Janice merasa wajahnya memanas mendengar ucapan ibu penjaga tadi. Dia berusaha menjelaskan, "Bu, bukan begitu ...."Namun, Jason berjalan menaiki tangga dengan membawa Janice bersamanya, sehingga suaranya hilang setelah mereka berada di lantai atas. Janice melirik Jason dengan curiga. Apakah tadi dia melihat ada sekilas senyuman di mata pria itu? Namun, saat dia memperhatikan lebih dekat, tatapan Jason tetap dingin dan serius seperti biasanya.Tentu saja, itu hanya ilusi.Saat mereka sampai di lantai berikutnya, Janice mulai meronta pelan. "Paman, turunkan aku. Aku bisa jalan sendiri. Lagi pula, kamarku cukup tinggi."Jason tidak berkata apa-apa, melainkan tetap melanjutkan langkahnya ke atas. Janice berpikir keras, lalu menunjuk ke arah lantai paling atas. "Aku tinggal di lantai enam. Kamu pasti capek kalau harus naik setinggi itu.""Tiga."Janice terkejut. "Kenapa kamu tahu?"Jason berhenti sejenak, tatapannya semakin tajam saat memandang Janice. "Menurutmu?"Janice memekik, "Kamu se
Janice terkejut dengan sisi Jason yang asing ini. Napasnya memburu saat dia mencoba mendorong Jason menjauh. Namun, Jason menangkap pergelangan tangannya. Jari-jarinya menggosok bagian bekas luka bakar yang sudah sembuh di pergelangan itu."Sudah sembuh?" tanyanya dengan nada malas.Janice memalingkan wajahnya karena enggan menjawab. Jason mengangkat tangannya, memaksa wajah Janice kembali menghadapnya, dan mencubitnya dengan pelan."Bisa bicara baik-baik sekarang?" tanyanya."Paman, kamu lupa? Aku itu keras kepala," balas Janice dengan nada kesal.Jason menopang kedua tangannya di meja, lalu menundukkan kepala sambil menahan tawa di tenggorokannya. "Kalau aku bicara baik-baik, kamu nggak mau dengar. Tapi omongan beginian malah kamu ingat dengan jelas."Nada suaranya kali ini ringan, bahkan membawa kesan santai yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.Janice bingung harus menjawab apa. Padahal, suasana di antara mereka tadinya terasa sangat tegang. Dia menundukkan matanya, memilih u
Jason berdiri di depan kepala asrama untuk menghalangi langkahnya. "Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin.Kepala asrama langsung berubah menjadi lebih segan. "Pak Jason, begini, gedung ini rencananya akan direnovasi untuk digunakan oleh mahasiswa baru angkatan berikutnya. Tapi Janice belum juga pindah. Aku tahu, dia ini perempuan dan mungkin sulit untuk memindahkan barang-barangnya, jadi aku panggil tiga satpam untuk membantunya."Dia tersenyum dengan munafik, tapi tidak berani menatap Jason secara langsung, terutama saat menyebutkan tiga satpam tadi. Nada bicaranya terdengar lemah, menunjukkan ada sesuatu yang dia sembunyikan.Sepertinya dia tahu identitas asli ketiga satpam itu. Namun, kenapa dia melakukan hal seperti ini? Janice baru saja ingin bertanya tentang identitas ketiga pria tersebut, tapi Jason memotongnya."Nona kedua Keluarga Karim nggak perlu minta bantuan orang lain," ucap Jason dengan nada dingin."Apa? Nona kedua?" Kepala asrama terkejut hingga membelalakkan matanya.
Begitu mobil tiba di depan apartemen, ponsel Jason berdering. Janice mendengar suara dering itu dan meliriknya sejenak. Seperti yang dia duga, panggilan itu dari Vania.Setelah kepala asrama dan para satpam gagal, kini Vania tidak sabaran untuk ikut campur. Tidak akan ada yang percaya jika mengatakan bahwa Vania tidak terlibat dalam masalah ini. Namun, Jason mungkin percaya.Saat panggilan diangkat, terdengar suara Vania yang penuh terisak di ujung telepon. Janice duduk di dekat jendela, jadi dia tidak mendengar dengan jelas. Dia hanya bisa menangkap nada suara bicara Vania yang seolah-olah sangat tersiksa.Jason berkata dengan nada lembut, "Aku akan segera datang."Saat itu, mobil baru saja berhenti. Janice yang tidak ingin mendengar lebih jauh lagi, langsung membuka pintu dan keluar. Namun, Jason menahan tangannya. "Aku ada urusan, jadi nggak bisa turun. Aku akan suruh sopir untuk bantu kamu pindahin barang-barang.""Oke," jawab Janice singkat sambil melepaskan tangannya dengan agak
Janice memendam wajahnya ke dalam bantal sofa, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Saat itu, ponselnya berbunyi. Itu panggilan dari Ivy."Janice, gimana hari ini?" Suara Ivy terdengar ceria, dengan nada yang penuh arti."Buruk," jawab Janice sambil menarik napas panjang."Nggak mungkin, bukannya Jason sudah membantumu?""Ibu, apa punggungmu sudah nggak sakit lagi?" Janice membalas dengan nada kesal. "Sudah kubilang sebelumnya, jangan coba-coba menjodohkan kami. Kami nggak akan pernah bersama.""Bukan aku! Dia yang bilang ....""Bu, berhentilah. Nggak ada gunanya," kata Janice dengan nada tegas.Ivy menghela napas pelan. "Baiklah, aku mengerti. Aku cuma berharap kalian bisa bicara baik-baik."Sebagai ibu Janice, Ivy tentu bisa melihat dengan jelas bahwa Janice selalu sengaja melawan Jason. Namun ... orang itu adalah Jason!Bahkan sebagai iparnya, Ivy selalu merasa harus merendahkan diri di hadapan Jason. Mana mungkin Janice bisa menghadapinya? Dia hanya takut hubungan Janice dan
Melihat wajah Vania yang pucat, Risma buru-buru mengambil ponsel yang jatuh dan menempelkannya ke telinga."Ah! Aku salah! Aku nggak berani lagi! Bu Vania, tolong aku!""Selamatkan aku, Bu Vania! Kalau nggak, aku akan menghantuimu setelah mati!"Suara jeritan beberapa pria terdengar sangat menyeramkan. Risma yang ketakutan langsung mematikan panggilan itu. Dia memijat pelipisnya sambil berkata, "Suara itu sepertinya ...."Vania menjawab dengan lemah, "Kepala asrama dan tiga preman itu .... Jason sudah tahu semuanya!""Tenanglah." Risma mencoba menenangkan Vania, tapi dia malah didorong keras oleh putrinya.Vania yang biasanya lembut dan anggun, sekarang terlihat seperti orang gila. Dia berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan ekspresi penuh kemarahan. "Bagaimana aku bisa tenang? Dia menyuruhku menahan diri! Gimana aku bisa menahan diri?"Karena khawatir akan ada yang melihat keadaan putrinya, Risma segera bangkit menutup pintu ruang tamu, lalu menarik Vania untuk duduk."Jason pergi
Di saat semua orang tidak memperhatikan, sebuah sosok berjalan keluar. Vania meliriknya sekilas, lalu tersenyum semakin lebar.....Di meja resepsionis, Malia sedang menatap undangan di tangannya.Kertas dengan ukiran mewah itu dipercantik dengan taburan serbuk emas, memberikan kesan kemewahan yang begitu berlebihan. Sebuah kemewahan yang tidak akan pernah bisa dia raih dalam hidupnya.Saat itu, suara seorang wanita terdengar dari seberang meja. "Iri sekali, ya?"Malia mendongak dan melihat Herisa yang memandangnya dengan senyum sinis."Kamu? Untuk apa kamu ke sini?" Malia bertanya dengan nada penuh kewaspadaan.Herisa mendekat, menunjuk undangan di tangan Malia. "Seekor anjing nggak akan pernah bisa menggantikan majikannya.""Jangan bicara sembarangan!" Malia langsung meradang."Kenapa? Panik? Apa aku salah bicara?" Herisa semakin memperlebar senyumnya dengan penuh ejekan.Mendengar hal itu, Malia mundur selangkah dengan hati-hati, ekspresinya berubah semakin tegang."Apa yang sebenar
Di ruang istirahat.Janice sedang mengelap noda anggur di gaunnya dengan handuk kecil ketika Malia mendekat dan menyodorkan sebuah kantong pakaian."Janice, aku kebetulan bawa pakaian cadangan. Ukuran kita hampir sama, kamu bisa pakai ini saja dulu," ujar Malia sambil tersenyum.Janice melirik logo pada kantong itu dan berkata, "Malia, kamu kaya mendadak? Pakaian dari toko ini harganya nggak ada yang kurang dari puluhan juta."Malia tampak sedikit terkejut sebelum menjawab dengan cepat, "Baru saja gajian. Aku mau menghadiahi diri sendiri. Lagian, ini pekerjaan formal pertamaku.""Begitu ya. Tapi aku merasa nggak enak minjam pakaian barumu. Lagi pula, aku bukan tokoh utama di sini. Pakai ini saja sudah cukup, nggak perlu ganti."Janice sengaja mendorong kantong itu kembali ke tangan Malia. Sejenak, ekspresi panik melintas di mata Malia. Namun, dia buru-buru memaksakan senyumnya, lalu menyelipkan kantong itu kembali ke pelukan Janice."Janice, kita ini sahabat baik. Kenapa harus hitung-h
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe