"Koh Aliang, pembayaran uang sebanyak itu tidak mungkin cash, kan?Pasti melalui bank, cek mutasi dana keluar dan cetak rekening koran, buat bukti untuk membuat laporan." Nirmala angkat bicara."Terus saja kau memprovokasi, Nirmala!"Nirmala melihat Melda sebentar, rasa geram sudah menghinggapi sedari tadi, sejenak nafas terhenti kala mengingat akan perlakuan ipar dan abang kandungnya, kejam dan tidak punya hati. "Benar juga apa yang kau katakan, Nirmala. Tapi, saat aku melakukan pembayaran itu bukan ke rekening si Melda ini.""Ke rekening siapa?""Roni–suaminya Melda.""Bagus Koh, buat laporan saja sekalian atas nama Roni, biar sekalian abang saya tau dan terbuka matanya dengan kelakuan istrinya ini.""Diam kau, Nirmala!""Kau lah yang diam, Kak Melda! Semua orang terdiam mendengar wanita cantik bak kesuma bidadari surgawi itu menaikkan nada suaranya, wanita seindah purnama itu hampir hilang kesabaran lalu diam beberapa detik, lirih Nirmala berucap kata 'istighfar' sadar jika emosi
"Bagaimana keadaanya,Mela? Sudah siap pulang hari ini? " Suara ngebas Raihan mampu membuat Mela tersenyum riang gembira, apalagi ucapanya seolah sebuah pertanyaan bentuk perhatian, semakin yakinlah Mela kalau Raihan menyukainya. "Sudah Bang, perhatian Abang, merupakan sebuah semangat untuk Mela dan itulah yang membuat Mela cepat sembuh.""Alhamdulillah," ucap Raihan lalu berjalan ke arah Bu Inong dan salim pada wanita tua itu. "Sudah yakin pulang hari, ini?"Semakin bahagia Mela ditanya seperti itu, wanita dua puluh empat tahun itu langsung memasang wajah semenarik mungkin dan suara semerdu dan semanja mungkin. "Sudah yakin, Bwang, terima-kasih sudah datang ya Bwang, Mela yakin, Abwang pasti datang." "Iya Mela, terima-kasih ya sudah melindungiku waktu itu, " ucap Raihan lembut sambil tersenyum tipis. Aihh … semakin dag dig dug ser rasa hati Mela, berdebar jantung nya, bagaimana tidak, lelaki tampan nan rupawan itu memberinya perhatian, Mela yakin, cupid cinta pasti sudah tertanca
Namaku Melda Handayani, sudah dari kecil hidupku menderita, ibuku meninggal saat melahirkan adikku Mela, saat itu umurku baru sembilan tahun.Di saat anak yang lain bermain dan bercanda dengan teman seumurannya, tapi tidak denganku, keseharianku hanya untuk mengasuh adikku, sedangkan bapak jarang pulang, ia bekerja menjadi kernet bus antar kota antar provinsi sehingga dalam waktu satu pekan cuma sekali ia pulang. Aku begitu kesusahan mengurus adikku, sehingga ada seorang wanita, mungkin bisa dikatakan perawan tua, dia merupakan tetangga kami yang mau membantuku mengurus Mela, dia bernama Bu Inong, wanita baik hati versiku saat itu, karena dia mau mengurus kami yang notabene bukan siapa-siapanya. Saat saudara dari ibu dan ayah menjauh dan tidak sudi melihat saat tubuh kecil ini datang meminta pertolongan, tetapi Bu Inong mau mengurus kami dengan tulus. Akhirnya bapak mau menikahi Bu Inong, tetapi bukan untuk dijadikan istri dalam arti sesungguhnya, melainkan untuk mengurus aku dan ad
"Bang! Kenapa bapak mewariskan hartanya kepada Nirmala?" Aku protes pada Roni saat mengetahui ayah mertuaku memanggil notaris ke rumah, kondisi kesehatannya saat itu sudah mulai menurun, sehingga ia berjaga-jaga dan mempersiapkan semuanya, agar dibagi secara adil dan sesuai agama. Ayah mertua bermaksud agar ia bisa mempertanggung jawabkan saat sudah tidak berada di dunia fana lagi. "Itu sudah keputusan Ayah, agar tidak ada kesalahan dalam hal membagi warisan, jadi Ayah ingin membagi sesuai agama,"ucap Roni santai, sepertinya suamiku tidak mempermasalahkan semua itu, tapi tidak dengan aku, harta mertua yang banyak ini harus jatuh semua ke tangan suamiku, setelahnya baru aku pindahkan ke tanganku. "Menurutku semuanya bullshit kalau sesuai agama. Ayahmu memang pilih kasih dan lebih sayang pada Nirmala, adikmu itu anak perempuan dan tidak berhak mendapatkan apapun, apalagi setelah ia menikah nanti, murni ia menjadi tanggungan suaminya, berbeda dengan Bang Roni, Abang adalah anak lelak,
Nirmala tampak menyeka butiran air mata yang berhasil jatuh di atas kulit pipinya yang halus mengilap dan glazed setingkat lebih glowing berkat perawatan skincare B Erl yang rutin ia kenakan sebagai perawatan sehari-hari. "Maaf Bang, malah menyaksikan aku menangis," ucap Nirmala sambil terkekeh sedih. "Tak apa Nirmala, aku malah senang.""Abang senang melihat Nirmala, menangis?""Tentu tidak lah, aku senang kalau Nirmala mau curhat padaku, berbagi cerita, dan berbagi ….""Berbagi?""Lupakan Nirmala, bagaimana kalau kita ke toko buku dan peralatan sekolah, aku ingin belanja buat anak-anak didikku."Raihan seperti mengalihkan pembicaraan, Nirmala sesaat menatap Raihan lalu mengangguk dengan ajakan Raihan, ada sesuatu yang mengganjal di hati Nirmala, tapi ia mencoba untuk abai. Setelah membayar kopi, mereka pergi menuju toko yang menjual peralatan sekolah. Raihan tampak belanja beberapa lusin pensil, rautan, buku tulis serta beberapa lusin buku juz amma dan iqro, saat melihat barang
"Lari Nirmala, lari!" Bu Herlina berteriak kencang. Tidak membuang kesempatan untuk menghindar, segera Nirmala berlari secepat mungkin menuju kamarnya dan mengunci diri dari dalam. "Roni! Apa-apaan kamu!" "Kenapa Mak? Kenapa? Roni cuma mempertahankan harga diri Melda–istri Roni. Tidakkah Mamak ketahui, semenjak ijab kabul, apapun tentang Melda dan semua yang dilakukan Melda dan apa yang telah terjadi pada Melda adalah tanggung jawab Roni, sudah jelas-jelas Melda difitnah oleh Nirmala adik kandung Roni sendiri, tetapi Mamak malah membela Nirmala mati-matian, Tolonglah Mak, bersikap adil sebagai seorang Ibu, Nirmala bukan anak kecil lagi yang harus dimaklumi kelakuannya, kali ini dia sungguh kelewatan batas. ""Tidak Roni, bukan seperti itu, makna dari ijab kabul itu, kau tanggung dosa-dosanya si Melda dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat. Semua yang berhubungan dengan si Melda kau tanggung dan bukan lagi o
Nirmala ambruk dan duduk di lantai. "Ada apa Nirmala?" tanya Bu Herlina saat melihat anaknya terduduk lemas di dekat pintu. "Mak, i-itu, ada mayat Mak!""Hah! Mayat? Mayat siapa?""Nirmala tidak tau, tapi entah kenapa Nirmala kok merasa takut ya, apalagi Abdul–""Huss, jangan berpikiran aneh-aneh." Bu Herlina menyanggah kecurigaan Nirmala, tapi Nirmala masih berdebar. Ya Allah, lindungilah Abdul, dimanapun dia berada, Nirmala membatin dengan jantung yang masih bertalu. "Coba telp Raihan," ucap Bu Herlina, Nirmala menatap ibunya. "Kenapa harus menelpon Bang Raihan, Mak?""Lalu siapa? Roni? Raihan yang bisa kita minta tolongin saat ini."Bu Herlina benar, untuk saat ini pada siapa mereka meminta pertolongan kalau bukan pada Raihan, tidak mungkin Nirmala ujug-ujug menghubungi Pakcik Mamud–ayahnya Abdul mengenai mayat yang ditemukan, masih ada etika dan perasaan yang harus dijaga. Tapi, rasa sungkan terselip di hati Nirmala, sudah banyak lelaki itu Nirmala repotkan. Daripada dikungk
Melda berusaha berlari sekencang mungkin untuk menghindari polisi yang tadi ingin menjemputnya atas kasus penipuan lahan sawit yang ia jual pada Koh Aliang, dengan jantung yang berdegup dengan kencang Melda berusaha menghindar, tekad di dalam hatinya agar tidak tertangkap, ia tidak ingin usahanya selama ini sia-sia dan berakhir mendekam di dalam penjara. "Itu, sebelah sana!" teriak salah satu polisi.Melda dengan cepat bersembunyi di balik keranjang sayur yang memang sudah kosong. Bagai anak ayam, Melda berada di dalam keranjang tersebut. Ia jalan dengan posisi jongkok, kebetulan keranjang sayur yang ia dapatkan tadi letaknya tidak begitu jauh dari kedai tempat ia membeli lontong. Di dalam keranjang tersebut, Melda mengumpat kesialannya hari ini, ia pun berjalan mengendap-endap ke arah kedai lontong sayur yang tidak begitu jauh. "Allahuakbar!" Penjual lontong sayur itu sontak saja kaget dengan kemunculan Melda di bawah keranjang yang secara tiba-tiba. "Ssstt … diam. Aku numpang s