Janice sudah pernah mengalami kekejaman Vania di kehidupan sebelumnya. Vania sangat ahli dalam memerankan dua kepribadian dengan sangat sempurna. Di masa lalu, Janice akan melakukan segalanya untuk menjelaskan diri. Namun sekarang, dia menyadari bahwa menghadapi Vania tidak perlu repot-repot.Gila-gilaan saja sudah cukup.Janice meletakkan ponselnya, lalu mengambil teko kopi yang masih panas, dan berbalik dengan cepat."Mulutmu busuk sekali, belum cukup kena air panas ya? Bu Vania mau coba gimana rasanya disiksa orang gila di sini?""Aku cuma kehilangan gaji. Tapi kamu? Kamu bakal kehilangan harga diri, kehormatan keluargamu, dan harga diri Jason. Kamu berani mengambil risiko itu?"Seperti yang diduga, begitu melihat teko kopi, otot di wajah Vania refleks menegang. Bahkan, riasannya yang tebal tampak hampir retak.Dia segera mundur dua langkah dan tatapannya berubah tajam. "Janice, jangan terlalu percaya diri! Kamu pikir kamu bisa menang? Pada akhirnya, Jason tetap berpihak padaku. Sem
Herisa terlihat cemas, lalu berbisik, "Ini ... ini nggak apa-apa? Bukannya anggur Pak Jason sangat mahal?"Vania tersenyum santai, seolah tidak peduli. "Jason sering bawa aku ke sini. Dia selalu bilang aku boleh ambil apa saja yang aku suka. Aku juga nggak terlalu tahu harganya. Tapi aku pernah nggak sengaja menjatuhkan sebotol, katanya harganya ratusan juta. Jason juga nggak marah, dia malah khawatir aku terluka.""Wah, kenapa jadi malah pamer kemesraan?" Seorang rekan bercanda. "Ayo, semua, ucapkan terima kasih pada calon Nyonya besar!""Terima kasih, Nyonya Besar!""Ah, jangan begitu. Kalian buat aku malu," jawab Vania dengan pipi tersipu. Namun, sudut matanya tetap terpaku pada Janice, seolah-olah ingin menegaskan dirinya sebagai pemilik Jason di depan semua orang.Janice menatapnya dengan ekspresi tenang, mengikuti rekan-rekan kerja lainnya dan pura-pura tertawa sopan. Dia bahkan tidak peduli pada Jason, apalagi pada gelar "calon nyonya besar" ini.Herisa tiba-tiba mendekat dan te
Ketika Jason membawa Vania pergi, Vania yang bersandar di bahunya sempat melirik tajam ke arah Janice dengan penuh kebencian. Janice hanya menghela napas, tahu bahwa Vania pasti menyimpan dendam lagi.Dia lalu menoleh dengan bingung ke arah Herisa. "Kamu ngomong apa tadi?"Herisa yang wajahnya sudah memerah karena mabuk, buru-buru menjawab, "Janice, maaf ya, aku mabuk dan cuma bercanda tadi. Jangan dimasukkan ke hati."Janice memandangnya sejenak, tetapi karena tahu Herisa benar-benar sudah minum banyak, dia hanya menekan perasaan tidak nyamannya dan tidak berkomentar lagi. Pesta makan malam terus berlanjut dan semakin banyak orang mulai bersikap lebih santai setelah menenggak beberapa gelas anggur.Herisa berdiri dengan langkah yang tidak stabil sambil mengangkat gelasnya. "Aku baru saja bergabung, jadi aku mau bersulang untuk semua senior di sini."Setelah itu, dia menenggak minumannya hingga habis dalam satu tegukan dan menunjukkan gelas kosongnya kepada semua orang.Semua mata kem
Norman mengangguk. "Silakan," katanyaVania turun dari mobil dan berjalan menuju The Ivy Garden.....Janice keluar dari ruang makan dan berjalan di sepanjang lorong. Angin malam yang sejuk berembus, membuat kepalanya semakin pusing karena mabuk. Mabuknya semakin berat dan dia terpaksa berjalan dengan bertumpu pada tiang sambil mengandalkan naluri untuk menemukan jalan keluar.Saat berjalan, Janice teringat bahwa sepertinya dia harus berbelok di suatu tempat. Karena itu, dia pun langsung berputar. Namun, dia salah memperkirakan langkahnya dan terpeleset di tangga. Tubuhnya refleks terjatuh ke depan."Byur!" Dalam sekejap, tubuhnya basah kuyup. Air yang dingin mengguyurnya, sehingga membuatnya tersadar dari mabuk.Janice baru menyadari bahwa dirinya telah jatuh ke kolam. Airnya hanya setinggi dada, tetapi rasa malu membuat wajahnya terasa panas. Dia berusaha menuju tepi kolam dan menaiki anak tangga di sisi kolam dengan perlahan. Tepat di samping kolam itu, terdapat jendela kaca besar y
Mata Janice membelalak ketika menatap pria di depannya. Dia menyaksikan pria itu mengangkat kedua tangannya, menarik kerah bagian belakang, dan melepas sweter yang dikenakannya dengan satu gerakan cepat. Tubuh kekarnya yang tersembunyi di balik pakaian pun terlihat jelas.Saat kedua lengannya terangkat, otot-otot di pinggang dan perutnya ikut tertarik, lalu menampilkan guratan yang tegas tanpa sedikit pun lemak berlebih. Melihat ini, Janice tertegun di tempat. Tiba-tiba, sebuah sweter dilemparkan ke arahnya.Jason bersandar santai di meja. Matanya yang penuh godaan menyapu wajah Janice, lalu dia bertanya, "Malam itu, kamu belum puas lihatnya? Kalau nggak mau sakit, cepat pakai ini di dalam."Wajah Janice memerah seketika. Dia meraih sweter itu dan buru-buru masuk ke bilik kecil, lalu menarik tirainya untuk menutup diri.Setelah itu, suasana menjadi sunyi. Tak ada suara percakapan, hanya terdengar desiran kecil dari Janice yang sedang melepas bajunya di dalam bilik.Sementara itu, Jason
Ciuman yang mendominasi terjadi begitu saja, tanpa memberi Janice kesempatan untuk melawan. Bibir mereka saling menempel erat. Jason menyapu habis aroma anggur yang masih tersisa di setiap sudut bibir Janice.Janice mengangkat tangan dan berusaha mendorong dadanya. Begitu telapak tangannya menyentuh kulit pria itu, dia bisa merasakan napasnya terhenti sejenak, lalu ciumannya menjadi makin dalam dan agresif.Namun, itu masih belum cukup. Setelah merasakan kenikmatannya, siapa yang rela menahan diri? Jason juga hanyalah seorang pria.Janice tiba-tiba diangkat dan didudukkan di atas meja anggur. Sweter yang dikenakannya terangkat dan memperlihatkan kulit kakinya yang putih dan halus. Tangan Jason mulai menyentuh kulitnya.Janice sedang berpikir keras cara untuk mendorongnya, lalu ponsel pria itu tiba-tiba berdering. Jason menopang tubuhnya dengan kesal dan menatap sekilas layar ponsel, lalu mengangkatnya. Dia bertanya, "Kenapa, Norman?"Norman memberi tahu, "Pak Jason, Nona Vania terpeles
Janice memandang Vania yang mendekat tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Dia duduk lebih tegak dan melirik tangan Vania yang terluka, lalu mencibir dingin.Janice bertanya, "Sudah selesai bicara? Aku sampai heran. Padahal kamu sudah terluka begini, tapi masih sempat-sempatnya datang ke sini untuk ngobrol denganku.""Bukannya ini sama sekali nggak cocok dengan citra lemah lembut yang kamu ciptakan? Di saat seperti ini, kamu harusnya terbaring di ranjang sambil menangis," sindir Janice. Dia mengejek kepalsuan yang dipertontonkan Vania.Wajah Vania menegang. Bibirnya bergetar saat dia menggertakkan gigi. Dia akhirnya membalas, "Aku nggak sepandai kamu dalam berpura-pura."Vania menambahkan, "Di depan orang lain, kamu berpura-pura mau jaga jarak sama Jason, tapi di belakang kamu malah terus menggodanya. Trik jual mahal ini benar-benar sudah kamu mainkan dengan sempurna.""Kenapa? Mau belajar dariku?" jawab Janice sambil tersenyum.Wajah Vania memerah karena amarah yang ditahan. Di pikirann
Vania memang orang seperti itu. Dia selalu mencampurkan kebohongan dengan kebenaran dan memerankannya dengan penuh emosi sehingga terkesan begitu nyata.Vania sengaja menyebut bahwa Janice memiliki rencana sehingga Jason secara alami akan mengaitkannya dengan kejadian di gudang anggur.Janice pernah memiliki reputasi buruk karena insiden memasukkan obat tidur ke minuman untuk mencoba mendekati Jason. Itu sebabnya, pria itu akan dengan mudah mencurigai bahwa mabuk dan tercebur ke kolam pun hanyalah akting Janice.Jason adalah orang yang sangat mudah curiga dan berbahaya. Begitu keraguan muncul, dia cenderung langsung menolak seseorang sepenuhnya. Di kehidupan sebelumnya, Janice dipojokkan oleh Vania dengan cara seperti ini selangkah demi selangkah.Setelah mendengar cerita Vania, Jason yang sedang melindunginya pun menunjukkan ekspresi dingin yang menakutkan.Saat itu di belakang Jason, ada dua orang lainnya, yaitu Anwar dan Amanda yang baru saja kembali dari perjalanan dinas. Keduanya
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan