‘Eh?! Bukan suara Javier ...,’ batin Visha dalam hatinya.
Dengan tergesa ia pun membuka pintu kamarnya dan mendapati seorang pria tua bermata sipit berdiri di depan kamarnya sambil mengelus-elus janggut panjang di dagunya.
“Erm ... ca—cari siapa ya, Koh?”
Alih-alih mendapat jawaban, Visha mendengar ledakan tawa bernada dalam di belakang pria tua itu. Tentu saja ia kenal suara berat itu.
“Javier!” sentak Visha dengan pipi yang menggembung. Walau demikian, wajah manis gadis berusia 21 tahun itu tetap terlihat mempesona di mata Javier.
Pria dingin itu—tak diduga oleh Visha, terus saja mentertawainya, “Ha! Ha! Ha! Nona, ini ... Ha! Ha! Ha! Ini dokter anda—pfft! Oh, gosh! Aku sudah lama tidak tertawa sekeras ini. Sial! Rahangku sakit.”
‘Senang sekali sih melihatku bertindak bodoh ... mengesalkan!’ keluh Visha dalam hatinya.
Javier meredakan tawanya dan menepuk pundak pria tua yang disebutnya sebagai dokter tadi. Ia berkata dengan nada santai, “Dok, masuklah. Kau harus memeriksa kandungannya, dan memutuskan apakah nona cantik kami ini bisa bepergian dengan pesawat.”
Wajah keriput sang dokter terlihat tertarik ke arah luar, menandakan kalau dirinya terkejut dengan informasi yang diutarakan Javier.
Netranya meruncing, mengamati Visha cukup lama sebelum ia tersenyum lalu berkata, “Ah ... aku sudah lama tak melihat Vivien, sekarang anaknya sudah akan punya bayi?”
Visha menarik tubuhnya sedikit ke belakang, kaget karena dokter itu mengenal nama ibunya. Baru saja ia akan bertanya, tapi Javier sudah mengomentari ucapan dokter tersebut.
“Well, ini dan itu, Pria Tua. Tidak ada hubungannya denganmu. Periksa saja! Dan jangan sekali-kali menyentuhnya. Masuklah, Dokter!”
“Ya, ya, ya.” Dokter itu pun segera masuk setelah Visha memberinya jalan.
Ia pun masih bergumam sambil terkekeh-kekeh, “Aku tidak tahu Javier akan tumbuh menjadi posesif begini. Padahal dulu dia juga lucu dan menggemaskan. Bagaimana caranya aku memeriksa kalau tidak menyentuh, hm?”
Visha hanya ikut terkekeh saja. Karena ada yang lebih menarik perhatiannya dibanding soal Javier.
“Dokter, apa anda mengenal ibuku?” tanya Visha saat mereka sudah berada di dalam kamar.
Dokter itu duduk di kursi yang sudah disediakan Visha di dekat tempat tidurnya, lalu menjawab, “Tentu saja, Nona. Tentu saja. Aku yang membantu persalinannya saat itu.”
“Apa kau masih mengingat semua orang yang kau bantu lahiran, Dokter?”
Dokter itu terkekeh sambil meminta Visha berbaring. Ia sudah memasang stetoskop pada telinganya dan siap mendengarkan suara-suara di dalam tubuh Visha.
Begitupun ia tetap menjawab pertanyaan Visha yang menggelitiknya. Tentu saja ingatannya tidak sehebat itu, apalagi sudah puluhan tahun berlalu.
“Orangtuamu ... meninggalkan kesan yang menarik pada pandanganku sebagai dokter muda kala itu. Datang dengan belasan anak buah, membuat heboh seisi rumah sakit, dan menangisi Vivien yang tertawa karena Luca yang menangis bahagia.”
Hati Visha dibuat hangat oleh cerita masa lalu itu. Ia bisa membayangkan seperti apa suasana kelahirannya saat itu. “Pasti menyenangkan ya?”
Dokter itu hanya tersenyum, tak berkomentar, sementara ia mencatat sesuatu di buku kecilnya setelah mengecek tekanan darah Visha.
Visha mengamati gerak-gerik sang Dokter yang kemudian tertegun sesaat sebelum ia melontarkan pertanyaan yang hampir membuat Visha tersedak.
“Apa ini anak Javier, hm? Kalian dulu sangat dekat kalau kuingat-ingat lagi.”
Mendengar pertanyaan itu, Visha pun langsung terbelalak. Ia pun berseru dengan nada keheranan dan terkejut-kejut, “Tidak! Aku bahkan tidak mengenalnya!”
“Eeeh?! Kau tidak mengenalnya? Apa kau hilang ingatan atau –“
Cklak!
Suara pintu kamar yang dibuka, membuat ucapan dokter tersebut terhenti. Luca masuk dengan wajah sumringahnya sambil menghampiri sang dokter.
Sementara Visha langsung bangun dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Ia belum merasa nyaman berada di dekat pria tua itu. Entah kenapa seperti masih ada dinding yang membatasi interaksi di antara mereka.
‘Mungkin karena ia adalah seorang pemimpin organisasi gelap seperti itu, makanya aku belum terbiasa dengan wibawanya. Kehadirannya cukup mengintimidasi. Aku heran dengan ibuku, kenapa dia bisa menyukai pria ini,’ keluh Visha dalam hati.
Lucunya, Visha tidak merasa seperti itu, jika berdekatan dengan Javier. Pria itu malah lebih membuatnya tenang ketimbang Luca—ayahnya sendiri.
“Dokter Armeyn! Sudah berapa tahun aku tidak bertemu!” seru Luca dengan nada riang sambil merangkulnya singkat.
Dokter itu pun membalas rangkulan Luca dengan pelukan sesaat sambil menyapa dengan nada teguran yang jenaka, “Kau juga ke mana saja, Luca, Hm?”
“Nah, banyak yang harus kuurus di Italia, Dok. Lalu bagaimana kondisi Visha?” tanya Luca yang sepertinya bermaksud mengalihkan topik pembicaraan.
Dokter itu menjelaskan, “Putrimu sehat, Luca. Kalau mau berangkat, segera saja. Melihat perutnya belum besar, masih tidak ada masalah. Jika berlama-lama, kau harus menunggu sampai kandungan Visha memasuki usia 6 bulan ke atas.”
“Baiklah. Kalau begitu, apa kami bisa segera mendapatkan suratnya, Dok?”
Dokter Armeyn pun mengangguk sambil memasukkan stetoskopnya. “Tentu saja, Luca. Minta Javier mengambilnya di kantorku sore nanti,” imbuhnya.
Ia beranjak dari tempat duduknya dan pamit pada Visha, seolah pemeriksaannya selesai begitu saja. Padahal dokter itu hanya memeriksa detak jantungnya dan tekanan darah.
“Dok, apa pemeriksaan seperti ini cukup?” tanya Visha yang tidak terlalu mengerti dengan kehamilan.
Tentu saja, ini kali pertama dirinya mengalami kehamilan.
Dokter tua itu pun mulai menjelaskan, “Kau sehat, Nona Visha. Tekanan darah dan detak jantungmu normal. Tapi kalau sudah masuk minggu depan, akan lebih tinggi resikonya. Sampai usia kandunganmu 6 bulan.”
“Begitu ya? Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Dokter.”
Setelah selesai dengan pemeriksaan tersebut, Visha pun segera membereskan barang-barangnya lagi dan memasukkannya ke dalam koper yang baru saja dibelikan oleh Javier.
Bahkan pria itu menawarinya untuk membantu membawakan barang-barang yang menumpuk hanya dalam beberapa jam saja. Tentu saja, itu adalah akibat Javier yang membelikannya banyak barang mewah.
Ia bahkan tidak membahas lemparan sepatu Visha yang tadi. tapi gadis itu bisa melihat ada luka kecil di leher belakangnya.
‘Entah apa yang dipikirkan orang ini, sampai membelikanku begitu banyak hadiah. Ayah saja tidak membelikanku apa-apa,’ batinnya sambil sesekali melirik ke arah pintu, di mana Javier merapikan pakaian dari rak gantung.
Tapi menatap pria itu lagi, Visha jadi teringat ucapan dokter Armeyn mengenai masa kecilnya.
“Nona, apa kau membutuhkan bantuan lain?” tanya Javier yang langsung membuyarkan lamunan Visha.
“Ti—tidak.”
Javier mengangguk lalu membalikkan tubuhnya sambil membawa koper tersebut. Namun, tanpa sadar Visha menangkap pergelangan tangan Javier.
Bukan hanya Javier yang terkejut dengan apa yang dilakukan Visha. Gadis itu sendiri mempertanyakan apa yang sedang ia lakukan.
“Nona? Apa anda butuh sesuatu?”
Visha menundukkan kepalanya, tidak tahu harus mulai bertanya dari mana.
“Javier ....”
“Ya, Nona? Apa yang menyusahkanmu?” Visha mendengus geli. Bukannya dia meremehkan peran Javier dalam melindunginya, tapi karena ia merasa pria itu terlalu perhatian padanya, untuk ukuran seorang anak buah ayahnya. Ia jadi merasa seperti sudah bersikap jahat karena melempar pria itu dengan sepatu. Jadi, ia berkata, “Maaf, soal sepatuku. Aku tidak seharusnya melakukan itu.” Padahal sebenarnya bukan itu yang ingin ia tanyakan. Javier mengangkat salah satu alisnya, heran dengan permintaan maaf yang menurutnya tak perlu. Dia adalah majikannya, apapun yang diperbuat pada dirinya, tidak akan menjadi masalah. Walau demikian Javier mengangguk kaku. “Oke. Aku tak masalah kau mau melempar apapun, selama tidak membunuhku, Nona.” Visha menghela napas panjang mendengar jawaban yang dilontarkan Javier padanya dengan nada super datar. ‘Apa sejak dulu dia seperti ini ya?! Bagaimana mau punya pacar kalau kaku begini?!’ keluh Visha dalam hatinya. “Apa ada lagi yang kau butuhkan, Nona Visha?” tan
“... tempat peristirahatan terakhir istri bos, ibu Nona,” ungkap Javier, setelah ia berpikir sesaat, sedikit menimbang jawabannya.Sepertinya ia tidak berencana memberitahu Visha secepat ini. Ia tidak mau merusak suasana sepanjang perjalanan ini.Mendengar jawaban Javier, Visha langsung merasa bersalah.‘Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Apa aku anak yang tidak berbakti? Tapi aku saja tidak ingat siapa ibuku, bagaimana rupa wanita yang melahirkanku itu.’ Visha membatin sambil menunduk.Madoka yang melihat Visha tertunduk sedih itu pun segera menyerahkan sebuah ponsel pintar pada putri sang bos sambil berkata, “Aku punya beberapa video seperti apa ibu Nona. Jangan bersedih, oke?”Visha menyentak naik kepalanya dan menerima benda itu dengan penuh haru. Ia merasa sepertinya Madoka bisa membaca pikirannya.“Te—terima kasih.”“Tak masalah, Nona.”Sepanjang perjalanan Visha pun menonton semua video yang ada di ponsel tersebut. Bukan hanya beberapa video, karena ternyata ponsel itu adalah
“Bos ... nona Navisha sudah tiba.”Salah seorang anak buah Luca membisikkan informasi itu dengan suara sangat pelan, hingga tak seorang pun mendengar. Tak juga wanita tua yang sedang dipeluknya itu.Luca pun hanya mengangguk sedikit, lalu menepuk punggung wanita itu dengan sabar. Ia pun memberitahunya, “Suocera*, cucumu sudah datang.” [*Suocera berarti ibu mertua, dalam bahasa italia]Mendengar ucapan menantu laki-lakinya itu, wanita tua yang ternyata adalah ibu mertuanya—ibu dari Vivien, menyentak kepalanya. Kaget dengan ucapan Luca.Netranya menatap Luca seolah tak percaya. Seolah ia berpikir bahwa Luca sedang memperdayanya. Ia pun mengkonfirmasi ucapan Luca, “Kau sudah menemukannya?!”“Ya, Bu. Kami akhirnya menemukan Navisha.” Luca mengulang kembali ucapannya, meyakinkan sang ibu mertua kalau ia tidak sedang mempermainkannya.Setelah kematian Vivien, keluarga Wijaya semakin tak terjangkau. Tapi ibu mertuanya secara berkala menghubungi Luca, perihal keberadaan Visha.Ibu mertua Luca
“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian di depan pintu kamarku tadi siang.”Luca terkekeh mendengar nada ketus Visha. Bukan berarti ia ingin menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah lagi. Hanya saja, ia ingin memberitahunya saat mereka tiba di Italia.“Yeah? Salahku, Nak. Aku tak bermaksud membicarakan hal seperti itu untuk kau dengar secara tak sengaja. Setidaknya, tiba di Italia, aku berniat memperkenalkan kalian dengan lebih formal, Navisha Sayang.”Visha mengangguk. Ia mencoba menghilangkan rasa minder dalam dirinya, tapi tentu saja, itu bukan yang mudah.Selama ini Visha dibesarkan oleh sepasang suami istri yang sangat miskin. Hidup mereka hanya bergantung pada hasil penjualan barang bekas.Setelah gadis itu tinggal di kediaman Adinata pun, semakin jauhlah ia merasa perbandingan dirinya dengan orang-orang itu.Tak disangka, air mata meluncur membasahi pipinya kala mengingat mantan majikannya itu. Ingatannya langsung membuka kenangan manis yang pernah ia miliki
“Thanks Damian.” Luca menggosok pelan netranya dan segera menyesuaikan dengan cahaya ruang kabin pesawat. Ia menambahkan, “Tolong minta Ludwig menemuiku jam 11 siang nanti, di kantor.” Pria bernama Damian—yang baru saja membangunkan Luca pun mengangguk paham dengan perintah sang atasan. Kalau Javier adalah orang yang paling Luca percayai dalam organisasi Cavallo, maka Damian adalah orang kepercayaannya di perusahaan Viensha—perusahaan yang Luca dirikan untuk mengenang sang istri tercinta. “Apa Visha sudah bangun? Di mana Javier?” tanya Luca pada Damian. “Nona Visha sedang bersiap di kamarnya, Bos. Dan ... Javier ... sedang mengobati lukanya sebentar.” Damian menjawab dengan sedikit keraguan di kalimat akhirnya. Manik mata Damien bahkan bergulir ke samping, tanda ia merasa bersalah atas suatu hal. Tentu saja. Damian lah yang membuat Javier harus menerima pengobatan sederhana. Pria tenang—setenang gunung es itu, sudah menghajarnya karena menggoda Madoka tepat di bawah hidungnya.
“Ha?! Menyusahkan bagaimana, Nona?”Javier menggaruk acak kepala belakangnya, sedikit tak mengerti dengan pertanyaan Visha.“Ayah terlihat tak nyaman membawaku ke kantor. Dia sampai mempertanyakan hal itu padamu.”Mendengar penjelasan lanjutan dari Visha, Javier pun tergelak.Ia kemudian menjelaskan, “Bukan seperti itu, Nona Visha. Bos hanya overprotektif. Kuharap Anda sadar di mana sekarang Anda berada. Italia bukan hanya rumah klan Cavallo, tapi juga rumah musuh yang mengharapkan kemusnahan organisasi kami.”"Lalu, untuk apa ayah bertanya padamu, Javier?" Kening Visha berkerut. Kali ini giliran gadis itu yang bingung.Kekehan jahil pun keluar dari bibir pria kekar yang duduk di samping pengemudi yang sejak tadi diam saja seperti patung itu.Javier pun menambahkan, “Bos bertanya padaku untuk memastikan aku bisa melindungi Nona, kalau-kalau ada musuh yang mengetahui keberadaan anak perempuan dari klan Cavallo.”Mendengar penjelasan Javier, hati Visha terasa lega. Dirinya masih penuh k
“Nyo—nyonya Bianca?” Kerutan di dahi Visha berkumpul. Tapi sebuah pertanyaan lewat di benaknya. ‘Apakah dia istri ayah?’ batin Visha. Bak menjawab pertanyaan yang muncul di dalam hati Visha, Javier berkata, “Ya, Nona. Nyonya Bianca adalah istri Bos Luca. Tidak ada yang membatasi pergerakannya, jadi tidak ada yang tahu kalau beliau sedang ada di sini. Maaf.” Visha pun cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada yang perlu dimintai maaf, Jav. Mungkin memang sudah semestinya aku bertemu dengan beliau.” Javier meletakkan tangannya pada gagang pintu lalu menatap Visha dan bertanya, “Kau yakin?” Terdiam sejenak, Visha pun akhirnya mengangguk diikuti gerakan Javier yang membuka pintu ruangan itu. “Selamat pagi, Nyonya Bianca. Maaf mengganggu. Saya tidak tahu Anda ada di kantor,” sapa Javier sambil membungkuk hormat. “Yeah. Kudengar kalian pulang, jadi aku ingin langsung pergi dengan Madoka. Aku ada acara minum teh dengan istri walikota siang ini—“ Ucapannya terpotong ketika Bianca berbalik dan
'Adikku?! Apakah yang disebut-sebut sudah memberikan laporan palsu atas keadaanku?' Visha membatin panik.Ia belum siap jika harus menghadapi kebencian dari adik yanh tak pernah dikenalnya. Rasanya menakutkan, bertemu orang asing yang tidak kita kenal tapi mengenal seluk beluk tentang kita."Navisha? Ayo, Sayang!" ajak Luca yang berbalik lagi, padahal ia sudah mencapai pintu keluar.Visha pun mengerjapkan netranya dengan cepat sementara tubuhnya bergerak dari kursi, mengikuti ke mana ayahnya pergi. Dengan sengaja, Luca melambatkan langkahnya supaya Visha bisa mengejar ketinggalan dan berjalan di sisinya. "Apa ada yang sedang kau pikirkan, Navisha sayang?" tanya Luca sambil merangkul bahu anak gadisnya itu."Mmm ... aku hanya belum siap bertemu dengan adikku. Aku takut dia tidak menyukaiku."Luca terdiam sesaat. Ia mulai paham kondisi mental Visha. Ia terlihat baik-baik saja namun menyimpan banyak trauma dan rasa tidak aman terhadap sekitarnya.Bagi Luca, hal ini adalah bagian pentin
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu