“Apa kau sudah gila, Raffael?! Cepat! Suruh pelayan itu menggugurkan kandungannya!” seru seorang pria paruh baya, dari dalam ruang kerjanya.
Bahkan Visha masih bisa mendengar jelas teriakan Tuan Gregory terhadap tuan muda mereka, padahal pintu ruangan itu tertutup rapat.
Gadis itu mencengkeram kerah seragam pelayan yang dikenakannya, mencoba menguatkan diri menghadapi kenyataan bahwa majikannya—Tuan Gregory dan Nyonya Febriella tidak merestui hubungannya dengan Raffael—sang putra tunggal.
“Tapi, Pah, itu anak Raffa! Kandungan Visha juga sudah akan memasuki bulan pertama,” balas suara lain yang sangat Visha kenal.
Itu adalah suara Raffael—pria yang menyatakan perasaan cinta padanya beberapa bulan lalu dan yang kini akan segera berubah status menjadi ayah bagi janin yang dikandung Visha.
Visha menepuk pelan dadanya. Mungkin hati gadis itu sedikit terobati, ketika mendengar Raffael berusaha mempertahankan buah hati mereka. Ia terus berdoa agar kegigihan Raffael bisa menyentuh hati kedua orangtuanya.
‘Aku tidak peduli dengan harta kekayaan, yang terpenting buatku, bisa bahagia bersama tuan muda Raffael dan bayi kami,” batin Visha yang sudah membayangkan dirinya bisa menikahi Raffael.
Tengah larut dalam impiannya, suara bentakan Tuan Gregory membuyarkan lamunan Visha.
“Tidak mau meninggalkan pelayan sial itu, hah?! Tidak ada warisan untukmu, Raffael! Pergi kamu, anak brengsek!”
Mendengar itu Visha pun langsung pergi, takut kalau kehadirannya diketahui keluarga sang majikan. Ia pun percaya pada Raffael kalau pria itu takkan tergoyahkan walau tidak mendapatkan warisan.
‘Tenang saja, aku bisa bekerja paruh waktu untuk menjaga keluarga kita, tuan muda Raffael,’ batin Visha dengan tekad membara.
Visha terlihat memasuki kamar sang tuan muda, karena mereka sepakat akan bertemu di kamar itu setelah Raffael memberitahu orangtuanya bahwa ia menghamili Visha dan berniat untuk bertanggung jawab atas perbuatannya itu.
Tak lama setelah Visha duduk di pinggir tempat tidur, pintu kamar tersebut dibuka. Seorang pria dengan perawakan yang tinggi dan bertubuh atletis, masuk dengan wajah datar.
“Tuan muda Raffael!” seru Visha yang langsung menghampiri pria itu.
Wajah datar Raffael langsung berubah menjadi raut bahagia ketika ia ingat kalau mereka memang berjanji akan bertemu di sini.
Ia pun tersenyum sambil mengusap lembut kepala Visha, lalu bertanya “Kau sudah di sini, Visha? Sudah makan? Kau sudah minum susu untuk kandunganmu?”
Hati Visha jelas membuncah dengan kebahagiaan, menerima perhatian bertubi-tubi yang dilontarkan Raffael. Ia mengangguk dengan senyuman lebar terulas di wajahnya sambil menjawab, “Aku sudah meminumnya sebelum ke sini.”
Tangan Visha melingkari tubuh Raffael, meminta pria itu memperhatikannya lebih lagi. Tapi sepertinya wajah Raffael tidak setuju dengan apa yang dilakukan Visha.
Visha menebak dalam hati, ‘Pasti keputusan untuk menolak warisan itu, membuatnya cukup kaget. Aku harus bisa menjadi tempat sandarannya.’
Gadis itu pun melepaskan tangannya pelan-pelan sambil melemparkan senyuman manisnya, yang menurut Raffael sangat cantik dan selalu membuatnya terpesona.
Visha bertanya—pura-pura tidak tahu, “Bagaimana hasil pembicaraannya? Apa ada yang ingin kau diskusikan denganku?”
Gadis itu berpikir mungkin saja Raffael ingin membicarakan soal tempat tinggal mereka atau bagaimana mencari pekerjaan nanti.
Tapi Raffael tersenyum singkat sambil mengajaknya ke tempat tidur. “Ya, tapi sebaiknya kita bicarakan besok. Aku lelah sekali, Sayang.”
Visha pun menurut dan masuk ke balik selimut itu.
Hari memang telah gelap dan ia sendiri sudah lelah dengan pekerjaannya hari ini. Dengan senyuman bahagia, Visha menutup matanya sambil berharap dalam hati, ‘Esok pasti lebih indah.’
Tak lama bagi Visha untuk terlelap di ranjang Raffael. Tapi tidak bagi si pemilik ranjang.
Dengan perlahan, Raffael beranjak dari sisi Visha dan berjalan menuju ke teras di luar kamarnya.
Febriella—ibunda Raffael, sudah memerintahkan anak laki-lakinya itu untuk menemuinya di teras, setelah Visha terlelap.
Karena pintu teras terbuka, angin dingin pun masuk membangunkan Visha yang baru saja terlelap. Ia mengerutkan dahinya sambil menggosok mata, mencoba mencari tahu kenapa ada angin di dalam kamar yang seharusnya tertutup itu.
Netranya menjelajah ruang kamar Raffael dan Visha mendapati kenyataan bahwa Raffael tidak ada di sampingnya. Tapi ia menemukan dari mana sumber angin itu berasal.
Ia mendengar suara percakapan dan menjadi penasaran karena tidak terlalu jelas terdengar. Perlahan, Visha turun dan mencoba mencuri dengar percakapan yang ternyata bersumber dari suara Raffael dengan seorang wanita yang ia yakini adalah majikan perempuannya.
“Mama yakin, obat itu akan langsung membunuh janin dalam kandungan Visha?”
Febriella menepuk tangan Raffael dari seberang teras kamar di sebelahnya sambil berkata, “Yakin, Raffa. Kau tak boleh kehilangan warisanmu. Oke?!”
Deg!
Seperti ada air es yang mengucuri tengkuknya, Visha bisa merasakan desir dingin yang menjalar menuju ke setiap ujung tubuhnya. Seolah rohnya sebagian meninggalkan tubuhnya, mendengar percakapan mereka.
Visha mendengar Febriella menambahkan, “Campurkan ke susu yang biasa perempuan itu minum.”
“Ya, Mam. Raffa paham.”
Menyadari bahwa percakapan itu akan segera selesai, Visha pun berlari kembali ke dalam selimutnya dan pura-pura tidur.
Degupan jantungnya masih terdengar di dalam telinganya, seperti genderang perang.
Matanya panas, mencoba menahan air mata yang sejak tadi tetap saja meleleh keluar dari kelopaknya.
‘Jangan sampai aku terisak!’ pintanya pada dirinya sendiri.
Dan segera, satu jam berlalu. Ia bisa mendengar dengkur halus Raffael yang menandakan dirinya sudah terlelap.
Dengan sangat hati-hati, Visha keluar dari selimutnya dan pergi kembali ke kamarnya. Dikemasinya semua barang-barang penting miliknya ke dalam sebuah tas selempang.
‘Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi.’ Seperti itulah batin Visha bergemuruh dengan ketakutan dan juga amarah.
Visha tidak mau berdosa dengan menggugurkan kandungannya. Ia teringat bagaimana dirinya juga adalah anak yang tak diinginkan, sampai pada tahap di mana Visha akhirnya di jual ke keluarga ini.
Tanpa menoleh ke belakang, Visha pun segera keluar dari kediaman Adinata melalui pintu belakang.
Hampir setengah jam lebih, Visha berjalan. Ia mulai tidak kuat untuk terus berlari sambil membawa tas besar di bahunya.
Ia memutuskan untuk beristirahat di trotoar dekat dengan sungai besar, berharap ia sudah cukup jauh dari kediaman Adinata.
Sambil menenggak minumannya, Visha berdoa, ‘Kuharap dia tidak menyadari kepergianku.’
Baru saja ia menutup botol minumannya, tiga orang pria dengan pakaian hitam-hitam menghampirinya dan langsung mencengkeram lengannya.
“Si—siapa kalian?!”
“Nona Visha. Kami diperintahkan untuk membawa Anda kembali ke kediaman Adinata!”
“Tidak! Tolong aku—umph!Hmm!Hmm!” Visha mencoba melepaskan diri dari cekalan tangan mereka tapi ia terlalu lemah.
Merasa hidupnya sudah akan berakhir, ia pun tak lagi melawan. Namun baru saja ia akan menyerah, tiba-tiba ada seseorang yang memukuli mereka hingga cengkeraman itu terlepas dan Visha bisa menjauh dari mereka.
Dengan cepat Visha bersembunyi di balik tempat sampah sambil mengamati perkelahian itu. Ia terkejut melihat betapa cepatnya pria itu menumbangkan ketiga orang tadi.
Setelah pria itu selesai dengan mereka, beberapa orang datang dan mengurus ketiga orang penyerang tadi, sementara sang penolongnya sudah berdiri di depan Visha sambil mengulurkan tangannya.
“Nona Visha, ayo kita pergi,” ajak pria itu.
Tapi netra Visha membulat terkejut. Ia semakin takut dengan keberadaan si penolong karena sejak tadi, ia tidak merasa kalau dirinya sudah menyebutkan nama.
Dengan bibir bergetar, Visha tergagap, “Tu—tuan siapa? Ba—bagaimana Tuan bisa tahu na—nama saya?”
“Saya Javier Black, Nona Visha.” “Sa—saya tidak ke—kenal Anda.” Visha mulai bergerak mundur, mencari celah untuk kabur, tapi tangan Javier yang kekar sudah menangkap pergelangan tangannya. “Nona, jangan takut. Saya datang untuk menolong Anda.” Javier mencoba meyakinkan, tapi wajahnya yang terlihat sangar itu jelas tidak mendukung ucapannya. “Saya adalah penjaga Anda, Nona.” Netra Visha membulat kaget mendengar perkenalan pria yang baru saja menyelamatkan dirinya dan janin dalam kandungannya itu. Visha mencoba memastikan lagi apa yang didengarnya, tapi suaranya masih saja tergagap, “Pe—penjaga?!” Pria bernama Javier itu mengangguk. “Sebaiknya kita segera pergi dari sini, Nona Visha. Bos besar menunggu Anda.” Tanpa menunggu persetujuan dari Visha, Javier pun segera membawakan tas besar yang sejak tadi diselempangkan di bahu Visha. Tak hanya itu, pria itu pun membopong tubuh Visha, membuat gadis itu melonjak kaget. Ia pun memekik lantang, “Turunkan saya!” “Maaf Nona. Saya ditugas
“Sa—saya—“Mendengar itu, Javier pun memotong langsung, “Nona Visha, Bos adalah ayah kandung Nona. Tidak ada lagi yang akan melukai Nona”Lagi-lagi ucapan Javier membuat Visha membelalakkan matanya. Ia menatap Javier lama sekali, seolah mencari tanda, kalau-kalau pria itu sedang memperdayanya.Tapi yang ia dapat hanyalah tatapan datar dan dingin dari Javier.“Gak mungkin ...,” gumam Visha.Gadis itu mengintip dari balik bahu Javier dan menatap pria tua berwajah sembab yang mengklaim dirinya sebagai putrinya.Javier sendiri berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar karena tubuh Visha yang terlalu dekat dengannya.“Matanya biru. Jelas bukan orang Jakarta,” gumam Visha yang menuai dengkusan geli Javier.Visha menarik mundur tubuhnya dan melempar tatapan kesal dan mempertanyakan kenapa Javier mendengus padanya.“Mata Nona juga biru,” ujar Javier mengutarakan sebuah kenyataan.Baru saja Visha akan membalas ucapan Javier, pria tua yang adalah bos dari Javier itu kembali berseru, “Javier
“Ya, Sayang,” ucap Luca mengangguk, mengiyakan keterkejutan Visha.Ia melanjutkan, “Ketika kami menemukanmu di kediaman Adinata, orang yang kuminta mengawasimu memberitahu bahwa kau terlihat bahagia di sana. Ayah berpikir, tak perlu lagi membebanimu dengan kenyataan bahwa kau adalah seorang anak mafia.”Kerutan di dahi Visha pun mulai terlihat. Ia pun menyuarakan kebingungannya, “Memangnya kenapa kalau aku seorang anak mafia?”“Well, sasaran. Kalau mereka tahu aku punya seorang anak gadis, itu berarti kau adalah kelemahanku. Itulah kenapa, dulu aku menikahi Vivien dan tinggal di Indonesia.”Netra Visha membulat takut. “Lalu, bagaimana sekarang?” tanya gadis itu dengan nada panik.Luca tergelak melihat Visha panik. “Tenang saja,” ujarnya.“Saat ini, aku sudah punya fondasi yang kuat untuk melindungimu,” lanjut Luca dengan nada penuh kebanggaan.Luca memeluk Visha lagi, erat, sambil bertanya, “Jadi, sekalian saja kutanyakan padamu, Navisha Cavallo, putriku. Maukah kau ikut bersamaku ke
“Ng ....” Erangan Visha menandakan kesadarannya sudah muncul.Matahari telah tinggi ketika gadis itu akhirnya terbangun karena lapar.Ia pun segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, berharap bisa menghilangkan raut lelah yang masih terlihat di wajahnya.Ketika Visha keluar dari kamar mandi, ia terkejut karena tidak memperhatikan sebelumnya kalau di pojok ruangan sudah ada sebuah rak gantung berisi pakaian yang tak pernah berani ia impikan untuk ia kenakan.Visha melangkah cepat menghampiri rak tersebut dan langsung membolak-balik setiap baju yang tergantung di sana.Netranya membulat kaget melihat nama merek-merek yang tersemat di setiap pakaian itu. Ia pun berseru nyaring, “Wow! Ini merek yang biasa dipakai Nyonya.”Merasa tak mungkin kalau baju-baju tersebut bisa ia gunakan semua, Visha pun mencoba mencari Javier atau siapapun yang bisa ia tanyai.Tapi begitu ia membuka pintu kamarnya, hanya ada Javier di sana. Dengan malu-malu Visha menyapa, “Uhm, ha—halo, Javier.”“Ada
‘Eh?! Bukan suara Javier ...,’ batin Visha dalam hatinya.Dengan tergesa ia pun membuka pintu kamarnya dan mendapati seorang pria tua bermata sipit berdiri di depan kamarnya sambil mengelus-elus janggut panjang di dagunya.“Erm ... ca—cari siapa ya, Koh?”Alih-alih mendapat jawaban, Visha mendengar ledakan tawa bernada dalam di belakang pria tua itu. Tentu saja ia kenal suara berat itu.“Javier!” sentak Visha dengan pipi yang menggembung. Walau demikian, wajah manis gadis berusia 21 tahun itu tetap terlihat mempesona di mata Javier.Pria dingin itu—tak diduga oleh Visha, terus saja mentertawainya, “Ha! Ha! Ha! Nona, ini ... Ha! Ha! Ha! Ini dokter anda—pfft! Oh, gosh! Aku sudah lama tidak tertawa sekeras ini. Sial! Rahangku sakit.”‘Senang sekali sih melihatku bertindak bodoh ... mengesalkan!’ keluh Visha dalam hatinya.Javier meredakan tawanya dan menepuk pundak pria tua yang disebutnya sebagai dokter tadi. Ia berkata dengan nada santai, “Dok, masuklah. Kau harus memeriksa kandungan
“Ya, Nona? Apa yang menyusahkanmu?” Visha mendengus geli. Bukannya dia meremehkan peran Javier dalam melindunginya, tapi karena ia merasa pria itu terlalu perhatian padanya, untuk ukuran seorang anak buah ayahnya. Ia jadi merasa seperti sudah bersikap jahat karena melempar pria itu dengan sepatu. Jadi, ia berkata, “Maaf, soal sepatuku. Aku tidak seharusnya melakukan itu.” Padahal sebenarnya bukan itu yang ingin ia tanyakan. Javier mengangkat salah satu alisnya, heran dengan permintaan maaf yang menurutnya tak perlu. Dia adalah majikannya, apapun yang diperbuat pada dirinya, tidak akan menjadi masalah. Walau demikian Javier mengangguk kaku. “Oke. Aku tak masalah kau mau melempar apapun, selama tidak membunuhku, Nona.” Visha menghela napas panjang mendengar jawaban yang dilontarkan Javier padanya dengan nada super datar. ‘Apa sejak dulu dia seperti ini ya?! Bagaimana mau punya pacar kalau kaku begini?!’ keluh Visha dalam hatinya. “Apa ada lagi yang kau butuhkan, Nona Visha?” tan
“... tempat peristirahatan terakhir istri bos, ibu Nona,” ungkap Javier, setelah ia berpikir sesaat, sedikit menimbang jawabannya.Sepertinya ia tidak berencana memberitahu Visha secepat ini. Ia tidak mau merusak suasana sepanjang perjalanan ini.Mendengar jawaban Javier, Visha langsung merasa bersalah.‘Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Apa aku anak yang tidak berbakti? Tapi aku saja tidak ingat siapa ibuku, bagaimana rupa wanita yang melahirkanku itu.’ Visha membatin sambil menunduk.Madoka yang melihat Visha tertunduk sedih itu pun segera menyerahkan sebuah ponsel pintar pada putri sang bos sambil berkata, “Aku punya beberapa video seperti apa ibu Nona. Jangan bersedih, oke?”Visha menyentak naik kepalanya dan menerima benda itu dengan penuh haru. Ia merasa sepertinya Madoka bisa membaca pikirannya.“Te—terima kasih.”“Tak masalah, Nona.”Sepanjang perjalanan Visha pun menonton semua video yang ada di ponsel tersebut. Bukan hanya beberapa video, karena ternyata ponsel itu adalah
“Bos ... nona Navisha sudah tiba.”Salah seorang anak buah Luca membisikkan informasi itu dengan suara sangat pelan, hingga tak seorang pun mendengar. Tak juga wanita tua yang sedang dipeluknya itu.Luca pun hanya mengangguk sedikit, lalu menepuk punggung wanita itu dengan sabar. Ia pun memberitahunya, “Suocera*, cucumu sudah datang.” [*Suocera berarti ibu mertua, dalam bahasa italia]Mendengar ucapan menantu laki-lakinya itu, wanita tua yang ternyata adalah ibu mertuanya—ibu dari Vivien, menyentak kepalanya. Kaget dengan ucapan Luca.Netranya menatap Luca seolah tak percaya. Seolah ia berpikir bahwa Luca sedang memperdayanya. Ia pun mengkonfirmasi ucapan Luca, “Kau sudah menemukannya?!”“Ya, Bu. Kami akhirnya menemukan Navisha.” Luca mengulang kembali ucapannya, meyakinkan sang ibu mertua kalau ia tidak sedang mempermainkannya.Setelah kematian Vivien, keluarga Wijaya semakin tak terjangkau. Tapi ibu mertuanya secara berkala menghubungi Luca, perihal keberadaan Visha.Ibu mertua Luca
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu