Janice memendam wajahnya ke dalam bantal sofa, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Saat itu, ponselnya berbunyi. Itu panggilan dari Ivy."Janice, gimana hari ini?" Suara Ivy terdengar ceria, dengan nada yang penuh arti."Buruk," jawab Janice sambil menarik napas panjang."Nggak mungkin, bukannya Jason sudah membantumu?""Ibu, apa punggungmu sudah nggak sakit lagi?" Janice membalas dengan nada kesal. "Sudah kubilang sebelumnya, jangan coba-coba menjodohkan kami. Kami nggak akan pernah bersama.""Bukan aku! Dia yang bilang ....""Bu, berhentilah. Nggak ada gunanya," kata Janice dengan nada tegas.Ivy menghela napas pelan. "Baiklah, aku mengerti. Aku cuma berharap kalian bisa bicara baik-baik."Sebagai ibu Janice, Ivy tentu bisa melihat dengan jelas bahwa Janice selalu sengaja melawan Jason. Namun ... orang itu adalah Jason!Bahkan sebagai iparnya, Ivy selalu merasa harus merendahkan diri di hadapan Jason. Mana mungkin Janice bisa menghadapinya? Dia hanya takut hubungan Janice dan
Melihat wajah Vania yang pucat, Risma buru-buru mengambil ponsel yang jatuh dan menempelkannya ke telinga."Ah! Aku salah! Aku nggak berani lagi! Bu Vania, tolong aku!""Selamatkan aku, Bu Vania! Kalau nggak, aku akan menghantuimu setelah mati!"Suara jeritan beberapa pria terdengar sangat menyeramkan. Risma yang ketakutan langsung mematikan panggilan itu. Dia memijat pelipisnya sambil berkata, "Suara itu sepertinya ...."Vania menjawab dengan lemah, "Kepala asrama dan tiga preman itu .... Jason sudah tahu semuanya!""Tenanglah." Risma mencoba menenangkan Vania, tapi dia malah didorong keras oleh putrinya.Vania yang biasanya lembut dan anggun, sekarang terlihat seperti orang gila. Dia berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan ekspresi penuh kemarahan. "Bagaimana aku bisa tenang? Dia menyuruhku menahan diri! Gimana aku bisa menahan diri?"Karena khawatir akan ada yang melihat keadaan putrinya, Risma segera bangkit menutup pintu ruang tamu, lalu menarik Vania untuk duduk."Jason pergi
Di saat semua orang tidak memperhatikan, sebuah sosok berjalan keluar. Vania meliriknya sekilas, lalu tersenyum semakin lebar.....Di meja resepsionis, Malia sedang menatap undangan di tangannya.Kertas dengan ukiran mewah itu dipercantik dengan taburan serbuk emas, memberikan kesan kemewahan yang begitu berlebihan. Sebuah kemewahan yang tidak akan pernah bisa dia raih dalam hidupnya.Saat itu, suara seorang wanita terdengar dari seberang meja. "Iri sekali, ya?"Malia mendongak dan melihat Herisa yang memandangnya dengan senyum sinis."Kamu? Untuk apa kamu ke sini?" Malia bertanya dengan nada penuh kewaspadaan.Herisa mendekat, menunjuk undangan di tangan Malia. "Seekor anjing nggak akan pernah bisa menggantikan majikannya.""Jangan bicara sembarangan!" Malia langsung meradang."Kenapa? Panik? Apa aku salah bicara?" Herisa semakin memperlebar senyumnya dengan penuh ejekan.Mendengar hal itu, Malia mundur selangkah dengan hati-hati, ekspresinya berubah semakin tegang."Apa yang sebenar
Di ruang istirahat.Janice sedang mengelap noda anggur di gaunnya dengan handuk kecil ketika Malia mendekat dan menyodorkan sebuah kantong pakaian."Janice, aku kebetulan bawa pakaian cadangan. Ukuran kita hampir sama, kamu bisa pakai ini saja dulu," ujar Malia sambil tersenyum.Janice melirik logo pada kantong itu dan berkata, "Malia, kamu kaya mendadak? Pakaian dari toko ini harganya nggak ada yang kurang dari puluhan juta."Malia tampak sedikit terkejut sebelum menjawab dengan cepat, "Baru saja gajian. Aku mau menghadiahi diri sendiri. Lagian, ini pekerjaan formal pertamaku.""Begitu ya. Tapi aku merasa nggak enak minjam pakaian barumu. Lagi pula, aku bukan tokoh utama di sini. Pakai ini saja sudah cukup, nggak perlu ganti."Janice sengaja mendorong kantong itu kembali ke tangan Malia. Sejenak, ekspresi panik melintas di mata Malia. Namun, dia buru-buru memaksakan senyumnya, lalu menyelipkan kantong itu kembali ke pelukan Janice."Janice, kita ini sahabat baik. Kenapa harus hitung-h
Gaun tanpa lengan itu melekat sempurna di tubuh Janice, menonjolkan lekuk tubuhnya yang sempurna, seolah-olah pakaian itu dirancang khusus untuknya. Lengannya yang putih mulus menambah pesona pada penampilannya.Meskipun hanya bagian lengannya yang terlihat, auranya yang memikat terasa begitu kuat. Menyadari tatapan iri Malia, Janice sengaja merapikan gaun di hadapan wanita itu."Malia, pakaianmu ini terlalu ketat untukku."Janice teringat kejadian di kehidupan sebelumnya. Setelah dirinya terpuruk dan dihina habis-habisan, Malia bahkan tidak repot-repot menyembunyikan jati dirinya. Dia terang-terangan menginjak-injak Janice yang sudah tersungkur."Jangan salahkan aku. Siapa suruh kamu selalu lebih baik dari aku? Katanya kita sahabat, tapi kenapa kamu bisa langsung melesat menikah sama Pak Jason?""Aku kasih tahu ya, semua yang terjadi padamu adalah rencanaku dan Vania. Sekarang Jason bahkan muak melihatmu. Sebaiknya kamu mati saja!"Jika Malia begitu iri hati, maka biarlah dia hidup de
Begitu memasuki ruangan, Janice segera menyadari bahwa Malia yang tadi mengikutinya telah menghilang.Malia mungkin sengaja menghindar karena takut berhadapan langsung dengannya. Dia lebih memilih untuk muncul belakangan, berpura-pura berperan sebagai "sahabat baik" yang siap menyalahkan Janice saat situasi memburuk.Namun, ada satu hal yang Malia lupakan. Tanpa kehadirannya, Janice bebas mengarang sesuai keinginannya. Janice tersenyum sopan kepada suami Amanda. "Terima kasih, tapi saya merasa tetap perlu memberikan penjelasan."Suami Amanda melirik istrinya dengan cemas, lalu buru-buru berkata, "Nggak perlu dijelaskan, aku percaya padamu."Pernyataannya itu justru menimbulkan lebih banyak spekulasi di benak orang-orang."Nggak," Janice menjawab dengan lembut. "Saya bukan menjelaskan kepada Anda, tapi kepada Bu Amanda." Dia menatap Amanda dengan wajah memerah. "Gaun yang kupakai ini ... adalah imitasi."Orang-orang langsung terkejut mendengarnya.Janice melanjutkan dengan nada penuh ra
"Pakaian yang kamu beli sama dengan punya Amanda. Gimana kalau dia mengira kamu sengaja menantangnya? Itu sebabnya aku bilang pakaianmu ini imitasi. Aku sebenarnya lagi bantu kamu. Kalau kamu nggak suka, kita bisa pergi sekarang dan menjelaskan semuanya sama Amanda."Janice tahu Malia tidak akan berani mengambil risiko seperti itu.Benar saja, setelah beberapa detik terdiam, Malia mengubah nada bicaranya. "Janice, perutku rasanya nggak enak. Kamu bisa pergi ke resepsionis dan ambilkan obat untukku? Bawa ke ruang istirahat nomor 6, ya?""Oke, tunggu sebentar," jawab Janice dengan tenang."Iya, tolong cepat ya. Perutku benar-benar sakit," desak Malia."Ya, aku segera ke sana."Setelah menutup telepon, Janice berbalik dan berjalan keluar dari aula pesta.....Di sisi lainSera yang berdiri tidak jauh dari sana, menunggu momen saat Vania sibuk berbicara dengan teman-temannya. Dia lalu mendekati Jason dengan segelas anggur di tangan.Sambil mengangkat gelasnya, dia memberi isyarat kepada Ja
Janice terkejut dengan tindakan Jason yang semakin tidak terkendali. Semakin keras dia berusaha melawan, Jason terlihat semakin menikmati situasi ini.Akhirnya, gaun Janice perlahan melorot dari bahunya. Dalam kepanikan, dia berusaha menutupi tubuhnya, tapi Jason telah mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.Tangan lainnya mencengkeram dagu Janice dengan lembut. Dia mendekatkan wajah mereka dan mencium Janice. Janice tidak kuasa menahan erangan kecil yang keluar dari bibirnya. Meski demikian, dia tetap menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menolak ciuman Jason yang lebih dalam.Mendengar suara tertahan itu, Jason malah semakin kehilangan kendali. Melihat wajah Janice yang merah merona dan penuh emosi, Jason menggigit bibirnya dengan lembut.Saat Janice tertegun sejenak, Jason berhasil menguasai bibirnya.Melalui pakaiannya, Jason bisa merasakan kehangatan kulit Janice. Namun baginya, itu masih belum cukup ....Janice merasa sulit bernapa
"Kalau begitu, lihat baik-baik siapa ini." Begitu Anwar selesai bicara, para pengawal menyeret Ivy masuk ke ruangan.Ivy didorong hingga tersungkur di samping tempat tidur. Janice bergegas turun dan membantunya berdiri.Namun, sebelum mereka berdiri dengan stabil, Elaine langsung menerjang ke depan dan menarik paksa kerah baju Ivy."Lihat ini, ini Nyonya Kedua Keluarga Karim. Masih ada tanda dari pria lain di tubuhnya. Pantas saja, dia bersembunyi. Kalau aku jadi dia, aku juga malu bertemu orang."Ivy berusaha sekuat tenaga untuk melawan, tetapi lukanya baru saja sembuh. Dia bukan tandingan Elaine. Janice akhirnya menarik kembali kerahnya dan membantunya merapikan pakaian.Wajah Ivy dipenuhi rasa hina, matanya memerah karena menahan emosi. "Elaine, kamu sudah keterlaluan."Elaine mencibir. "Aku keterlaluan? Setidaknya aku nggak mencari pria lain. Kamu berani bilang kalau wanita di foto ini bukan kamu?"Sambil berbicara, dia mengangkat foto-foto yang kotor itu.Ivy meliriknya sekilas, l
Janice tahu itu Landon, tetapi dalam mimpinya, dia selalu tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Pada akhirnya, dia memilih untuk membuka matanya, menatap kosong ke langit-langit yang putih bersih.Entah berapa lama kemudian, pintu kamar didorong oleh Arya. "Sudah sadar? Masih ada yang sakit nggak?""Aku baik-baik saja." Janice menopang tubuhnya, menggeleng pelan.Arya menggigit bibirnya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Kamu masih ingat apa yang terjadi?"Janice menunduk, lalu menjawab dengan tenang, "Maksudmu aku yang merasa diri sendiri pintar, tapi tetap saja dimanfaatkan, lalu berakhir melompat ke laut? Aku ingat, sangat jelas."Ekspresi Arya menegang. Dia buru-buru menjelaskan, "Bukan, sebenarnya dia ...."Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Janice sudah menyela, "Dokter Arya, kamu masih ingat apa yang kukatakan saat kita bertemu di bar? Aku akan mengulanginya lagi sekarang. Aku lebih baik mati bersama musuhku daripada diselamatkan olehnya.""Kamu nggak tahu, dem
Janice menutup matanya, merasakan tubuhnya jatuh dengan cepat sebelum akhirnya terhempas ke dalam laut yang sedingin es.Saat ini, dia tak lagi memiliki tenaga, bahkan tak ingin berusaha melawan. Dia membiarkan tubuhnya tenggelam ke dasar laut.Air laut menekan paru-parunya, rasa sesak yang mencekik perlahan-lahan membuat kesadarannya memudar.Tiba-tiba, ombak di atasnya bergejolak. Sebuah bayangan menerobos masuk ke air. Dia ingin sekali melihat dengan jelas siapa itu, tetapi tubuhnya sudah tak mampu bertahan.Lagi pula, mustahil itu Jason. Dari ketinggian seperti itu, dia tidak mungkin melompat.Sebelum kesadarannya sepenuhnya hilang, tubuhnya tiba-tiba dipeluk erat oleh seseorang. Sesaat kemudian, bibirnya ditahan oleh sesuatu.Seperti menemukan harapan terakhir, Janice langsung melingkarkan tangannya di leher orang itu. Tubuhnya mulai didorong ke permukaan air.Namun, tepat saat mereka hampir mencapai permukaan, orang yang memeluknya tiba-tiba melepaskannya. Janice mencoba menggapa
Thiago mengabaikan luka yang terus mengucurkan darah. Dengan penuh kegilaan, dia memutar setir dengan kasar, berusaha membuat mobil di atasnya terlempar.Janice terhantam dua kali sebelum berhasil mencengkeram kursi dan menstabilkan tubuhnya. Dia menarik napas dalam, lalu dengan sekuat tenaga menerjang ke depan, melingkarkan lengannya di leher Thiago dari belakang."Kamu begitu ingin mati? Aku akan mengabulkan keinginanmu!""Dasar jalang! Le ... lepaskan!"Wajah Thiago memerah, tetapi karena terlalu banyak kehilangan darah, bibirnya tampak pucat pasi. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya tanpa sadar memperlambat laju kendaraan.Jason memanfaatkan kesempatan itu untuk mengendalikan mobilnya dan turun dari atas. Dia lalu menabrakkan bagian depan mobilnya ke mobil Thiago, memaksa pria itu untuk berhenti.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Thiago semakin murka. Dengan kekuatan penuh, dia melepaskan cengkeraman Janice.Tubuh Janice membentur kursi dengan keras, membuatnya kesulitan
Langit di luar diselimuti awan hitam yang pekat, sementara angin laut menerpa tubuh Janice dengan keras. Cuaca dan pemandangan ini terasa begitu familier.Di kehidupan lampau, Ivy meninggal di tempat ini. Kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya. Siapa yang tahu bahwa tidak jauh dari lokasi kecelakaan, di dalam rumah itu, tersembunyi segala kebusukan.Tidak, ada seseorang yang tahu. Jason di kehidupan lampau.Saat ini, awan gelap menutupi langit. Laut yang luas terbentang seperti jurang yang siap menelan Janice kapan saja.Tiba-tiba, angin kencang dan hujan deras menerjang, sama seperti gejolak di hatinya yang tak bisa tenang.Matanya berkilat sedih. Di wajahnya, sudah tidak jelas lagi mana air hujan dan mana air mata. Dia berusaha mengendalikan tubuhnya, tetapi kakinya terasa berat.Detik berikutnya, tangan Thiago mencengkeram lehernya dan membantingnya ke tanah. "Aku akan membunuhmu sekarang juga, lalu melemparmu ke laut!"Wajah Janice memerah karena kekurangan oksigen. Dia bahkan ta
"Kamu menyukai kekerasan, tapi selalu merasa nggak pernah mencapai bentuk yang paling sempurna. Jadi, kamu terus bereksperimen, sampai suatu hari kamu mematahkan kaki pacarmu.""Kamu menyukai kecantikan yang cacat, tapi mereka tetap nggak bisa mencapai standar sempurnamu.""Hingga akhirnya, kamu bertemu dengan Rachel yang mengalami amputasi karena cedera. Dia menjadi dewi dalam hidupmu. Di hadapannya, kamu tampil sebagai pria sopan dan penuh perhatian. Tapi, ada seseorang yang terus menanamkan dalam pikiranmu kalau kamu nggak pantas untuknya."Mendengar ini, Thiago tiba-tiba berhenti. Matanya menatap Janice dengan penuh kecurigaan dan penilaian. "Dari mana kamu tahu?""Kamu pikir aku cuma tahu sejauh ini? Aku bahkan bisa memberitahumu apa yang terjadi selanjutnya, lalu kamu akan tahu gimana aku mengetahuinya." Janice sengaja membuatnya penasaran.Semua detail ini sebenarnya adalah informasi yang pernah diungkap oleh polisi di kehidupan sebelumnya.Thiago jelas tidak sabaran. Dia mengep
Benar, Janice sudah lama mengenali Thiago. Atau lebih tepatnya, mengenali dirinya dari kehidupan sebelumnya.Di kehidupan sebelumnya, Thiago dikenal sebagai pewaris keluarga kaya yang paling menakutkan. Karena sejak kecil, Thiago sudah memiliki sindrom XYY.Keluarga Tandiono selalu berusaha menutupi penyakitnya dengan uang, menyuap semua orang agar menutup mulut atas perbuatannya.Dia telah menyakiti banyak wanita. Beberapa bisa dibungkam dengan uang, sementara yang tidak bisa, keluarganya akan menekan mereka sampai hancur lebur.Hingga suatu hari, seorang anonim memberikan bukti lengkap, menangkap Thiago saat dia hendak berbuat kejahatan lagi.Saat itu, berita mengungkap beberapa detail. Misalnya, bagaimana dia mengurung para wanita itu.Jadi, sejak pertama kali bertemu Thiago, Janice sudah mulai belajar cara menyelamatkan diri. Namun setelah itu, investigasi lebih lanjut tidak pernah diumumkan lagi.Misalnya, siapa saja yang pernah menjadi korbannya. Atau hubungan antara dia dan Elai
Setelah tertegun selama beberapa detik, Janice menopang tubuhnya dengan lampu dan perlahan mendekati dinding foto.Yang terlihat adalah foto-foto kaki perempuan yang berbeda. Dari awalnya sekadar foto yang diambil secara diam-diam, lalu potongan anggota tubuh, hingga momen ketika Thiago sendiri memotong kaki mereka.Meskipun Janice sudah menyiapkan mentalnya, semua ini tetap membuat bulu kuduknya berdiri dan berkeringat dingin.Cahaya lampu di tangannya bergetar karena tangannya gemetar, membuat bayangan di foto-foto itu tampak semakin menyeramkan.Namun, dia tidak boleh mundur. Jika dia menyerah sekarang, semua yang telah dia lakukan akan sia-sia.Janice mendekatkan diri ke dinding foto, mencari petunjuk yang bisa digunakan. Saat mengarahkan cahaya ke sudut lain, dia melihat foto-foto lain di dinding sebelah. Kali ini, hanya ada satu orang dalam setiap gambar.Itu Rachel. Dari pertemuan pertama dengan Rachel hingga saat ini, Thiago mendokumentasikan setiap gerak-geriknya. Setiap foto
Saat Janice terbangun, sekelilingnya gelap gulita. Bau anyir darah bercampur dengan aroma asin dan lembap memenuhi udara. Setiap tarikan napas membuatnya ingin muntah."Huek ...." Akhirnya, dia tidak bisa menahannya. Sambil menopang pada sesuatu, dia mulai terbatuk dan muntah.Setelah akhirnya mulai tenang, dia baru sadar bahwa yang digenggamnya adalah jeruji besi. Selain itu, di telapak tangannya ada sesuatu yang lengket. Ujung jarinya gemetar. Dia refleks melepaskan genggamannya.Tiba-tiba, lampu redup di atas kepalanya menyala, cukup untuk menerangi area di sekitarnya. Begitu melihat kondisi sekelilingnya, dadanya terasa sesak. Dia terkunci di dalam ruang sempit seperti sel penjara.Dalam kepanikan, Janice menatap telapak tangannya. Yang lengket itu adalah darah! Dia terkejut hingga membeku di tempat.Saat itu juga, dari balik bayangan di luar jeruji, terdengar suara berat. "Sudah kubilang, kamu nggak akan bisa lari."Suara itu disertai langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian, soso