"Apa maksudmu?" Janice membelalakkan matanya."Menurutmu?" Tatapan Jason terlihat mendalam.Di ruang kantor, Sera membaca pesan dari Jason. Memang tidak ada yang gratis di dunia ini.Sera segera menelepon ruang pemantauan. "Matikan CCTV yang mengarah ke ruang kantorku.""Baik."Nyatanya, kedua orang yang berada di dalam lift tidak melakukan apa-apa. Lebih tepatnya, ponsel Jason tiba-tiba berdering saat dia ingin melakukan sesuatu.Janice melirik layar ponselnya. Itu adalah panggilan dari Vania. Dia menatap Jason yang begitu dekat dengannya, lalu memperingatkan, "Paman, calon istrimu."Jason tidak merespons ataupun melepaskan Janice, hanya menjawab panggilan. Di ujung telepon, terdengar suara lembut Vania."Jason, gaun yang kamu kasih indah sekali. Aku suka. Terima kasih. Hari ini, Bu Sera akan memakai rancanganku. Aku mau sampai lebih awal supaya bisa foto dengannya untuk promosi. Kapan kamu balik?""Sebentar lagi." Suara Jason terdengar datar, tetapi membuat orang yang mendengarnya me
Sesampainya di sana, Janice menyebutkan namanya. Staf menyambutnya dengan hormat. Setelah membawa Janice ke sofa, staf menyajikan teh dan camilan."Tunggu sebentar ya, Bu. Aku suruh orang bawakan gaunnya.""Oke."Janice menyesap tehnya. Ketika hendak merilekskan diri, berita tentang pesta malah muncul di layar lebar depan. Toko gaun ini seharusnya mensponsori selebritas.Janice tiba-tiba teringat pada ucapan Jason yang menyuruhnya menonton berita malam nanti. Atas dasar apa?Janice mengambil remot di meja teh dan hendak mematikannya. Namun, staf tiba-tiba kembali dan berdiri di depannya sehingga menghalangi layar lebar."Bu, ini gaunmu. Silakan diperiksa dulu.""Ya."Janice menghela napas, lalu meletakkan remot dan bangkit. Meskipun sudah pernah dipakai, Janice selalu takjub dengan gaun ini.Staf mengangkat ujung gaun dan tersenyum. "Gaun ini memang sangat cocok denganmu. Apalagi, gaun ini dibuat sesuai ukuran tubuhmu. Aku rasa nggak ada orang yang bisa memakai gaun ini selain kamu."T
"Ya." Jawaban Jason ini langsung membuat semua orang menatap Vania dengan iri. Sepertinya, perhiasan misterius itu adalah hadiah ulang tahun untuk Vania.Wajah Vania tersipu. Reporter mengarahkan mikrofon kepadanya. "Bu Vania, apa kamu punya keyakinan dengan perhiasan rancanganmu?"Jelas-jelas hanya pertanyaan sederhana, tetapi Vania tidak lupa memamerkan kemesraan. Vania mengejapkan matanya, lalu menyahut dengan lembut, "Jason mendukungku, aku tentu yakin. Perhiasanku dirancang berdasarkan bunga krisan. Kalian akan berkesempatan melihatnya nanti. Jangan lupa dipotret ya."Tiba-tiba, suasana menjadi makin heboh. Ternyata Sera sudah tiba. Vania pun mengangkat dagunya sedikit, bersiap-siap untuk menerima pujian.Sera tampak memakai gaun satin berwarna hijau tua dengan ekor panjang. Pinggang dan bokong seksinya membuatnya terlihat sangat menggoda. Namun, kalung yang dipakainya bukan hasil rancangan Vania, melainkan hasil rancangan Janice. Kalung itu membuat auranya terlihat lembut.Mengej
Sera mengelus anjingnya, lalu tersenyum dan meneruskan, "Apa yang kamu pikirkan? Tentu saja karena pupuk yang kupakai bagus. Bu Vania, kamu harus ingat margamu belum berubah jadi Karim. Dalam hal ini, Janice lebih dewasa darimu."Jadi, jangan sombong sebelum jadi Nyonya Ketiga Keluarga Karim. Selesai berbicara, Sera pun pergi tanpa menghiraukan Vania lagi.Vania sungguh gusar. Dia berbalik dan hendak mengadu kepada Jason, tetapi Jason sudah berjalan pergi. Dia hanya bisa tersenyum kepada kamera, lalu menyusul Jason."Jason, aku ....""Aku nggak mau dengar penjelasan sampah. Kamu seharusnya tahu konsekuensi tema desainmu," ucap Jason."Tapi, kamu bisa memperingatkanku." Vania tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dia sampai mengeluhkan sikap Jason.Jason lantas memicingkan mata menatapnya dengan tatapan suram dan dingin. "Kamu merusak hubungan kerja samaku dengan Bu Sera. Aku bakal menarik semua investasi untuk Keluarga Tanaka.""Jangan! Kamu nggak boleh begitu padaku. Kamu janji bakal
Itu artinya, Jason tidak bisa mengancamnya lagi.Janice menghampiri staf dan bertanya, "Permisi, aku mau tanya, Pak Jason buat baju untuk siapa ya?"Kedua staf itu seperti melihat setan. Mereka terperanjat. "Bu, kamu belum pergi?""Belum. Kebetulan aku mendengar obrolan kalian tadi.""Kamu salah dengar. Permisi, kami masih punya kerjaan."Kedua staf itu langsung kabur. Sepertinya, dia tidak bisa mendapat informasi apa pun. Janice hanya bisa menghela napas.....Janice awalnya ingin pulang dan menyerahkan gaunnya kepada Ivy. Namun, di mobil, dia tiba-tiba mendapat telepon dari Hamdan."Janice, kenapa kamu belum pindah dari asrama? Semua orang sudah pindah. Kalian sudah magang sekarang. Asrama akan direnovasi untuk siswa baru. Cepat kemasi barang-barangmu.""Ya, aku sudah tahu."Janice baru teringat pada pesan di grup obrolan dua hari lalu. Mereka menyuruhnya untuk pindah. Karena terus memikirkan desain untuk Sera, dia jadi lupa masalah ini.Hamdan berujar dengan kesal, "Besok sudah haru
Jason! Suara rendahnya terdengar sangat tenang. Dengan kedua lengannya yang kuat, dia mengangkat Janice dengan mudah.Janice mendongak dan pandangannya bertemu dengan sepasang mata yang misterius. Dalam sekejap, dia terdiam kebingungan.Bukankah yang seharusnya datang adalah Ivy?Kakinya yang telanjang menyentuh lantai, dinginnya ubin keramik menyebar ke seluruh tubuh dan membuatnya tiba-tiba tersadar."Mana ibuku?""Kakinya keseleo," jawab Jason dengan dingin."Aku bisa panggil taksi sendiri, nggak perlu repotin Paman."Setelah Janice selesai berbicara, dia berbalik dan melompat dengan satu kaki. Di belakangnya, Norman memegangi kepalanya sambil mengangkat sebuah sepatu. "Bu Janice, sepatumu," panggilnya."Nggak butuh lagi ... ah ...!"Embun pagi menutupi permukaan ubin dengan tetesan-tetesan air. Janice baru melompat dua kali sebelum terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh.Sebuah tangan menangkapnya dan menariknya kembali. Dia terhuyung keras ke arah dada
Janice merasa wajahnya memanas mendengar ucapan ibu penjaga tadi. Dia berusaha menjelaskan, "Bu, bukan begitu ...."Namun, Jason berjalan menaiki tangga dengan membawa Janice bersamanya, sehingga suaranya hilang setelah mereka berada di lantai atas. Janice melirik Jason dengan curiga. Apakah tadi dia melihat ada sekilas senyuman di mata pria itu? Namun, saat dia memperhatikan lebih dekat, tatapan Jason tetap dingin dan serius seperti biasanya.Tentu saja, itu hanya ilusi.Saat mereka sampai di lantai berikutnya, Janice mulai meronta pelan. "Paman, turunkan aku. Aku bisa jalan sendiri. Lagi pula, kamarku cukup tinggi."Jason tidak berkata apa-apa, melainkan tetap melanjutkan langkahnya ke atas. Janice berpikir keras, lalu menunjuk ke arah lantai paling atas. "Aku tinggal di lantai enam. Kamu pasti capek kalau harus naik setinggi itu.""Tiga."Janice terkejut. "Kenapa kamu tahu?"Jason berhenti sejenak, tatapannya semakin tajam saat memandang Janice. "Menurutmu?"Janice memekik, "Kamu se
Janice terkejut dengan sisi Jason yang asing ini. Napasnya memburu saat dia mencoba mendorong Jason menjauh. Namun, Jason menangkap pergelangan tangannya. Jari-jarinya menggosok bagian bekas luka bakar yang sudah sembuh di pergelangan itu."Sudah sembuh?" tanyanya dengan nada malas.Janice memalingkan wajahnya karena enggan menjawab. Jason mengangkat tangannya, memaksa wajah Janice kembali menghadapnya, dan mencubitnya dengan pelan."Bisa bicara baik-baik sekarang?" tanyanya."Paman, kamu lupa? Aku itu keras kepala," balas Janice dengan nada kesal.Jason menopang kedua tangannya di meja, lalu menundukkan kepala sambil menahan tawa di tenggorokannya. "Kalau aku bicara baik-baik, kamu nggak mau dengar. Tapi omongan beginian malah kamu ingat dengan jelas."Nada suaranya kali ini ringan, bahkan membawa kesan santai yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.Janice bingung harus menjawab apa. Padahal, suasana di antara mereka tadinya terasa sangat tegang. Dia menundukkan matanya, memilih u
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe