"Melia, kenapa kamu nggak jujur dengan ibumu? Biar ibumu percaya. Lebih baik ia mendengar dari mulutmu sendiri, daripada mendengar di orang lain. Akan lebih menyakitkan," bujuk Citra. Melia hanya diam saja."Citra, kamu nggak usah ikut-ikutan! Mas, jangan paksa Melia mengakui hal yang tidak ia lakukan. Urus anakmu Liqa, yang kurang ajar itu. Ia akan melakukan berbagai macam cara untuk memfitnah Melia. Ia iri dengan Melia." Rosita masih saja membela Melia.Melia tersenyum dalam hati, ia tahu kalau ibunya akan membelanya mati-matian."Tentu saja Liqa iri dengan Melia. Karena segala kebutuhan Melia aku penuhi! Kost di tempat yang mahal, dibelikan mobil, uang bulanan juga besar. Siapa yang nggak iri kalau seperti itu?" sindir Farhan."Mas, sudahlah. Jangan ikut-ikutan memfitnah Melia. Ia sudah berusaha menjadi anak baik, walaupun agak manja. Nanti biar aku yang menasehati Melia," bujuk Rosita. Rosita pun mendekati Melia."Ibu tahu, kamu bukanlah orang yang seperti itu. Ibu percaya sama k
"Ayo jujur Melia? Apa yang kamu tunggu? Kalau kamu tetap tidak mau jujur, oke, Begitu Ayah keluar dari rumah ini berarti bubar sudah pernikahan Ayah dan ibumu," kata Farhan sedikit mengancam Melia.Semua mata tertuju pada Melia. Melia hanya menunduk."Karena kalian tidak bisa memenuhi semua kebutuhanku," kata Melia dengan pelan."Apa maksudmu?" tanya Farhan."Selama ini uang yang Ayah kirim tidak cukup untuk kehidupanku satu bulan. Kebutuhanku banyak, tapi Ayah dan Ibu tidak mau memahaminya. Karena itu aku menerima tawaran kemewahan dari laki-laki mapan.""Tidak cukup katamu? Memangnya kamu anak orang kaya? Kamu berteman dengan anak orang kaya jadi kamu berlagak seperti anak orang kaya. Kalau memang tidak cukup, kenapa kamu tidak minta sama ayah kandungmu? Bukan mencari dengan cara yang tidak halal. Memalukan sekali!" teriak Farhan.Melia hanya bisa menangis."Kamu tahu, sudah berapa banyak uang yang Ayah keluarkan untukmu. Dengan harapan kamu bisa membanggakan kami. Ternyata kamu mal
"A-anak pungut!" kata Clara dengan terbata-bata."Mbak!" teriak Citra."Ma, benarkah kalau aku itu anak pungut?" tanya Clara.Citra hanya terdiam, Melia tampak kaget dengan ucapan ibunya, dan ia pun tersenyum penuh kemenangan."Jawab, Ma?" Clara memohon pada Citra untuk menjelaskan. Aira matanya tampak mengalir di pipi."Nggak usah didengarkan kata-kata Bude Rosita!" kata Citra menenangkan Clara."Mbak, puas sekarang! Sudah membuat keluargaku jadi seperti ini? Mulut Mbak Rosita itu memang nggak bisa dijaga ya?" Kemarahan Citra sudah sampai di ubun-ubun."Oh, jadi Clara itu anak pungut ya? Gayanya sok anak orang kaya, cuih!" ejek Melia."Masih mending anak pungut, tapi aku masih perawan. Daripada kamu, menjajakan tubuhmu demi kemewahan. Sudah berapa kali kamu menggugurkan kandunganmu? Membunuh bayi tak berdosa? Kamu harus periksa ke dokter, jangan-jangan punya penyakit kelamin." Clara berusaha berkata dengan tenang, padahal ia sangat emosi sekali. Ia sebenarnya tidak tahu apakah Melia
Liqa baru saja keluar dari ruang dosen untuk mengumpulkan tugas. Dari kejauhan ia melihat sosok Keenan sedang berjalan. Liqa buru-buru berbelok arah, tujuannya adalah perpustakaan. Keberuntungan belum berpihak pada Liqa."Liqa!" panggil seseorang, mau tidak mau ia pun menoleh. Ternyata ada Mira dan Andin berjalan mendekatinya. Keenan juga berjalan menuju ke arah Liqa, kemudian ia melengos ketika melewati Liqa. Hati Liqa terasa sakit, tapi Liqa sudah bertekad tidak akan memikirkan Keenan lagi."Halo Mas Keenan," sapa Andin."Halo juga." Keenan pun berlalu dari hadapan mereka."Ada apa?" tanya Liqa dengan suara bergetar."Kamu dari mana?" tanya Mira."Dari ruangan Pak Hilman, ngumpulin tugas.""Kamu sudah selesai ya tugasnya?" lanjut Mira."Iya, sudah.""Padahal kami baru mau ngerjain di rumah Salsa. Ayo ikut ke rumah Salsa, nanti kamu ajarin kami ngerjain tugas," kata Andin menimpali."Maaf, aku nggak bisa ikut. Lagi pula yang punya rumah tidak mengajakku." Selesai berbicara, Liqa meli
"Memanfaatkan? Maksudnya?" tanya Liqa pura-pura tidak tahu."Kamu sering memintanya mengantar kemana-mana, terus sering minta ditraktir, iya kan? Kalau aku sih sudah nggak heran dengan modus seperti ini. Pura-pura tulus padahal modus," ejek Clara.Citra sudah mulai tidak suka dengan perkataan Clara, ia paham kalau Clara berusaha mengajak ribut Liqa. "Alhamdulillah, aku nggak seperti itu orangnya. Aku sering kemana-mana sama Salsa karena dia yang memaksaku untuk menemaninya. Salsa itu walaupun anak orang kaya, sebenarnya baik, tulus berteman denganku. Tapi semenjak ada provokator yang mempengaruhinya, ia mulai goyah. Kalau aku sih nggak masalah, mau berteman dengan siapa saja juga nggak masalah. Yang penting sama-sama tulus dalam persahabatan." Liqa berusaha berkata dengan tenang, malah Clara yang mulai merasa tersindir."Kamu menuduhku provokator?" seru Clara."Maaf, Mbak, nggak ada yang menuduh Mbak Clara provokator," kata Liqa sambil tersenyum."Sudah selesai makannya, Liqa?" tanya
"Kenapa sih Mbak? Kok marah-marah, PMS ya? Selow dong!" ledek Stefan menggoda kakaknya itu. Ledekan Stefan malah membuat Clara semakin emosi."Kamu itu jadi adik kok malah kurang ajar sama yang lebih tua. Jangan sok menasehati ku seperti itu. Kamu tuh tahu apa? Aku tuh nggak bucin sama Keenan, ia yang bucin sama aku," sahut Clara dengan angkuhnya."Kalau ia bucin, kenapa Mbak yang khawatir? Sudahlah Mbak, jangan mengingkari Kenyataan. Sebenarnya Mas Keenan mulai menjauh dari Mbak Clara, karena sudah tidak tahan dengan sikap Mbak yang suka seenaknya saja. Akhirnya Mbak menjadikan Mbak Liqa sebagai kambing hitam. Kalau aku jadi Mas Keenan, sudah putus lama." Stefan pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi."Stefan! Jangan kurang ajar sama aku ya?" teriak Clara."Clara, kamu kenapa sih kok marah-marah seperti itu? Nggak malu kalau ada Liqa disini?" kata Citra berusaha meredam emosi Clara."Kenapa mesti malu dengan Liqa. Aku tetap tidak menyukai Liqa, yang berusaha menggoda Keenan.
Drtt…drtt, Farhan mengabaikan panggilan itu."Kenapa nggak diangkat? Pasti dari perempuan ular itu," celetuk Bu Tari. Pak Umar menatap tajam pada istrinya."Biarkan saja, Bu." Farhan menjawab apa adanya."Kamu mengunjungi Liqa sama siapa?" tanya Pak Umar."Sendirian, Pak.""Oh, istrimu itu nggak ikut? Kok kamu diperbolehkan pergi tanpa dia? Disana kan ada anak kesayanganmu juga." Bu Tari masih saja sewot dengan Rosita."Bu, nggak boleh ngomong gitu." Pak Umar mengingatkan istrinya."Aku kesal Pak, ada yang cerita sama Ibu, kalau Melia dibelikan mobil. Mobil baru lagi. Enak sekali, masih kuliah sudah dibelikan mobil. Ibu juga yakin, pasti tempat kost Melia juga mewah, ya kan? Belum lagi uang bulanannya, pasti besar." Bu Tari mengeluarkan uneg-unegnya. Farhan hanya terdiam mendengar ibunya ngomel-ngomel."Sertifikat rumahmu sudah diamankan belum? Takutnya nanti ia gelap mata, menggadaikan rumah itu. Ingat, rumahmu itu haknya Liqa dan Aksa." Bu Tari mengingatkan Farhan."Iya, Bu. Sudah a
Farida langsung melotot matanya. Terasa tidak tertelan lagi kue yang ada di mulutnya. Tapi kalau dibuang, nanti bakal dimarah, akhirnya ia makan juga."Jangan-jangan ini kue dari toko KW," sahut Farida."Kamu kenapa sih? Kalau yang beli kue ini Liqa memangnya kenapa? Uangnya kan halal. Apa rasanya beda ketika kamu mengambil kue yang pertama dan yang kedua? Tinggal makan saja kok banyak komentar. Masih mending Liqa, mau membelikan neneknya ini makanan. Kalau anak-anakmu, boro-boro membelikan makanan, menjenguk kami saja nggak mau," kata Bu Tari sambil beranjak dari duduknya dengan membawa kue yang tadi ada di meja. Kemudian berjalan masuk ke belakang "Memangnya salahnya Liqa apa? Kok kamu sampai segitunya tidak menyukai Liqa. Liqa kan nggak pernah bikin masalah sama kamu!" kata Farhan dengan marah. Sekarang ia memang sensitif jika ada orang yang tidak menyukai atau membenci anak-anaknya."Pak, aku mau pulang. Sudah nggak nyaman gara-gara kedatangan dia," pamit Farhan sambil beranjak d
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan