dia telah menyakiti banyak wanita. Beberapa bisa dibungkam dengan uang, sementara yang tidak bisa, keluarganya akan menekan mereka sampai hancur lebur.Hingga suatu hari, seorang anonim memberikan bukti lengkap, menangkap Thiago saat dia hendak berbuat kejahatan lagi.Saat itu, berita mengungkap beberapa detail. Misalnya, bagaimana dia mengurung para wanita itu.Jadi, sejak pertama kali bertemu Thiago, Janice sudah mulai belajar cara menyelamatkan diri. Namun setelah itu, investigasi lebih lanjut tidak pernah diumumkan lagi.Misalnya, siapa saja yang pernah menjadi korbannya. Atau hubungan antara dia dan Elai
Setelah tertegun selama beberapa detik, Janice menopang tubuhnya dengan lampu dan perlahan mendekati dinding foto.Yang terlihat adalah foto-foto kaki perempuan yang berbeda. Dari awalnya sekadar foto yang diambil secara diam-diam, lalu potongan anggota tubuh, hingga momen ketika Thiago sendiri memotong kaki mereka.Meskipun Janice sudah menyiapkan mentalnya, semua ini tetap membuat bulu kuduknya berdiri dan berkeringat dingin.Cahaya lampu di tangannya bergetar karena tangannya gemetar, membuat bayangan di foto-foto itu tampak semakin menyeramkan.Namun, dia tidak boleh mundur. Jika dia menyerah sekarang, semua yang telah dia lakukan akan sia-sia.Janice mendekatkan diri ke dinding foto, mencari petunjuk yang bisa digunakan. Saat mengarahkan cahaya ke sudut lain, dia melihat foto-foto lain di dinding sebelah. Kali ini, hanya ada satu orang dalam setiap gambar.Itu Rachel. Dari pertemuan pertama dengan Rachel hingga saat ini, Thiago mendokumentasikan setiap gerak-geriknya. Setiap foto
Saat Janice terbangun, sekelilingnya gelap gulita. Bau anyir darah bercampur dengan aroma asin dan lembap memenuhi udara. Setiap tarikan napas membuatnya ingin muntah."Huek ...." Akhirnya, dia tidak bisa menahannya. Sambil menopang pada sesuatu, dia mulai terbatuk dan muntah.Setelah akhirnya mulai tenang, dia baru sadar bahwa yang digenggamnya adalah jeruji besi. Selain itu, di telapak tangannya ada sesuatu yang lengket. Ujung jarinya gemetar. Dia refleks melepaskan genggamannya.Tiba-tiba, lampu redup di atas kepalanya menyala, cukup untuk menerangi area di sekitarnya. Begitu melihat kondisi sekelilingnya, dadanya terasa sesak. Dia terkunci di dalam ruang sempit seperti sel penjara.Dalam kepanikan, Janice menatap telapak tangannya. Yang lengket itu adalah darah! Dia terkejut hingga membeku di tempat.Saat itu juga, dari balik bayangan di luar jeruji, terdengar suara berat. "Sudah kubilang, kamu nggak akan bisa lari."Suara itu disertai langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian, soso