Mobil yang membawa Leon berhenti di depan sebuah gudang terbengkalai yang terletak di Podolsk. Pria Itu mengamati gudang itu. Tampak dindingnya sudah kusam dan banyak sekali coretan. Sedangkan atapnya tampak sangat kotor. Terlihat jelas gudang itu sudah ditinggalkan bertahun-tahun yang lalu.
"Apa kau yakin ini tempatnya, Ivan?" Leon menoleh ke arah Ivan yang duduk di belakang kemudi.
Pria berusia empat puluh dua tahun itu menganggukan kepalanya. "Sangat yakin, Tuan muda. Tempat ini sama persis seperti yang diberitahukan oleh tuan muda Gavin."
"Kalau begitu, kita segera masuk dan selesaikan pekerjaan ini." Leon membuka pintu.
"Baik, Tuan muda." Ivan mengikuti Leon keluar dari mobil.
Apakah Leon akan baik-baik saja. Tunggu kelanjutannya ya...
Gavin dan Natasha tiba di rumah sakit Maternity. Mereka bergegas menuju Unit Gawat Darurat. Langkah mereka terhenti saat melihat Ivan duduk di bangku lorong tunggu rumah sakit. Gavin dan Natasha bergegas menghampiri pria itu. Ivan tertunduk memandangi lantai. Pria itu masih terguncang dengan apa yang baru saja terjadi. Karena sebagai pengawal yang dipercaya penuh oleh Josef Matvey, sudah seharusnya Ivan melindungi Leon bahkan jika harus mempertaruhkan nyawanya. "Ivan." panggil Gavin. Pria itu mendongak dan melihat Gavin dan Natasha menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. "Di mana Leon?" tanya Natasha yang ingin segera melihat pria yang sudah mengikatnya. &n
“Putraku. Leon.” Josef meraih tangan Leon yang diinfus. Memegangnya dengan begitu hati-hati. Josef terkenal sangat kejam dan dingin. Tapi ketika bersama keluarganya, dia berubah menjadi pria yang hangat. Bahkan dia tidak menutupi tatapan penuh kasih sayangnya. Jika orang melihat Josef saat ini, mereka tidak akan percaya jika pria itu adalah pemimpin organisasi gelap paling berbahaya di Rusia. “Siapa yang telah melakukan ini, Ivan?” tanya Josef menatap Ivan yang masuk bersama pria itu. “Saya masih menyelidikinya, Tuan. Saya membutuhkan waktu.” Ivan menunduk takut jika Josef akan marah. “Apapun yang terjadi temukan orangnya, Ivan. Aku tidak akan menunjukkan belas kasihanku kepada orang yang sudah menyakiti put
“Tugas makalah harus dikumpulkan minggu depan. Jika tidak ada pertanyaan, maka pelajaran sudah selesai. Sampai jumpa besok.” Ucap Natasha mengakhiri kelasnya. Tatapan wanita itu tertuju pada kursi kosong yang biasanya diduduki oleh Leon. Sudah dua hari berlalu dan Leon masih belum kunjung sadarkan diri. Sialnya Natasha tidak bisa berhenti memikirkan pria itu. "Sebenarnya ke mana Leon pergi, ya?" Pertanyaan itu mengalihkan perhatian Natasha. Dia bisa melihat dua wanita yang sedang membahas tentang Leon. "Entahlah. Apa mungkin dia sakit?" Jawab wanita lainnya. "Sayang sekali. Padahal aku masuk kelas ini berharap bisa melihat dia setiap h
"Lepaskan tanganku! Bagaimana aku bisa menyuapimu jika kau terus menggenggam tanganku?" omel Natasha karena sudah satu jam Leon tidak mau melepaskan tangannya. "Aku masih ingin menggenggam tanganmu. Tidak bisakah kau menggunakan tangan lainnya?" Leon justru menggenggam tangan Natasha semakin erat. "Tidak bisa. Aku bukan kidal. Sulit menggunakan tangan kiri. Sebaiknya kau lepaskan tanganku atau aku tidak mau menyuapimu." Ucap Natasha dengan nada tegas. Akhirnya Leon memilih melepaskan tangan Natasha. Pria itu mengamati Natasha yang mengambil mangkuk. Terlihat wanita itu menyendokkan bubur berwarna putih dan meniupnya lembut. Leon tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari wanita itu. Saat bom
“Leon. Leon, kau mendengarku tidak?” tanya Gavin yang terus memanggil Leon beberapa kali. Akhirnya Leon yang sedari tadi sibuk dengan pikirannya sendiri langsung menoleh ke arah sahabatnya. “Kau bicara apa, Gavin?” Gavin menghela nafas berat. Sejak tadi dia mengoceh panjang lebar tapi tidak satupun yang didengar oleh Leon. “Ada apa denganmu, Leon? Kita sedang membicarakan rencana kita untuk menghancurkan Igor. Tapi kau sama sekali tidak bisa fokus.” Omel Gavin. “Maafkan aku, Kawan. Ada sesuatu yang kupikirkan dari tadi.” “Jadi kamu punya rencana apa untuk menghancurkan Igor?” tanya Gavin.
Natasha bisa bernafas lega setelah muntah. Dia keluar dari bilik toilet dan berjalan menghampiri wastafel. Dia mencuci tangan dan mulutnya. Kemudian dia mengambil tisu untuk mengeringkan tangannya. Setelah membuang tisu itu ke tempat sampah, wanita itu memekik terkejut saat seseorang menariknya masuk dalam bilik toilet. Matanya langsung melebar saat melihat Leon menutup bilik toilet itu. “Leon? Apa yang kau lakukan di sini? Ini toilet wanita.” Omel Natasha. Leon menundukkan kepalanya sehingga wajahnya sejajar dengan Natasha. Tangannya menyentuh kulit pipi wanita itu. Mengelusnya dengan sangat lembut membuat tubuh Natasha merinding akibat hasrat yang ditimbulkan pria itu. “Aku merindukanmu, Moy lev.” “Ta-tapi
Katerina berjalan masuk ke dalam apartemen miliknya. Apartemen ini digunakan wanita itu ketika suaminya tidak berada di rumah. Berada dalam rumah suaminya membuat Katerina tidak bisa bebas. Wanita itu menendang sepatu hingga terlepas dan membiarkannya berada di atas lantai. Dia melangkah dengan lelah menuju kamarnya. Saat wanita itu membuka kamar, dia berteriak ketakutan. Pasalnya di atas ranjangnya, dia melihat pakaian putranya yang sudah bersimbah darah. Ketakutan terjadi hal buruk pada putranya, Katerina segera menelpon Igor. “Ada apa, Mom?” Kelegaan membanjiri Katerina hingga membuat wanita itu menangis. “Igor. Kau tidak apa-apa, Nak?” “Aku baik-baik saja. Mengapa kau bertanya seperti itu, Mom?”
Natasha tak bisa berhenti memikirkan apa yang dikatakan oleh sang penelpon misterius kemarin. Bahkan wanita itu tidak bisa tidur karena menebak-nebak apa hubungan ayah Leon dengan kedua orang tuanya. Tapi wanita itu tidak bisa mengingatnya. Natasha berpikir mungkin saja itu kakak tiri Leon yang berusaha menghancurkan hubungannya dengan Leon. Dengan begitu pria itu bisa menyakiti Leon lebih dalam. Namun pertanyaan ‘bagaimana jika informasi apapun yang diketahui penelpon misterius itu memang benar?’ terus berputar dalam pikirannya. “Mengapa kau meninggalkanku, Moy lev?” Tanpa menoleh, Natasha bisa tahu jika itu adalah Leon. Tak ada seorangpun yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Wanita itu terus berjalan tanpa mempedulikan panggilan Leon. “Bagaimana bisa kau t