Sesampainya di sana, Janice menyebutkan namanya. Staf menyambutnya dengan hormat. Setelah membawa Janice ke sofa, staf menyajikan teh dan camilan."Tunggu sebentar ya, Bu. Aku suruh orang bawakan gaunnya.""Oke."Janice menyesap tehnya. Ketika hendak merilekskan diri, berita tentang pesta malah muncul di layar lebar depan. Toko gaun ini seharusnya mensponsori selebritas.Janice tiba-tiba teringat pada ucapan Jason yang menyuruhnya menonton berita malam nanti. Atas dasar apa?Janice mengambil remot di meja teh dan hendak mematikannya. Namun, staf tiba-tiba kembali dan berdiri di depannya sehingga menghalangi layar lebar."Bu, ini gaunmu. Silakan diperiksa dulu.""Ya."Janice menghela napas, lalu meletakkan remot dan bangkit. Meskipun sudah pernah dipakai, Janice selalu takjub dengan gaun ini.Staf mengangkat ujung gaun dan tersenyum. "Gaun ini memang sangat cocok denganmu. Apalagi, gaun ini dibuat sesuai ukuran tubuhmu. Aku rasa nggak ada orang yang bisa memakai gaun ini selain kamu."T
"Ya." Jawaban Jason ini langsung membuat semua orang menatap Vania dengan iri. Sepertinya, perhiasan misterius itu adalah hadiah ulang tahun untuk Vania.Wajah Vania tersipu. Reporter mengarahkan mikrofon kepadanya. "Bu Vania, apa kamu punya keyakinan dengan perhiasan rancanganmu?"Jelas-jelas hanya pertanyaan sederhana, tetapi Vania tidak lupa memamerkan kemesraan. Vania mengejapkan matanya, lalu menyahut dengan lembut, "Jason mendukungku, aku tentu yakin. Perhiasanku dirancang berdasarkan bunga krisan. Kalian akan berkesempatan melihatnya nanti. Jangan lupa dipotret ya."Tiba-tiba, suasana menjadi makin heboh. Ternyata Sera sudah tiba. Vania pun mengangkat dagunya sedikit, bersiap-siap untuk menerima pujian.Sera tampak memakai gaun satin berwarna hijau tua dengan ekor panjang. Pinggang dan bokong seksinya membuatnya terlihat sangat menggoda. Namun, kalung yang dipakainya bukan hasil rancangan Vania, melainkan hasil rancangan Janice. Kalung itu membuat auranya terlihat lembut.Mengej
Sera mengelus anjingnya, lalu tersenyum dan meneruskan, "Apa yang kamu pikirkan? Tentu saja karena pupuk yang kupakai bagus. Bu Vania, kamu harus ingat margamu belum berubah jadi Karim. Dalam hal ini, Janice lebih dewasa darimu."Jadi, jangan sombong sebelum jadi Nyonya Ketiga Keluarga Karim. Selesai berbicara, Sera pun pergi tanpa menghiraukan Vania lagi.Vania sungguh gusar. Dia berbalik dan hendak mengadu kepada Jason, tetapi Jason sudah berjalan pergi. Dia hanya bisa tersenyum kepada kamera, lalu menyusul Jason."Jason, aku ....""Aku nggak mau dengar penjelasan sampah. Kamu seharusnya tahu konsekuensi tema desainmu," ucap Jason."Tapi, kamu bisa memperingatkanku." Vania tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia sampai mengeluhkan sikap Jason.Jason lantas memicingkan mata menatapnya dengan tatapan suram dan dingin. "Kamu merusak hubungan kerja samaku dengan Bu Sera. Aku bakal menarik semua investasi untuk Keluarga Tanaka.""Jangan! Kamu nggak boleh begitu padaku. Kamu janji bakal
Itu artinya, Jason tidak bisa mengancamnya lagi.Janice menghampiri staf dan bertanya, "Permisi, aku mau tanya, Pak Jason buat baju untuk siapa ya?"Kedua staf itu seperti melihat setan. Mereka terperanjat. "Bu, kamu belum pergi?""Belum. Kebetulan aku mendengar obrolan kalian tadi.""Kamu salah dengar. Permisi, kami masih punya kerjaan."Kedua staf itu langsung kabur. Sepertinya, dia tidak bisa mendapat informasi apa pun. Janice hanya bisa menghela napas.....Janice awalnya ingin pulang dan menyerahkan gaunnya kepada Ivy. Namun, di mobil, dia tiba-tiba mendapat telepon dari Hamdan."Janice, kenapa kamu belum pindah dari asrama? Semua orang sudah pindah. Kalian sudah magang sekarang. Asrama akan direnovasi untuk siswa baru. Cepat kemasi barang-barangmu.""Ya, aku sudah tahu."Janice baru teringat pada pesan di grup obrolan dua hari lalu. Mereka menyuruhnya untuk pindah. Karena terus memikirkan desain untuk Sera, dia jadi lupa masalah ini.Hamdan berujar dengan kesal, "Besok sudah haru
Jason! Suara rendahnya terdengar sangat tenang. Dengan kedua lengannya yang kuat, dia mengangkat Janice dengan mudah.Janice mendongak dan pandangannya bertemu dengan sepasang mata yang misterius. Dalam sekejap, dia terdiam kebingungan.Bukankah yang seharusnya datang adalah Ivy?Kakinya yang telanjang menyentuh lantai, dinginnya ubin keramik menyebar ke seluruh tubuh dan membuatnya tiba-tiba tersadar."Mana ibuku?""Kakinya keseleo," jawab Jason dengan dingin."Aku bisa panggil taksi sendiri, nggak perlu repotin Paman."Setelah Janice selesai berbicara, dia berbalik dan melompat dengan satu kaki. Di belakangnya, Norman memegangi kepalanya sambil mengangkat sebuah sepatu. "Bu Janice, sepatumu," panggilnya."Nggak butuh lagi ... ah ...!"Embun pagi menutupi permukaan ubin dengan tetesan-tetesan air. Janice baru melompat dua kali sebelum terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh.Sebuah tangan menangkapnya dan menariknya kembali. Dia terhuyung keras ke arah dada
Janice merasa wajahnya memanas mendengar ucapan ibu penjaga tadi. Dia berusaha menjelaskan, "Bu, bukan begitu ...."Namun, Jason berjalan menaiki tangga dengan membawa Janice bersamanya, sehingga suaranya hilang setelah mereka berada di lantai atas. Janice melirik Jason dengan curiga. Apakah tadi dia melihat ada sekilas senyuman di mata pria itu? Namun, saat dia memperhatikan lebih dekat, tatapan Jason tetap dingin dan serius seperti biasanya.Tentu saja, itu hanya ilusi.Saat mereka sampai di lantai berikutnya, Janice mulai meronta pelan. "Paman, turunkan aku. Aku bisa jalan sendiri. Lagi pula, kamarku cukup tinggi."Jason tidak berkata apa-apa, melainkan tetap melanjutkan langkahnya ke atas. Janice berpikir keras, lalu menunjuk ke arah lantai paling atas. "Aku tinggal di lantai enam. Kamu pasti capek kalau harus naik setinggi itu.""Tiga."Janice terkejut. "Kenapa kamu tahu?"Jason berhenti sejenak, tatapannya semakin tajam saat memandang Janice. "Menurutmu?"Janice memekik, "Kamu se
Janice terkejut dengan sisi Jason yang asing ini. Napasnya memburu saat dia mencoba mendorong Jason menjauh. Namun, Jason menangkap pergelangan tangannya. Jari-jarinya menggosok bagian bekas luka bakar yang sudah sembuh di pergelangan itu."Sudah sembuh?" tanyanya dengan nada malas.Janice memalingkan wajahnya karena enggan menjawab. Jason mengangkat tangannya, memaksa wajah Janice kembali menghadapnya, dan mencubitnya dengan pelan."Bisa bicara baik-baik sekarang?" tanyanya."Paman, kamu lupa? Aku itu keras kepala," balas Janice dengan nada kesal.Jason menopang kedua tangannya di meja, lalu menundukkan kepala sambil menahan tawa di tenggorokannya. "Kalau aku bicara baik-baik, kamu nggak mau dengar. Tapi omongan beginian malah kamu ingat dengan jelas."Nada suaranya kali ini ringan, bahkan membawa kesan santai yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.Janice bingung harus menjawab apa. Padahal, suasana di antara mereka tadinya terasa sangat tegang. Dia menundukkan matanya, memilih u
Jason berdiri di depan kepala asrama untuk menghalangi langkahnya. "Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin.Kepala asrama langsung berubah menjadi lebih segan. "Pak Jason, begini, gedung ini rencananya akan direnovasi untuk digunakan oleh mahasiswa baru angkatan berikutnya. Tapi Janice belum juga pindah. Aku tahu, dia ini perempuan dan mungkin sulit untuk memindahkan barang-barangnya, jadi aku panggil tiga satpam untuk membantunya."Dia tersenyum dengan munafik, tapi tidak berani menatap Jason secara langsung, terutama saat menyebutkan tiga satpam tadi. Nada bicaranya terdengar lemah, menunjukkan ada sesuatu yang dia sembunyikan.Sepertinya dia tahu identitas asli ketiga satpam itu. Namun, kenapa dia melakukan hal seperti ini? Janice baru saja ingin bertanya tentang identitas ketiga pria tersebut, tapi Jason memotongnya."Nona kedua Keluarga Karim nggak perlu minta bantuan orang lain," ucap Jason dengan nada dingin."Apa? Nona kedua?" Kepala asrama terkejut hingga membelalakkan matanya.
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan