'Huh? Bahasa Italia kah?' batin Visha saat mendengar kalimat aneh yang diucapkan seorang pria muda berperawakan tinggi.Wajahnya sangat tampan. Terlihat seperti malaikat. Benar-benar tampan. Tidak seperti pria umumnya yang biasa Visha temui.Gadis itu terkekeh dalam hati, karena pikirannya mengejek dirinya sendiri, 'yang selama ini kau temui, kan, laki-laki pengantar galon, supir tua keluarga Adinata. Yang paling tampan ya, Raffael.'Detik kemudian, lamunannya dibuyarkan dengan suara Celez yang bernada tenang."Tuan muda, selamat siang," sapa Celez sambil membungkuk, diikuti oleh Eugene dan Javier.'Wow! Ternyata mereka sangat fasih berbahasa Indonesia. Apa memang bahasa Indonesia sudah jadi bahasa dunia saat ini? Aku tidak terlalu mengikuti perkembangan ini.' Visha keheranan."Ya, Celez." Pria itu membalas sapaan Celez, pun dengan bahasa Indonesia.Tidak tahu harus berbuat apa, Visha pun ikut membungkuk ke arah seorang pria muda yang kemungkinan besar adalah adiknya.Lagipula, Celez
"Aku lapar, Jav. Apa Eugene sudah datang?" Visha terlihat tersipu, karena Javier terkekeh mendengar pertanyaannya. "Tak perlu menunggu Eugene, kalau memang Nona sudah lapar. Ayo, kuantar ke ruang makan." Javier mengedikkan kepalanya dan langsung mendapat anggukan dari Visha.Ia segera menutup kamarnya dan menyusul langkah Javier yang sudah lebih dulu berjalan."Jav, kenapa semua orang di sini bisa bahasa negara Indonesia? Aku bahkan baru menyadari kalau kau bukan orang Indonesia. Benar, kan?" tanya Visha sambil menyusuri lorong yang sama seperti yang ia lewati saat tiba tadi.Javier pun tersenyum. Ia sudah menunggu-nunggu kapan Visha akan menyadari hasil didikan Luca atas semua orang yang bekerja di bawahnya."Dari cerita ayah, bos sengaja melatih semua orang berbahasa Indonesia, ketika ia jatuh cinta pada nyonya Vivien. Beliau tak ingin nyonya merasa tak nyaman dengan orang berbicara bahasa asing disekitarnya," jelas pria kekar itu sambil mengingat-ingat lagi bagaimana dulu mereka b
"Bianca ... kau sudah datang?" sapa Luca santai, tapi tubuhnya masih melekat di sofa.Sementara Visha langsung berdiri dan membungkuk hampir 90 derajat, memberi salam pada wanita paruh baya yang adalah ibu sambungnya itu, "Selamat siang, Mama.""Navisha, Sayang. Ayo kita makan. Maaf, mama membuat kalian menunggu. Lihat ayahmu merajuk karena lapar." Bianca mengulurkan tangannya dan meraih pergelangan tangan Visha, mengajaknya ke meja makan.Sementara netra Visha menatap sang ayah. Dan ia lega melihat ayahnya tersenyum bahagia.'Dia pasti tenang karena mama sepertinya bisa menerima kehadiranku.' Visha membatin sambil mengikuti arahan Bianca untuk duduk di tempat yang sudah disiapkan.Javier sendiri berpikir akan melangkah menemani Visha, tapi Luca menghalanginya."Jav! Biarkan saja. Kau bisa keluar dan berjaga ... atau makan siang. Ada aku di sini," perintah Luca pada Javier.Mulut Javier baru saja terbuka hendak protes, tapi Luca sudah melangkah menuju meja makan. Ia akhirnya memutuskan
“Tidak, Papa!” Jawaban Ernesto terdengar lantang dan jelas. Pun spontan. Bagi Luca, hal itu sudah cukup membuktikan teori Dominic—anak buahnya yang selalu dipanggil dengan sebutan Dom, bahwa ada orang lain yang melakukan intervensi terhadap laporan Ernesto. “Baiklah. Kau bisa pergi, Ernesto. Kuharap kau tidak mengulang kesalahanmu ini. Aku melepaskanmu kali ini saja, karena Visha berhasil diselamatkan oleh Javier.” Mendengar keputusan sang ayah, Ernesto pun segera memeluk pria tua itu dan berterima kasih berulang kali. “Pergilah. Papa akan mencari kakakmu.” Ernesto mengangguk. Ia tak berani meminta untuk ikut karena tidak mau membuat sang ayah kembali marah padanya. Sepeninggalan Ernesto, Luca berbalik untuk menenangkan diri, menatap foto Vivien di rak belakang meja kerjanya. Ia selalu melakukan itu—mengingat kenangannya dengan Vivien, kala emosi menguasai dirinya. “Vivien … aku berhasil menemukan Navisha. Andai kau ada di sini, Sayangku Vivien,” gumamnya sambil meraba bingkai
“Aku … akan berusaha belajar dengan giat, Ayah.Setelah hening sesaat, akhirnya Visha mengutarakan niatnya itu, walau dengan berbagai keraguan. Ragu pada dirinya sendiri, pada kemampuan otaknya dan pada kekuatan hatinya.Bagi Visha, selama menjadi pelayan keluarga Adinata, tak pernah sedikitpun ia memimpikan akan lepas dari pekerjaan itu. Apalagi menjadi seorang anak dari keluarga kaya seperti ayahnya.“Terima kasih, Navisha Sayang.” Luca memeluk anak gadisnya itu dengan penuh syukur.Ia kemudian melontarkan sebuah pertanyaan yang sedikit mengganggunya. “Visha, Nak. Apa kau nyaman tinggal di rumah ini? Atau kau lebih senang tinggal sendiri di apartemen?”Wajah Visha terlihat kaget dengan pertanyaan sang ayah. Tetapi, ia belum bisa memastikan hatinya. Tentu saja, tinggal di tempat asing terasa tidak nyaman pada awalnya. Tapi Visha memang baru menginjakkan kakinya di tempat ini kurang dari satu hari.‘Kurasa ini ketidaknyamanan yang normal.’ Visha membatin.Ia kemudian memutuskan, “Ayah
“Ha! Tak kenal maka tak sayang, eh? Seperti itu kalau tak salah Vivien pernah mengatakannya pada bos kami dulu.”Kerutan di dahi Visha terbentuk.Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di dalam kepala Visha. ‘Siapa mereka?! Bagaimana mereka bisa tahu nama ibuku?! Apa hubungan ibuku dengan bos mereka?!’“Ba—bagaimana kalian tahu nama itu?!” tanya Visha tergagap.Ketiga pria itu pun segera mendekat dan langsung mencengkeram lengan atas Visha sambil berkata, “Tidak penting bagaimana kami tahu. Tapi yang terpenting, kami sudah mendapatkan kelemahan Luca Cavallo. Ha! Ha! Ha!”Dengan paksa Visha ditarik keluar dari ruang ganti menuju ke luar gedung butik itu. Netra Visha sibuk mencari keberadaan Bianca, tapi ia tak dapat menemukannya.Namun detik berikutnya ia melihat sang ibu juga di tarik keluar oleh orang-orang yang berpakaian sama seperti yang menariknya.Bianca terlihat berteriak dan mengancam mereka karena berani menyentuhnya. Tapi sepertinya orang-orang itu tidak peduli.“Sial! Per
"Kau dengar itu, Madoka?!” ujar Javier sambil mengepalkan tangannya. Ia sudah tidak sabar untuk menghajar orang-orang Allaster itu. Madoka mengangguk seraya memutar kendali mobil dengan cepat. Mereka berbalik arah, setelah mendengar teriakan Luca di telinga seluruh anak buah Cavallo. Setiap anggota Cavallo memiliki sebuah anting yang bukan hanya dipakai untuk pemanis, tapi juga sebagai alat komunikasi. “Allaster brengsek! Berani mereka menyentuh Nona Navisha seperti itu!” raung Madoka sambil menginjak pedal gas lebih dalam lagi. “Tenang, Madoka! Biar aku saja yang marah. Kau menyetir yang benar!” sentak Javier yang mulai khawatir kalau mereka akan terbunuh bahkan sebelum tiba di markas Allaster. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di markas besar Allaster. Javier bisa melihat semua anak buah Cavallo berkumpul di depan gerbang besar kediaman Darrien Allaster. Namun kelihatannya ada yang tidak beres. Mereka semua terlalu tenang. Javier pun bertanya pada salah satu rekannya, “Di ma
“Apa?! Dari mana mereka tahu, kalau mereka hanyalah orang bayaran?!” sentak Javier yang merasa kalau memang ada yang janggal dari kejadian hari ini.Madoka menatap lurus ke depan. Bukan tak bisa menjawab, tapi ia sendiri takut dengan hasil analisa pikirannya sendiri.“Madoka! Kau tak berpikir bahwa Darrien ada kemungkinan berbohong, kan?” tanya Javier lagi, panik.Karena Luca sepertinya sangat mempercayai Darrien dan malah mengundang sang pemimpin organisasi Allaster itu untuk makan malam hari ini.“Itu salah satu kemungkinan yang bisa saja terjadi, Jav,” komentar Madoka sambil meremas erat gagang kemudi kendaraan roda empat itu.Ia menambahkan, “Tapi kau tahu, ‘kan? Tak banyak yang tahu ucapan itu selain yang dekat dengan Nyonya Vivien. Kalau kita eliminasi semua itu kau pasti tahu hanya ada beberapa orang yang bisa kita curigai, termasuk bos Luca sendiri.”“Tak mungkin bos Luca berniat mencelakai putrinya sendiri!” protes Javier pada hasil analisa Madoka.“Sabar dulu. Aku juga tahu
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu