Nirmala tampak menyeka butiran air mata yang berhasil jatuh di atas kulit pipinya yang halus mengilap dan glazed setingkat lebih glowing berkat perawatan skincare B Erl yang rutin ia kenakan sebagai perawatan sehari-hari. "Maaf Bang, malah menyaksikan aku menangis," ucap Nirmala sambil terkekeh sedih. "Tak apa Nirmala, aku malah senang.""Abang senang melihat Nirmala, menangis?""Tentu tidak lah, aku senang kalau Nirmala mau curhat padaku, berbagi cerita, dan berbagi ….""Berbagi?""Lupakan Nirmala, bagaimana kalau kita ke toko buku dan peralatan sekolah, aku ingin belanja buat anak-anak didikku."Raihan seperti mengalihkan pembicaraan, Nirmala sesaat menatap Raihan lalu mengangguk dengan ajakan Raihan, ada sesuatu yang mengganjal di hati Nirmala, tapi ia mencoba untuk abai. Setelah membayar kopi, mereka pergi menuju toko yang menjual peralatan sekolah. Raihan tampak belanja beberapa lusin pensil, rautan, buku tulis serta beberapa lusin buku juz amma dan iqro, saat melihat barang
"Lari Nirmala, lari!" Bu Herlina berteriak kencang. Tidak membuang kesempatan untuk menghindar, segera Nirmala berlari secepat mungkin menuju kamarnya dan mengunci diri dari dalam. "Roni! Apa-apaan kamu!" "Kenapa Mak? Kenapa? Roni cuma mempertahankan harga diri Melda–istri Roni. Tidakkah Mamak ketahui, semenjak ijab kabul, apapun tentang Melda dan semua yang dilakukan Melda dan apa yang telah terjadi pada Melda adalah tanggung jawab Roni, sudah jelas-jelas Melda difitnah oleh Nirmala adik kandung Roni sendiri, tetapi Mamak malah membela Nirmala mati-matian, Tolonglah Mak, bersikap adil sebagai seorang Ibu, Nirmala bukan anak kecil lagi yang harus dimaklumi kelakuannya, kali ini dia sungguh kelewatan batas. ""Tidak Roni, bukan seperti itu, makna dari ijab kabul itu, kau tanggung dosa-dosanya si Melda dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat. Semua yang berhubungan dengan si Melda kau tanggung dan bukan lagi o
Nirmala ambruk dan duduk di lantai. "Ada apa Nirmala?" tanya Bu Herlina saat melihat anaknya terduduk lemas di dekat pintu. "Mak, i-itu, ada mayat Mak!""Hah! Mayat? Mayat siapa?""Nirmala tidak tau, tapi entah kenapa Nirmala kok merasa takut ya, apalagi Abdul–""Huss, jangan berpikiran aneh-aneh." Bu Herlina menyanggah kecurigaan Nirmala, tapi Nirmala masih berdebar. Ya Allah, lindungilah Abdul, dimanapun dia berada, Nirmala membatin dengan jantung yang masih bertalu. "Coba telp Raihan," ucap Bu Herlina, Nirmala menatap ibunya. "Kenapa harus menelpon Bang Raihan, Mak?""Lalu siapa? Roni? Raihan yang bisa kita minta tolongin saat ini."Bu Herlina benar, untuk saat ini pada siapa mereka meminta pertolongan kalau bukan pada Raihan, tidak mungkin Nirmala ujug-ujug menghubungi Pakcik Mamud–ayahnya Abdul mengenai mayat yang ditemukan, masih ada etika dan perasaan yang harus dijaga. Tapi, rasa sungkan terselip di hati Nirmala, sudah banyak lelaki itu Nirmala repotkan. Daripada dikungk
Melda berusaha berlari sekencang mungkin untuk menghindari polisi yang tadi ingin menjemputnya atas kasus penipuan lahan sawit yang ia jual pada Koh Aliang, dengan jantung yang berdegup dengan kencang Melda berusaha menghindar, tekad di dalam hatinya agar tidak tertangkap, ia tidak ingin usahanya selama ini sia-sia dan berakhir mendekam di dalam penjara. "Itu, sebelah sana!" teriak salah satu polisi.Melda dengan cepat bersembunyi di balik keranjang sayur yang memang sudah kosong. Bagai anak ayam, Melda berada di dalam keranjang tersebut. Ia jalan dengan posisi jongkok, kebetulan keranjang sayur yang ia dapatkan tadi letaknya tidak begitu jauh dari kedai tempat ia membeli lontong. Di dalam keranjang tersebut, Melda mengumpat kesialannya hari ini, ia pun berjalan mengendap-endap ke arah kedai lontong sayur yang tidak begitu jauh. "Allahuakbar!" Penjual lontong sayur itu sontak saja kaget dengan kemunculan Melda di bawah keranjang yang secara tiba-tiba. "Ssstt … diam. Aku numpang s
"Ya Allah … apalagi ini, pelakor?""Iya, kau lah pelakor, kau tau sedang makan sama siapa?" Mela berdiri dengan mengangkat dagu sambil tangan dilipat ke dada. "Sama, Bang Raihan.""Kau tau Bang Raihan itu, siapa? Nirmala memutar bola mata malas menanggapi Mela lalu mengangkat bahu, matanya fokus menatap makanan yang terhidang, ia tidak ingin berakhir sakit, sebisa mungkin ia harus makan karena kegiatannya akan padat, apa yang Raihan katakan tadi memang benar, ia tidak boleh menzalimi tubuhnya sendiri dengan tidak menjaga kesehatan, ketika rasa lapar dibiarkan, maka penyakit akan ramah menghampiri, beda konteks jika sedang berpuasa. "Heh! Aku sedang mengajak kau bicara! Jangan diam saja, sombong kali kau jadi manusia.""Mela, apa-apaan kau? Jangan mempermalukan dirimu sendiri seperti ini, lebih baik kau pulang saja." Raihan jengah juga dengan tingkah Mela yang menunjuk-nunjuk Nirmala seolah dialah nyonya besar yang sedang berbicara pada kacungnya. "Apa Bang? Abang menyuruhku pula
"Ampun Mak! Ampun!" pekik Syifa. Terdengar suara tangisan Syifa memilukan hati, Nirmala mencoba untuk menolong tapi ponselnya berdering dan nama Abdul yang tertera di layar. "Assalamualaikum Dul, kamu dimana?""Kak, Kak Nirmala, tolong aku kak.""Dul, kamu dimana?""Masih mending Pak Dedi mau sama kau Syifa, kita ini orang miskin, jangan bermimpi terlalu tinggi, Mamak saja umur 15 tahun sudah menikah." Bu Salamah masih terdengar meracau sambil sesekali terdengar suara Syifa menjerit, mulut dan tangan Bu Salamah bekerja, mulut menyakiti hati, tangan menyiksa badan gadis kecil itu. Nirmala posisinya sudah di luar, karena tadi Bu Salamah sempat mendorongnya keluar dengan penuh emosi, lalu menutup pintu dengan kasar. Dalam keadaan bimbang, harus menolong siapa, Nirmala memprioritaskan Abdul terlebih dahulu, setelahnya baru dia mengurus masalah Syifa. Dengan perasaan sedih merintih, Nirmala melangkah dengan gamang meninggalkan kediamanan Syifa. "Aku tidak tau kak, tapi, disini gelap,
Mela menghubungi nomor Raihan sambil berjalan mundur agar jaraknya jauh dengan Roni. "Bang Roni, aku bukan, Kak Melda." "Melda Sayang," ucap Roni lagi dengan parau sambil tangannya berusaha menggapai tubuh Mela. Sambungan telepon tersambung. "Bang, Bang Raihan, tolong Bang! Aku hendak di nodai Bang Roni, tolong Bang!""Posisi kamu dimana?" tanya Raihan. "Di rumahnya, tolong Bang Raihan, sepertinya Bang Roni sangat menginginkanku karena kecantikanku yang pari–"Tut tut tut sambungan telepon dimatikan, sebelum Mela menyelesaikan ucapannya. Mela mendengus kesal, lalu melemparkan Roni dengan benda apapun yang bisa ia raih. Bugh. Botol parfum milik Melda berhasil mendarat dengan indah di kening Roni, lelaki setengah mabuk itu ambruk dan tergolek di lantai. "Bang. Bang." Mela memanggil, tapi Roni tanpa reaksi, lalu ia berjalan mendekat memeriksa kondisi lelaki itu, ia meraba hidung, ternyata masih ada nafas. "Huh, pake pingsan segala, padahal kan seru tuh kalau saat aku sedang din
"Mela, hei! Jangan bertindak nekat, jauhkan pisau itu dari lehermu.""Enggak. Enggak mau. Sebelum Abang janji akan menikahiku, kalau perlu pakai perjanjian hitam di atas putih.""Ga mungkin Mela, menikah ga segampang itu.""Gampang kok, tinggal panggil penghulu, udah beres. ""Menikah harus dengan pasangan yang sesuai hati kita, tidak ada keterpaksaan diantara lelaki dan perempuan.""Aku ga terpaksa, aku ikhlas, Bang.""Tapi aku yang terpaksa." Mau tidak mau Raihan harus jujur, agar wanita itu mengerti, tapi yang namanya Mela, mungkin urat malunya juga sudah putus, dia malah berteriak seperti orang kesurupan. "Tidak! Tidaak! Aku akan bunuh diri sekarang.""Apalagi, cepatlah kau bunuh diri," ucap Afis dengan geram. "Diam kau, aku tidak bicara sama kau, marbot setan!""Astaghfirullah," ucap Raihan lalu mengajak Afis untuk meninggalkan tempat itu. "Bang Raihan! Bang Raihan! Baaaaanng!" Raihan terus keluar dan tidak memperdulikan Mela. Mela yang melihat Raihan keluar setelahnya mende