Farida langsung melotot matanya. Terasa tidak tertelan lagi kue yang ada di mulutnya. Tapi kalau dibuang, nanti bakal dimarah, akhirnya ia makan juga."Jangan-jangan ini kue dari toko KW," sahut Farida."Kamu kenapa sih? Kalau yang beli kue ini Liqa memangnya kenapa? Uangnya kan halal. Apa rasanya beda ketika kamu mengambil kue yang pertama dan yang kedua? Tinggal makan saja kok banyak komentar. Masih mending Liqa, mau membelikan neneknya ini makanan. Kalau anak-anakmu, boro-boro membelikan makanan, menjenguk kami saja nggak mau," kata Bu Tari sambil beranjak dari duduknya dengan membawa kue yang tadi ada di meja. Kemudian berjalan masuk ke belakang "Memangnya salahnya Liqa apa? Kok kamu sampai segitunya tidak menyukai Liqa. Liqa kan nggak pernah bikin masalah sama kamu!" kata Farhan dengan marah. Sekarang ia memang sensitif jika ada orang yang tidak menyukai atau membenci anak-anaknya."Pak, aku mau pulang. Sudah nggak nyaman gara-gara kedatangan dia," pamit Farhan sambil beranjak d
"Anak?" gumam Melia lagi.Ia teringat ketika pernah hamil dengan pacarnya waktu masih kuliah semester awal. Ia meminta sang pacar untuk bertanggung jawab. Tapi ternyata malah menyuruhnya menggugurkan kandungan. Dengan segepok uang yang diberikan sang pacar, akhirnya Melia menggugurkan kandungan pada seorang dukun. Setelah itu sang pacar menghilang entah kemana. Sampai sekarang pun ia belum pernah bertemu lagi dengan pacarnya itu.Sejak saat itu, Melia menjadi liar seperti sekarang ini. Ia pun menggunakan wajah dan tubuhnya yang menarik untuk menggaet laki-laki dengan dompet tebal. Langganan tetapnya ayahnya Mira yg ia sebut dengan Papi dan Om ganteng yang ia sapa Om Ibra."Om Ibra lama sekali sih," gerutu Melia. Melia pun membuka ponselnya, ada sebuah pesan dari Ibra.[Om OTW sayang. Bersiaplah, Om sudah nggak sabar!]Melia tersenyum membaca pesan itu. "Tenang saja Om, aku akan melakukan gaya baru yang akan membuat Om ketagihan," gumam Melia memuji dirinya sendiri.Melia mendengar su
"Sekarang, kamu pilih keluar sendiri atau perlu aku panggilkan satpam," ancam Ersa. Melia diam, ia tampak menantang istri Ibra."Om, jangan pura-pura Om tidak mengenalku. Bukankah Om tidak puas dengan istri Om? Katanya istri Om itu tidak menggairahkan di ranjang?" sindir Melia. Ibra tampak pucat wajahnya.Ersa sebenarnya juga mulai emosi, tapi ia tidak mau terlihat marah dan kecewa di depan Melia. Menurutnya Melia bukan levelnya."Hei, kamu dengar nggak, kalau tadi suamiku tidak mengenalmu? Jangan ngaku-ngaku kamu. Sudahlah, keluar sana, cari mangsa yang lain. Suamiku ini laki-laki baik dan setia. Tidak mungkin ia ada hubungan denganmu," kata Ersa pura-pura memuji suaminya, padahal ia sangat emosi."Apa aku perlu membuktikan padamu hubunganku dengan Om Ibra?" kata Melia sambil membuka ponselnya dan mencari foto mesranya dengan Ibra.Ersa segera merampas ponsel Melia, seketika wajahnya merah padam menahan amarah. Melia tampak puas melihat ekspresi wajah Melia. Melia membiarkan Ersa me
"Kamu itu perempuan, jual mahal dikit. Kalau laki-laki sudah tidak mau denganmu, lupakan! Jangan menyakiti diri sendiri dengan mengharapkan orang yang tidak peduli denganmu." Terdengar suara seseorang, Clara pun menoleh. Ia terdiam mendengar kata-kata Irwan. Memang yang dikatakan Irwan itu benar semua."Ketika Keenan masih bersama denganmu, kamu tidak mempedulikannya. Kamu memaksa Keenan untuk mengerti kamu, sedang kamu tidak pernah mau mengerti Keenan. Sekedar mendengarkan keinginan Keenan saja kamu tidak mau." Citra menimpali ucapan suaminya."Penyesalan itu memang selalu datang terlambat. Kalau datang diawal namanya pendaftaran," celetuk Stefan."Nggak usah ikut campur kamu!" Clara menatap kesal pada Stefan, Stefan hanya cengengesan. Karena suasana mulai panas, akhirnya Citra mengajak anak-anaknya untuk menyimak rangkaian acara resepsi. Acara demi acara pun mulai berlalu dan akhirnya tiba waktunya untuk menyantap hidangan. Kru catering langsung bersiap-siap untuk melayani para ta
"Itu gara-gara Mas tidak mampu memenuhi kebutuhan Melia," teriak Rosita."Oh, jadi kamu menyalahkan aku karena kelakuan Melia? Tentu saja aku nggak mampu, karena aku bukan orang kaya raya yang memiliki banyak harta. Kamu menyesal kan menikah denganku, karena aku tidak sekaya yang kamu pikirkan."Drtt..drtt ponsel Farhan berdering, pertengkaran pun terhenti.Ponsel Farhan berdering lagi, Farhan pun melirik ke arah layar ponselnya. Sebuah nama yang sudah ditunggu kabar beritanya."Halo," kata Farhan menyapa orang yang menelponnya. Ia pun mendengarkan apa yang dibicarakan oleh orang yang menelponnya.Rosita menatap Farhan dengan penasaran karena Farhan tampak sangat serius. Tentu saja ia tidak bisa mendengar percakapan itu, dan membuat Rosita semakin penasaran."Oke, sesuai rencana ya? Terima kasih." Farhan mengakhiri pembicaraan."Siapa Mas?" tanya Rosita dengan penasaran."Dikasih tahu pun kamu nggak bakal tahu." Farhan menjawab dengan ketus."Mas aku tuh tanya baik-baik, kok jawabnya
Liqa masih duduk di taman kampus menunggu jadwal kuliah selanjutnya. Ia sedang menyelesaikan tugas yang tadi diberikan oleh dosen. Padahal tugas itu dikumpulkan Minggu depan, tapi daripada bengong, ia pun mengerjakan tugasnya.Biasanya kalau ada waktu luang seperti ini, ia menghabiskannya bersama dengan Salsa. Tapi semenjak Salsa marah padanya waktu itu, ia tidak pernah berinteraksi dengan Salsa lagi. Bahkan di kelas pun mereka duduknya berjauhan. Sekedar menoleh pun Salsa sudah tidak mau. Salsa sekarang dekat dengan Mira dan Andin. Liqa sedih merasakan semua ini. Ia berpikir kenapa persahabatannya selalu berakhir seperti ini. Nesya, Ara dan sekarang Salsa. Tapi Liqa bertekad kalau ia bisa sendiri dan tidak bergantung dengan teman-temannya.Liqa sudah mulai terbiasa melakukan semua hal sendirian tanpa Salsa. Ia memang tidak pandai bergaul, jadi teman-teman kuliahnya hanya sekedar teman saja, tidak ada yang dekat dengannya seperti Salsa.Liqa sekarang sedang giat belajar, Minggu depan
"Assalamualaikum, selamat siang!" sapa Keenan."Waalaikumsalam, selamat siang Pak!" Para mahasiswa dengan semangat menjawab salam Keenan."Hari ini saya menggantikan Pak Wira karena Pak Wira sedang umroh. Perkenalkan nama saya Keenan Pradipta, saya masih kuliah di jurusan Akuntansi semester tujuh.""Pantas saja ia menggantikan Pak Wira, sekarang kan mata kuliah Akuntansi Dasar," kata Liqa dalam hati.Liqa menoleh ke arah Salsa yang sedang berbisik-bisik dengan Andin dan Mira. Hatinya terasa berdesir melihat keakraban mereka."Kamu bisa tanpa mereka Liqa," kata Liqa dalam hati menyemangati dirinya sendiri."Pak, mau tanya," kata Linda, perempuan yang sangat modis di kelas Liqa."Iya, silahkan! Sebutkan nama!" Keenan merespon pertanyaan Linda."Nama saya Linda, mau tanya, Pak Keenan masih single atau sudah punya pacar?" tanya Linda, beberapa perempuan di kelas ini mengacungkan jempol pada Linda."Padahal aku juga mau tanya kayak gitu, Lin," celetuk Brina, yang nama panjangnya Sabrina."
"Siapa yang nyebelin?" tanya Arman dengan agak keras hingga didengar oleh Keenan. Keenan pun menoleh ke arah Arman, tapi Arman tidak menyadarinya. Tanpa sengaja Liqa menatap ke arah Keenan, yang sedang menatapnya dan Arman, Liqa langsung gelagapan."Eh, nggak ada. Nggak apa-apa," jawab Liqa dengan gugup."Kok hanya separuh saja yang mengumpulkan? Yang lainnya?" tanya Keenan. Semua tampak terdiam, terutama yang belum mengumpulkan tugas."Ingat ya, yang tidak mengumpulkan tugas, tidak bisa mengikuti ujian. Tanda tangan inilah yang nantinya bisa digunakan oleh Pak Wira, dalam menentukan siapa yang bisa ikut ujian dan siapa yang tidak bisa ikut ujian." Keenan melanjutkan berbicara sambil menunjukkan tanda terima pengumpulan tugas."Pak, bisa mengumpulkan besok nggak?" tanya Mira."Harus hari ini, begitu pesan Pak Wira." Keenan menegaskan lagi."Salsa, gimana dong? Kita belum sempat membuatnya," kata Andin pada Salsa. Ia tampak sangat cemas."Tenang saja, nanti aku akan bilang sama Mas Kee
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan