Untuk kesekian kalinya Rita mendengar hal itu, namun dirinya sendiri tidak pernah mengetahui langsung perkara sang mertua ingin mencarikan istri muda untuk sang suami. Suaminya sendiri, Apriyanto juga tidak pernah menyinggung hal itu dengannya. Jujur, sebagai wanita biasa walau tak ingin mempercayai hal itu, tetap saja membuat dirinya cemas. Bahkan kini muncul rasa curiga di hatinya, dan rasa itu semakin kuat seiring berjalannya waktu. Sudah sering ia mencoba meredam rasa khawatir dan curiga itu supaya tidak terjadi tentu saja, namun dengan seringnya sang suami pergi keluar kota demi mengurus ladang dan kebun warisan ayahnya turun temurun tak ayal membuatnya curiga. Menepis rasa curiga dengan berpikir bahwa dirinya hanya kesepian itu bukan perkara yang mudah. Bagi Rita, mendengar suara bayi dan anak-anak di rumah mertuanya saja sudah membuatnya sedih dan terharu. Dua kali kehilangan membuatnya takut untuk memiliki momongan lagi tapi juga rindu memiliki anak dari rahimnya sendiri.
Arka mematikan layar laptopnya saat bersamaan pintu kantornya terbuka muncullah sang ayah, Bisma. “Tumben Ayah mampir, bukannya Ayah akan mempercayakan urusan kantor sepenuhnya kepada Arka?” “Tentu saja. Ayah hanya penasaran kepada kamu membatalkan kepindahan ke kantor cabang?” tanya Bisma seraya mendudukkan diri di seberang meja sang anak. “Kekasihku akan pindah ke sini, Yah.” Bisma menyipitkan matanya. “Jangan main-main Arka. Ingatlah dia sudah menjadi istri orang.” Arka menggeleng cepat dan yakin disertai seringai lebar di wajahnya. “Tidak akan lama lagi, dia akan menjadi janda.” “Bagaimana kamu bisa seyakin itu?” “Ayah masih ingat bukan saat aku bersumpah akan merebutnya dari Apri jika pria itu melukainya?” “Iya. Kamu mengatakan dengan sangat yakin saat itu. Tapi itu kan saat kalian bahkan baru lulus kuliah. Ingat Arka, Apri itu sahabatmu.” “Justru karena dia sahabatku dan merebut wanita yang aku sukai maka dari itu aku tidak akan tinggal diam. Dia melukai, Ritaku.” “Apa
Rita mengunci mulutnya rapat-rapat sejak pengumuman yang diberikan oleh Arka tadi. Ia masih kebingungan menelaah semua yang sedang terjadi di depannya saat ini. Pria yang menjadi alasan dirinya menerima pinangan Apriyanto Suhardiman kembali hadir. Lebih tampan, matang dan jelas rupawan dari gambaran terakhir yang masih diingat oleh Rita. Benci pun rasanya mustahil dilakukan olehnya, karir yang susah payah ia bangun bisa berakhir saat ini juga dirinya bereaksi berlebihan. Rita tidak mungkin akan melakukan hal tersebut, karir ini adalah satu-satunya pegangan untuknya agar tetap berpikir waras dan menjadi penghiburannya. Arka sebagai pimpinan pemilik perusahaan tempatnya bekerja, jelas tidak diketahui. CEO yang selama ini menjabat bukanlah pria itu apalagi ayahnya. Bisma Chandara selama ini juga tidak pernah terlihat di kantor pusat. Itulah yang membuat Rita berasumsi tempatnya bekerja tidak ada hubungannya dengan keluarga Chandara. Matanya mengerjap panik baru mengingat bahwa di mobi
Rita membaringkan tubuh lelahnya begitu saja di atas ranjang, bahkan kedua kakinya masih tergantung di tepi ranjang. Ia tidak menyangka pertemuan dengan Arka hari ini walau cukup hangat ternyata menyedot banyak energinya. Beban di pundaknya seolah menguap dan itu membuat fisiknya merasakan kelelahan yang sangat. Rita tahu pasti bahwa selama ini ia sudah berusaha sangat keras untuk mengisi waktu dengan bekerja.Hanya ini hiburan untuknya, sampai ia baru menyadari berjauhan dari suaminya dalam waktu yang lama terasa biasa saja. Rita membuka matanya lebar-lebar dan terduduk dengan cepatnya. Jantungnya berdetak kencang saat memikirkan sang suami tetapi tak merasakan getar kerinduan itu. Berbeda saat sosok tinggi nan gagah itu yang berjalan menjauh. “Gila. Kenapa harus dia sih?” omel Rita kesal dengan apa yang terjadi hari ini dan juga perasaannya. Rita lantas membersihkan diri dan dengan memakai jubah mandi segera menggapai ponselnya yang terlihat bergetar. Ia pun menyunggingkan senyum,
Matahari sudah condong ke ufuk barat saat Rita menginjakkan kaki di halaman rumah mertuanya. Dahinya mengkerut semakin dalam saat ia melihat dengan gagah mobil suaminya sudah bertengger di dalam rumah. Lebih mengherankan lagi adalah suara gelak tawa yang terdengar dari ibu mertuanya. Tidak ada bayi di rumah ini, lalu anak siapa yang sedang ditimang ibu mertuanya saat ini?"Sebentar lagi Bundamu pulang. Dia pasti senang menyambutmu," ujar Rakmi kepada bayi dalam pelukannya."Bu, anak siapa itu?" tanya Rita dengan nada yang ia usahakan tampak baik-baik saja. Menutupi desiran tidak menyenangkan yang seketika membebani hatinya.Rakmi membalikkan badan dan tersenyum dengan ceria ke arah Rita. Kali ini benar dugaannya ada sesuatu yang tidak beres. Pasalnya selama dirinya menjadi menantu di keluarga ini, tidak pernah sekalipun ibu mertuanya tersebut tersenyum lebar seperti ini kepadanya. Bahkan dulu saat ia hamil, ibu mertuanya tidak tampak antusias dan saat ia keguguran pun tidak ada kalima
Rita kini terduduk di lantai bersandar pada pintu kamarnya yang terkunci rapat. Sementara itu, Aprianto dari luar kamarnya tak henti-hentinya mengetuk pintu dan merayunya agar meluluh.Tak termaafkan, Rita sudah tak sanggup lagi. Pernikahan yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun harus kandas saat ini juga. Rita jelas tak ingin dimadu, terlebih dengan saudara tirinya. Ia sungguh tak habis pikir apa yang terjadi dengan isi pikiran suaminya?“Apri, apa yang kamu lakukan. Bisa rusak itu pintu kamu gedor begitu. Nggak kasihan anakmu kebisingan? Udahlah biarin aja, nanti juga kalau lapar dia buka pintunya.” Suara Rakmi sukses membungkam suara gedoran. Rita sama sekali tak mendengar Apriyanto membuka mulut memberikan balasan kepada sang ibu.“Sayang, buka yuk pintunya? Jangan seperti anak kecil. Ayo semua bisa kita bicarakan,” bujuk Apriyanto dengan nada lembut merayu.Rita memejamkan mata seraya kedua tangannya mengepal keras di sini tubuhnya
“Ada apa Apri!” bentak Rakmi yang bergegas menuju teras. Tatapan melotot marah ia layangkan pada anak lelakinya itu. Lihat saja penampilan Apri yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang tanpa sehelai baju melekat pada tubuhnya.Apriyanto memang baru saja selesai mandi tetapi melihat wajahnya yang kalut dengan rambut basah yang acak-acakan. Rakmi tahu jika Apriyanto masih berselisih paham dengan Rita.“Ada apa denganmu?” tanyanya kini dengan nada rendah, “ngapain sih di sini? Pakai baju saja. Nggak malu kalau sampai dilihat tetangga?”“Rita pergi Bu.”“Apa maksudnya pergi?”“Dia memintaku menalaknya. Dia jelas tidak mau dimadu.”“Ceraikan saja dia,” jawab Rakmi enteng.Apriyanto menatap ibunya dengan tidak percaya. “Maksud Ibu apa? Bukankah Ibu sudah setuju jika aku menikah lagi dan memberikan cucu. Aku masih boleh mempertahankan Rita?”“Itu ‘kan kalau dia mau. Nyatanya sekarang dia pergi ‘kan? Itu menanda
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam. Akhirnya mereka sampai di sebuah Villa bercat putih dari gerbang sampai bangunan utama. Udara segar langsung menyambut paru-paru Rita yang penuh kesesakan. Rasanya sudah sangat lama ia tidak menghirup aroma kesegaran asli seperti ini. Tanpa polusi dan dinginnya angin dini hari tengah menyapa. Ia mengetatkan jaket yang terpakai dan selimut tebal yang Rita tak tahu dari mana datangnya. Eli sepertinya yang memakaikannya selama dirinya ketiduran dalam mobil tadi. Lampu dalam villa seketika menyala terang dan seorang pria gagah rupawan membukakan pintu dan berdiri di teras.“Kenalkan ini anak saya, Wahyu,” ujar Eli sementara Yuda sibuk membawa masuk barang bawaan mereka.“Saya Wahyu, pemilik vila.” Uluran tangan dari Wahyu disambut oleh Rita sesaat. “Sepertinya Bu Rita memang sudah sangat capek. Mari masuk, saya sudah siapkan wedang jahe sebelum kita semua melanjutkan tidur.”Rita masih
Arka terdiam di dalam mobil saat sebuah mobil polisi berhenti di belakangnya. Dadanya bergemuruh hebat, ia sungguh yakin tidak ada seorangpun yang menghubungi polisi. Nathan juga tadi sudah tidur di kamar tamu. Sorot senter mengenai kaca mobil hingga membuat matanya silau. Arka berusaha mengangkat kedua tangannya guna menghalau sinar senter tersebut agar bisa melihat siapa orang yang berada di luar sana.Kunci pintu terbuka tiba-tiba secara otomatis bersamaan dengan pintu belakang mobilnya terbuka tiba-tiba dan sosok serba hitam menjerat lehernya dengan kabel ulir.Arka berusaha meronta dan menghalau kabel tersebut, menahan dengan tangannya seraya tangannya yang lain berusaha meraih sosok yang berada di belakang. Saat ia berusaha meloloskan diri, tak berselang lama terdengar suara tembakan dari belakang mobilnya. Orang yang memegang senter menyilaukan itu roboh dan suara langkah tergesa yang sangat dikenalnya mendekat ke arah mobilnya."Lepaskan jerat itu atau a
"Engh … engh … engh …!" Deru napas Ambro menggebu dengan geliat tubuh yang terbatas. Ambro tahu ada suara mendesis hewan melata tak jauh darinya.'Jangan biarkan ularnya dekat-dekat Ambro, Tuhan! Ambro takut digigit!'Kaki dan tangan anak itu dalam keadaan telanjang dan menggigil terikat di sebuah kursi dengan mulut pun juga terikat. Ia tak bisa berteriak karena juga tak tahu di mana kini berada. Hanya terdengar tetes suara air dari keran yang tak tertutup rapat dan suasana di sini senyap, gelap dan sangat dingin, serta badan pun terasa nyeri ditambah lagi ia haus dan lapar.Sejak ia sadarkan diri lima jam yang lalu, dirinya sendirian. Takut pasti, tapi bagaimana lagi. Ia tahu sang ibu dan saudara-saudaranya pasti tak ada di sini.'Tuhan, Ambro takut. Mamak mana, Tuhan? Ambro nggak mau mati. Kasihan Mamak.'Sementara itu di luar bangunan gudang terbengkalai itu. Narto duduk di bawah pohon menatap kosong ke arah langit malam. Ra
Pengintaian di beberapa titik dan rumah yang sering disinggahi oleh Narto masih tidak membuahkan hasil. Pria itu seperti tertelan bumi bersama dengan Ambro si bocah kecil."Bagaimana apa terlihat pergerakan di dalam rumah?" tanya Michael Alsaki pada anak buahnya."Tidak ada, Ndan. Sudah pasti anak itu dibawa pergi.""Geledah rumahnya.""Siap, laksanakan."🌺Arka duduk termenung di teras belakang rumah Daya. Malam semakin menua, seharian ini ia hanya di rumah menemani kekasih hati yang terguncang hebat. Selain Ambro yang belum diketahui keberadaannya, Arka juga harus menahan diri untuk mencari Narto yang sampai detik ini belum menghubungi entah apa maunya, sementara Entin dan anak-anaknya sekarang berkumpul di sini. Biarkanlah polisi yang bekerja walau hatinya tak tenang.Ingin ikut membantu pun, hati tak tega meninggalkan Rita dan Eshan yang sangat terpukul. Putranya tampak sangat kehilangan sang sahabat. Eshan mengurung diri di kama
"Kamu tidak mengerti, tidak akan pernah bisa mengerti karena apa? Karena otakmu yang kecil itu hanya berisi tentang bule bangsat itu. Bisa-bisanya kamu masih memikirkan dia setelah jadi istriku. Kamu pikir aku nggak tahu, jika kamu sering menyebut namanya selama kita menyatu?! Hah!Jawab aku Rakmi! Kamu pikir aku nggak tahu kamu nggak pernah setia! Buktikan kalau aku salah. Aku yang sudah terzolimi di sini maka dari itu aku harus memiliki semuanya, aku sudah bekerja sangat keras untuk memajukan perkebunan ini. Dia hanya pemilik tanah. Kamu dengar itu Rakmi, laki-laki pujaanmu itu hanya pemilik tanah, aku akan hancurkan dia bahkan Daya dan anak keturunannya tidak akan mendapatkan apapun," tukas Yusuf Suhardiman."Mas, jangan begitu. Kasian dia, Mas.""Halah … sok aja kamu hanya mencoba menarik simpatinya saja. Dia tidak akan pernah berpaling kepadamu. Kalau bukan aku yang menikahi kamu, nggak ada orang yang mau sama kamu. Das
Satu hari sebelumnya"Aku mau kamu membawa pergi jauh Ambro. Jangan sampai Rita menemukan anak itu. Kalau perlu kamu matikan saja dia."Percakapan Rakmi yang membelakangi Apriyanto membuat pria itu yang awalnya melamun tentang penyesalan kedatangan Rita dan bagaimana akhir dari wanita yang dicintai malah berseteru dengan sang ibunda sadar dari lamunannya."Iya habisi saja dia. Seharusnya kamu sudah lakukan itu sejak dulu. Aku tidak mau punya cucu penerus dari rahim Rita.""Ibu apa maksudnya itu?" tanya Apriyanto yang kini duduk di bangku, "apa aku masih punya anak? Bukankah anakku sudah mati?""Iya anakmu sudah mati," jawab Rakmi tenang seraya menyimpan kembali ponselnya."Ibu bohong! Aku tahu anakku masih hidup. Maka dari itu aku akan membuat perjanjian dengan Rita.""Kamu sudah gila!" bentak Rakmi dengan mata melotot ke arah Apriyanto."Ibu yang gila," balas Apriyanto dengan gerakan."Lancang kamu Apri
Rita bersedekap duduk di kursi anyaman rotan yang berada di dalam kamar Arka. Pikirannya mengembara pada kejadian seharian kemarin yang sangat menguras fisik dan mentalnya sekaligus mengguncang batinnya dengan segala peristiwa yang terjadi. Perseteruan dengan Rakmi sampai pada pengakuan Yesi yang sudah ia perkirakan dan tetap membuat dirinya sangat kecewa serta berita baik yang membuktikan bahwa Ambro adalah buah hatinya dengan Apriyanto.Lalu kembalinya Arka dengan raut wajah letih walau terbalut dengan senyum tetapi hal itu tidak bisa menutupi kepekaan Rita, ia sudah berjanji untuk memberikan perhatian untuk pria tercintanya. Rita tak bisa tidur nyenyak, bahkan semalam ia hanya bisa memejamkan mata selama 3 jam setelah kembalinya Arka pada pukul 1 dini hari karena itulah pada jam 4 pagi ini ia duduk menyendiri di kamar Arka."Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang? Kamu nggak tidur?" Suara serak Arka, ciri khas bangun tidurnya memenuhi malam yang hening.Rita y
"Jika kamu memang masih ingin membantu Yesi dan anak-anaknya, tolong jauhkan mereka dari cucuku. Mama nggak mau sampai Eshan terpengaruh omongan yang tidak-tidak. Bagaimanapun ada gen Rakmi di tubuh mereka," tegur Daya begitu Rita selesai menemani Eshan tidur siang.“Cucuku masih sangat polos untuk direcoki urusan orang dewasa. Sebaiknya kamu pindahkan mereka atau Mama yang mencarikan tempat tinggal lainnya,” tambah Daya.Rita melirik ke arah dapur tempat Yesi berada sedang bercengkrama dengan Eli dan pengurus rumah tangga sebelum meraih tangan Daya dan mengajaknya masuk ke kamar mamanya.“Ma, sebelum Rita menjawab hal itu sebetulnya ada apa? Kenapa Mama meminta kami ke sini?”“Janu yang menyuruh.”“Abang Janu? Kenapa?”“Kamu tahu tidak di mana Arka?”“Sedang meninjau gudang yang terbakar bersama Abang Kenzo.”“Itulah sebabnya, Janu meminta kalian ke
"Brengsek! Bisa-bisanya Apri menuduhku sengaja kecelakaan. Otaknya memang sudah tidak beres," sungut Rita dalam perjalanan pulang dengan Erwin.Erwin tak mengucapkan sepatah katapun melihat sendiri kondisi Apriyanto memang bisa dikatakan demikian. Bisa jadi pria itu memang sudah mengalami depresi mendalam. Apalagi ada ibunya tadi datang, Apri sempat mematung tidak percaya jika sang ibu akan kembali berhadapan dengan Rita dan juga Rita yang ia ketahui selama ini sebagai wanita pengalah bisa begitu berani membalas Rakmi.“Apa yang akan kamu lakukan pada mertuamu itu?”“Kami masih mengumpulkan bukti dan sepertinya nanti Mama dan Abang yang akan turun tangan langsung.”Erwin mengangguk. “Ya, sebaiknya kamu berkonsentrasi dulu untuk masalah perceraian dan anak. Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan si Arka?”Rita mendesah dan menunjukkan raut wajah bersalah. “Jujur aku sampai lupa waktu membangun kemesraan denganny
Deru napas semakin memburu, kedua tangan mengepal erat di samping tubuh."Siapa kaki tanganmu?" tanya Rita, dingin sedikit bergetar karena emosi yang semakin membumbung tinggi, sementara batinnya tidak karuan."Kaki tanganku? Yang menyingkirkan anakmu atau calon suamimu dulu?" balas Apriyanto tak kalah datar dan dingin.'Anak?!'Punggung Rita sudah lembab bukan gerah tetapi karena keringat dingin yang mengalir. Matanya melotot tajam terlihat jelas kecewa, sakit hati dan amarah hingga titik peluh menghiasi wajahnya."Jadi kamu tahu siapa yang menabrakku sampai anakku mati, hah?!"Gelegar tawa membahana dari kamar khusus di mana Apriyanto ditempatkan. Apriyanto yang awalnya memunggungi Rita segera berbalik tapi tidak beranjak dari tempatnya duduk bersila di atas ranjang.Seraya menunjuk ke arah Rita, ia berkata, "Kamu yang ceroboh sampai bisa tertabrak! Kamu yang sok mandiri supaya mendapatkan perhatian lebih dari ibuku, sengaja melakuk