Selamat Pada Kak Robyt dan Kak Arief Siam, kalian berdua masing-masing mendapat 100 koin othor baru saja mengajukannya ke Editor, jadi bisa ditunggu paling tidak 3 hari. othor akan melakukan perhitungan Gem nanti malam. Selamat Membaca (◠‿・)—☆ Akumulasi Gem: 08-12-2024: 6 Gem Bab Bonus: 1/3 Bab Antrian: 22
Atmosfer ruangan itu begitu berat hingga terasa mencekik. Fariz tahu betul tabiat tuannya–membunuh bawahan yang gagal bukanlah hal aneh bagi Rendy Zola."Jadi," suara berat Rendy Zola memecah keheningan, "Ryan belum mati?""Ya..." Fariz menelan ludah pahit, merasakan badai yang akan datang."Kau membawa begitu banyak orang, tapi tak bisa membunuh satu sampah kecil?"Nada dingin dalam suara Rendy Zola membuat bulu kuduk Fariz meremang."Ya... tapi..."BRAK!Belum selesai ia bicara, tendangan keras Rendy Zola telah menghantam dadanya."Jangan berani memberi alasan!" raung Rendy Zola murka. "Kalau menghadapi bocah ingusan saja tak mampu, lebih baik kau mati saja!"Fariz berlutut dengan wajah pucat. "Tuan, saya memang tidak berguna. Saya siap menerima hukuman apapun."Rendy Zola mendengus kasar. "Ryan punya identitas khusus. Setelah percobaan pembunuhan yang gagal, aku sudah dapat peringatan! Kita tak bisa menyerangnya terang-terangan sekarang."Otak Fariz berputar cepat mencari jalan kelu
Lancelot telah mengamankan vila dengan sempurna. Gawain Wealth, Galahad, dan beberapa ahli Guild Round Table bersiaga penuh selama 24 jam untuk melindungi Rindy dan Adel. Mereka tak ingin mengambil risiko sekecil apapun setelah kejadian terakhir. Ryan mengamati kondisi lengan Galahad yang dibalut perban tebal. Lukanya cukup parah, namun setidaknya infeksi berhasil dicegah berkat perawatan cepat. "Master..." Galahad berusaha bangkit memberi hormat, namun Ryan segera menghentikannya dengan gestur tangan. "Tetap berbaring," perintah Ryan tegas. "Lukamu terlalu parah dan lenganmu sudah dipastikan telah hancur. Akan sulit menyelamatkannya." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Sekarang kau punya dua pilihan. Pertama, Eagle Squad telah mengembangkan lengan bionik yang bisa dipasang ke tubuh manusia. Operasi singkat akan menyelesaikannya." "Pilihan kedua, aku bisa menggunakan kemampuan spiritual dan medis untuk meregenerasi lenganmu, tapi kau harus siap menahan rasa sakit yang
Ryan melangkah mendekat. Namun sebelum sempat bicara, Jackson Jorge telah mendahuluinya. "Terlambat tiga menit," ujar pria itu dingin. "Kalau orang lain, mereka pasti sudah jadi mayat." "Di mana ibu dan ayahku?" Ryan balas bertanya tanpa basa-basi. Jackson Jorge menyipitkan mata. "Temperamenmu mirip ibumu. Dia juga suka bicara langsung." "Hentikan omong kosong ini," desis Ryan. "Kau yang mengambil mayat ibuku saat itu. Kau pasti tahu di mana dia! Kalau tidak memberitahuku, kaulah yang akan jadi mayat!" Dalam hati Ryan bersiap mengaktifkan batu nisan ketiga kapan saja. Informasi tentang orang tuanya terlalu berharga–berapapun harga yang harus dibayar, ia siap menanggungnya. Jackson Jorge mengangkat wajahnya, menatap Ryan dengan sorot mata penuh selidik. "Aku benar-benar penasaran. Dari mana datangnya kesombonganmu ini?" ia mendengus. "Lima tahun lalu kau hanya bocah lemah dan pengecut. Apa yang membuatmu berubah sedrastis ini?" "Ditambah lagi, dari mana kekuatan ini berasal?" la
Setelah beberapa saat menimbang, Jackson Jorge akhirnya memutuskan untuk bercerita. "Semua bermula beberapa dekade lalu," ujarnya dengan nada berat. "Saat ibumu remaja, dia membangkitkan akar spiritual langka–tanda bakat dan kekuatan yang tak tertandingi. Eleanor Jorge adalah putri kesayangan surga, kebanggaan Keluarga Jorge!" Ia berhenti sejenak, matanya menerawang mengingat masa lalu. "Namun masalah muncul. Meski sangat berbakat, ibumu menolak keras berlatih seni bela diri. Setiap hari dia mencari cara untuk kabur dari latihan. Dan karena statusnya sebagai harta Keluarga Jorge, tak ada yang berani memaksanya." "Mungkin karena terlalu dimanja, ibumu menjadi tak terkendali," Jackson Jorge melanjutkan dengan nada mencemooh. "Dia bertemu ayahmu, William Pendragon, di sebuah pesta. Tanpa memikirkan konsekuensi, mereka nekat menjalin hubungan. Saat Keluarga Jorge mengetahuinya, semuanya sudah terlambat–ibumu telah hamil dan diam-diam menikah di Kota Golden River!" Api kemarahan berkob
"Ketua Guild," suara Lancelot terdengar bingung di seberang telepon, "saya belum pernah mendengar nama itu sebelumnya." "Mulai sekarang, selama penyelidikanmu di Ibu Kota, perhatikan informasi apapun tentang tempat ini." "Baik, Ketua Guild!" Ryan memutuskan untuk mencoba sumber lain. Ia menghubungi Sammy Lein, berharap Eagle Squad sebagai pasukan pemerintah memiliki informasi lebih. Namun jawaban yang ia dapat tetap sama–seolah Penjara Catacombs tidak pernah ada di dunia ini. 'Aneh,' batinnya sambil mengerutkan kening. 'Tempat yang bahkan tidak dikenal oleh Eagle Squad. Apakah penjara ini benar-benar ada?' Meski Jackson Jorge terkesan memusuhinya, Ryan yakin pria itu tidak berbohong soal ini. Ia bangkit dari bangku, berniat meninggalkan taman. Namun matanya tertuju pada naga darah ilusi yang masih melayang di langit. Naga itu menukik turun dengan gerakan anggun, menciptakan badai kecil yang menderu. Raungan samarnya bergema di telinga Ryan sebelum sosoknya lenyap masuk
"Sudah lebih dari sepuluh kali kulihat kau di sini," geram petugas keamanan murka. "Sepertinya melumpuhkan satu kakimu belum cukup. Haruskah kulumpuhkan yang satunya juga?" "Terakhir kali kuberi kesempatan untuk membayar kami, tapi kau mengabaikannya. Masih berani berjualan di sini? Tidak akan kubiarkan, orang tua!" Pria itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, bersiap menghantam Zidane. Namun sebelum pukulan itu mendarat, bayangan hitam melesat memblokir serangannya. Ryan berdiri membelakangi Zidane, kelima jarinya mencengkeram tongkat hitam dengan kekuatan penuh. "Enyahlah!" desisnya dingin. BRAK! Satu ayunan lengan Ryan menghempaskan pria itu hingga terpental jauh. Dia mendarat dengan menyedihkan, darah segar menyembur dari mulutnya. Tongkat di tangannya telah terpelintir hingga tak berbentuk. "Paman Zidane, kau baik-baik saja?" Ryan membantu pria paruh baya itu berdiri. "Nak Ryan, kau menghajar mereka? Aduh, bagaimana ini..." "BAJINGAN!" Raungan murka memotong perkataa
Tanpa menunggu jawaban, Ryan mengalirkan energi qi ke kaki Zidane. Cedera ini tidak ada apa-apanya dibanding luka Galahad dulu. Dengan perawatan rumah sakit biasa pun akan sembuh dalam setengah bulan. Ryan hanya mempercepat proses itu, mengingat Zidane mungkin tak mampu membayar biaya rumah sakit. Zidane menggertakkan gigi menahan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Namun beberapa detik kemudian, rasa sakit itu digantikan oleh kehangatan yang menenangkan. "Paman Zidane, cobalah berdiri dan bergerak. Kakimu seharusnya sudah tidak apa-apa sekarang." "Secepat ini?" Zidane menatap tak percaya. Bahkan dokter di rumah sakit butuh waktu beberapa untuk menyembuhkan luka, bukan? "Ya." Melihat keyakinan di wajah Ryan, Zidane memberanikan diri berdiri. Begitu melangkah, matanya terbelalak takjub–sama sekali tak ada rasa sakit! Kakinya yang pincang kini bisa bergerak normal! "Mukjizat!" serunya tanpa sadar. "Nak Ryan benar-benar melakukan mukjizat!" Meski tak paham banyak te
"Senior, tolong ampuni nyawa saya!" mohonnya putus asa. Antara reputasi dan nyawa, Zend Bark memilih yang kedua tanpa ragu. Jika mati, semua usaha kultivasinya akan sia-sia! Ia baru saja mencapai 10 besar ranking grandmaster, masa depan cerah menanti di depan mata! Lina Jirk melirik Zend Bark dengan tatapan meremehkan. "Kau yakin ingin hidup?" "Ya! Tentu saja!" Zend Bark nyaris berteriak. "Kalau begitu, bersediakah kau menjadi budakku?" Wajah Zend Bark menegang. Dia, seorang grandmaster terhormat, harus menjadi budak? Amarah berkobar dalam dadanya, namun ia tak berani melawan. Satu gerakan salah saja bisa mengakhiri hidupnya! "Aku... aku bersedia," jawabnya getir. Hanya dengan mengucapkan kata-kata itu, ia seolah menua sepuluh tahun. Lina Jirk mengangguk puas sebelum mengeluarkan setetes esensi darahnya. Dengan gerakan ringan ia menempelkan jarinya di dahi Zend Bark. "Jangan melawan!" perintahnya dingin. "Kalau berani melawan, aku akan membunuhmu." Beberapa detik
Pagi itu, suasana Bandara Riveria tampak ramai seperti biasa. Di area keberangkatan domestik, Ryan berdiri dengan santai diapit oleh dua wanita cantik–Adel dan Rindy."Kau yakin tidak mau kami ikut?" tanya Adel dengan nada khawatir. Tangannya menggenggam lengan Ryan erat, enggan melepaskan.Ryan tersenyum tipis. "Tidak perlu. Selain itu, Galahad dan Lancelot akan menjaga kalian selama aku pergi." Ia melirik kedua pengawalnya yang berdiri tak jauh dari sana. "Lagipula, aku hanya pergi sebentar. Paling lama satu minggu.""Tapi..." Adel masih tampak ragu."Sudahlah," Rindy menyela sambil tersenyum jahil. "Biarkan saja dia pergi. Toh dia pasti akan kembali–kecuali kalau dia berani selingkuh di Ibu Kota."Ryan tertawa kecil mendengar ancaman terselubung itu. Ia mengacak rambut Rindy dengan gemas. "Mana berani aku selingkuh kalau punya dua wanita secantik kalian?""Gombal!" Rindy menepis tangan Ryan dengan wajah merona.Pengumuman keberangkatan pesawat RD8978 menggema di terminal, menanda
Ryan menepuk bahu Lancelot dengan gestur menenangkan. "Masalah ini tidak mendesak," ujarnya tenang. "Aku akan berangkat ke Ibu Kota lebih dulu. Kau dan yang lain dari Guild Round Table bisa menyusul nanti. Saat ini, fokusmu haruslah meningkatkan kekuatan.""Baik, Ketua Guild," Lancelot membungkuk hormat.Setelah berpamitan dengan kedua bawahannya, Ryan teringat sesuatu. Eagle Squad pasti memiliki pengaruh di Ibu Kota–akan lebih mudah jika mereka yang mengatur perjalanannya.Baru saja ia hendak menghubungi Sammy Lein, sebuah mobil yang terparkir di luar vila membunyikan klakson. Ryan menggeleng geli sebelum melangkah menuju kendaraan itu.Seperti dugaannya, Sammy Lein dan Patrick telah menunggu di dalam."Jangan bilang kalian menunggu di sini selama sepuluh hari," godanya sambil masuk ke dalam mobil. "Aku tak akan percaya."Sammy Lein tertawa canggung. "Tuan Ryan mungkin tidak tahu, tapi Eagle Squad telah beberapa kali mencoba menemui Anda. Nona Rindy selalu mengatakan Anda sedang b
"Muridku," suaranya bergema dalam kekosongan, "di dunia ini terdapat 3000 Dao Besar dan Dao Kecil yang tak terhitung jumlahnya! Sepanjang hidupku, aku menekuni Dao Pembantaian dan niat pedang."Pedang Suci Caliburn berdengung di tangannya, beresonansi dengan kata-katanya. "Pedang adalah raja dari segala senjata. Baik untuk menyerang maupun bertahan, tak ada yang menandinginya!""Pedang Pembelah Langit yang akan kuwariskan padamu memiliki tiga jurus. Setiap jurus mengandung hukum Dao Agung yang kusempurnakan. Jika kau memiliki kekuatan yang cukup, teknik ini mampu menghancurkan langit itu sendiri!""Itulah mengapa ia dinamakan Pedang Pembelah Langit!"Lelaki tua itu mengacungkan Caliburn tinggi-tinggi. Niat pedang yang terpancar darinya begitu pekat hingga membuat udara bergetar. Ryan bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang hanya dengan menatapnya."Jurus pertama–Naga Membelah Langit!" Pedang di tangannya bergerak bagai kilat, menciptakan bayangan naga raksasa yang meraung
Sebagai kultivator yang baru mengenal enam ranah–Body Tempering, Qi Gathering, Foundation Establishment, Golden Core, Nascent Soul, dan Heavenly Soul–Ryan paham betul besarnya kesenjangan kekuatan mereka.Setiap ranah terbagi menjadi sembilan tingkat. Dan kini, sebagai kultivator Foundation Establishment, ia harus menghadapi praktisi ranah Nascent Soul!'Bagaimana mungkin aku bisa menang?' batinnya frustrasi.Seolah membaca pikirannya, lelaki tua itu melepaskan sinar pedang ke arah kepala Ryan. Dalam sekejap ia telah muncul di hadapan pemuda itu."Kau ingin tahu mengapa aku menggunakan ranah yang jauh lebih tinggi?" suaranya dalam dan berat. "Akan kuberitahu!""Dao Pembantaian berada di ambang hidup dan mati," lelaki tua itu melanjutkan dengan nada serius. "Dengan teknik ini, kau bahkan bisa membunuh mereka yang jauh lebih kuat darimu!"Dia menghentakkan pedangnya, menciptakan gelombang tekanan yang membuat Ryan terhuyung. "Jika kau mampu bertahan dari seranganku, kelak saat menghadap
Di sebuah bangunan megah nan misterius di Ibu Kota, Lucas Ravenclaw duduk dengan tenang sembari menyeka pedangnya yang berwarna merah darah. Pedang itu berpendar dengan energi qi yang tak kalah kuat dari Pedang Suci Caliburn.Meski tak melepaskan aura apapun, kehadirannya saja sudah menciptakan tekanan berat yang membuat orang biasa kesulitan bernapas.Di hadapannya, seorang lelaki tua berambut putih berlutut dengan tubuh gemetar. "Tuan Lucas, saya telah menyelidiki orang-orang yang mengikuti Anda hari ini. Mereka berasal dari Provinsi Riveria, namun asal-usul sebenarnya masih belum jelas.""Heh," Lucas Ravenclaw mendengus dingin. "Sudah bertahun-tahun berlalu, belum ada yang berani berbuat kurang ajar seperti ini. Apakah mereka ingin mati?""Terus selidiki. Begitu tahu siapa yang mengirim mereka, bunuh semuanya. Jangan sisakan satu pun."Lelaki tua itu mengangguk patuh sebelum teringat sesuatu. "Tuan Lucas, mengapa Anda tiba-tiba kembali ke Ibu Kota kali ini?"Lucas Ravenclaw meleta
Ryan melepaskan pelukannya dari Rindy dan duduk di sofa. Ia tak ingin membuat kedua gadis itu khawatir dengan menceritakan pertarungannya melawan Sergei Anri dan Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural."Hanya urusan bisnis biasa," jawabnya santai. "Beberapa masalah kecil yang harus diselesaikan."Meski ekspresi kedua gadis itu menunjukkan ketidakpercayaan, mereka memilih tidak mendesak lebih jauh. Jika Ryan memilih menyembunyikan sesuatu, pasti ada alasannya.Ryan bangkit untuk mengambil segelas air. Saat meneguknya, ia teringat sesuatu yang penting."Ada yang harus kuberitahu pada kalian," ujarnya serius. "Aku perlu berlatih dalam isolasi selama sepuluh hari ke depan untuk sebuah terobosan penting dalam kultivasiku."Ia meletakkan gelasnya sebelum melanjutkan, "Selama sepuluh hari ini, aku akan mengurung diri di kamar lantai tiga. Galahad dan beberapa praktisi dari Guild Round Table akan berjaga di luar. Jika kalian perlu keluar, mereka harus menemani kalian.""Pengasingan
"Tuan Ryan, kumohon lepaskan ayahku!" jeritnya serak. Jika sang ayah tewas, Keluarga Anri akan kehilangan pilar pendukungnya!Meski merasa kasihan pada temannya, Juliana tetap berkata tegas, "Tuan Ryan, Anda tidak perlu mempertimbangkan perasaan saya. Dia pantas mati."Jika Sergei Anri dibiarkan hidup, dia pasti akan mencari kesempatan membalas dendam. Dan saat itu terjadi, keluarga Herbald pasti akan terseret.Melihat Juliana tak berniat campur tangan, Riselotte semakin putus asa. "Tuan Ryan, aku bersedia melakukan apapun! Kumohon lepaskan ayahku!""Membiarkannya pergi?" tanya Ryan tenang.Mendengar nada lunak itu, harapan membuncah dalam dada Riselotte dan Sergei Anri. "Ya, ya!" Riselotte mengangguk penuh semangat.Namun detik berikutnya, kilatan dingin melesat–kepala Sergei Anri terpisah dari tubuhnya."Mengapa aku harus mendengarkanmu?" suara Ryan bergema dingin memenuhi ruangan. "Jika kulepaskan dia hari ini, siapa yang akan melepaskanku di masa depan?""Tidak membunuhmu sudah m
"Berlutut dan bersiaplah untuk mati!" Ryan meraung murka. Naga darah melesat keluar dari tubuhnya, memancarkan niat membunuh yang mencekam.BRUK!Beberapa orang langsung berlutut ketakutan. "Grandmaster Ryan, masalah hari itu..."Namun sebelum kalimat mereka selesai, beberapa bilah angin telah melesat dari tangan Ryan. Darah berceceran saat tiga kepala menggelinding ke lantai–salah satunya bahkan sampai ke kaki Sergei Anri!"Situasinya gawat!" Sergei Anri dan kepala Keluarga Liege berteriak pada anak buah mereka. "Semuanya serang bersama! Hari ini dia mati, atau kita yang mati!"Tujuh hingga delapan praktisi menyerbu Ryan serentak. Namun Ryan kini berbeda dari kemarin–ia telah menerobos dan memakan Mutiara Spirit Domain. Siapa yang bisa menghentikannya?Tanpa menghunus Caliburn, Ryan menerobos ke tengah kerumunan. Dalam hitungan detik, daging dan darah berceceran di antara teriakan dan jeritan mengerikan.Tak seorang pun mampu menahan serangannya! Ke mana pun Ryan melangkah, kema
Ryan melambaikan tangannya dan berjalan menuruni gunung. Pria tua berjubah hitam di Kuburan Pedang tidak punya banyak waktu lagi, jadi ia harus segera kembali ke Provinsi Riveria.Setelah itu, ia akan mengasingkan diri selama sepuluh hari untuk mewarisi Dao Pembantaian dari sang lelaki tua. Ryan yakin setelah itu, ia akhirnya bisa pergi ke Ibu Kota.Master Samadhi menatap sosok Ryan yang menjauh sebelum menggeleng pelan. Pintu kuil kembali tertutup rapat–siapa tahu berapa lama akan tetap begitu kali ini. Jika terbuka lagi, kemungkinan besar untuk membantu Ryan sekali lagi.Kembali ke ruang kultivasi, Master Samadhi meletakkan kotak pemberian Ryan di atas meja. Dia hendak melanjutkan kultivasinya namun entah mengapa merasa penasaran dengan isi kotak itu."Anak ini tidak mungkin memberiku ginseng biasa, kan?" gumamnya sambil mengepalkan tangan. Kotak itu melayang ke tangannya.Begitu tutupnya terbuka, aroma obat yang kuat menguar memperlihatkan enam butir pil di dalamnya. Mata Maste