“Ya, Sayang,” ucap Luca mengangguk, mengiyakan keterkejutan Visha.
Ia melanjutkan, “Ketika kami menemukanmu di kediaman Adinata, orang yang kuminta mengawasimu memberitahu bahwa kau terlihat bahagia di sana. Ayah berpikir, tak perlu lagi membebanimu dengan kenyataan bahwa kau adalah seorang anak mafia.”
Kerutan di dahi Visha pun mulai terlihat. Ia pun menyuarakan kebingungannya, “Memangnya kenapa kalau aku seorang anak mafia?”
“Well, sasaran. Kalau mereka tahu aku punya seorang anak gadis, itu berarti kau adalah kelemahanku. Itulah kenapa, dulu aku menikahi Vivien dan tinggal di Indonesia.”
Netra Visha membulat takut. “Lalu, bagaimana sekarang?” tanya gadis itu dengan nada panik.
Luca tergelak melihat Visha panik. “Tenang saja,” ujarnya.
“Saat ini, aku sudah punya fondasi yang kuat untuk melindungimu,” lanjut Luca dengan nada penuh kebanggaan.
Luca memeluk Visha lagi, erat, sambil bertanya, “Jadi, sekalian saja kutanyakan padamu, Navisha Cavallo, putriku. Maukah kau ikut bersamaku ke Italia?”
“I—Italia?! Ero—Eropa?!” pekik Visha dengan tatapan tak percaya.
Luca mengangguk sembari terkekeh melihat wajah Visha yang tampak senang namun bingung itu. “Ya, kau benar, Visha. Bagaimana? Kita bisa hidup di sana bersama.”
Baru saja Visha akan membuka mulut untuk mengiyakan ajakan sang ayah, ingatannya menyadarkan dirinya bahwa ia harus memeriksakan kandungannya terlebih dahulu.
‘Ke Eropa naik pesawat kan ya?’ tanyanya dalam hati. Karena ia harus mendapatkan persetujuan dokter untuk berkendara dengan pesawat.
“Ta—tapi itu berarti aku harus naik pesawat, Yah.”
Wajah Luca mulai terlihat serius. Ia berkomentar, “Tentu saja. Tapi kami punya pesawat pribadi, jadi jangan khawatir kau akan terlihat oleh keluarga Adinata.”
Visha menggeleng. “Bukan itu yang Visha takutkan.”
Luca mengerutkan alisnya, melihat Visha tiba-tiba terlihat gugup. Gadis itu menautkan jemarinya, seolah ia ketahuan sudah melakukan kesalahan.
“Lalu, apa yang kau takutkan, Visha Sayang?” tanya Luca dengan nada penuh kesabaran.
Visha mengerutkan dahinya, berpikir keras dan menimbang, haruskah ia memberitahu kondisinya atau diam-diam saja ia pergi ke dokter kandungan.
‘Ini seperti seorang anak gadis yang mengaku pada orangtuanya kalau ia hamil di luar nikah kan?! Apa aku akan dibuang lagi?!’ keluhnya dalam hati.
‘Tapi kehamilan ini takkan bisa kusembunyikan selamanya. Dari pada aku dibuang setelah ketahuan, sebaiknya aku mengakuinya, kan?’ tanyanya pada dirinya sendiri.
Visha akhirnya mengangkat kepala dan menatap Luca dalam-dalam sebelum membuka suara, “Ayah, se—sebenarnya, aku ... aku hamil.”
Wajah sabar Luca kini berubah menjadi murka. ‘Hanya ada dua orang yang mungkin melakukan itu pada putriku.’
Ia bangkit dari pinggir tempat tidur sembari menyebut nama seseorang dengan geram, “Gregory?!”
Wajah Visha bahkan terlihat ngeri membayangkan dirinya melakukan hal seperti itu dengan majikan tuanya itu. Ia segera menggeleng.
“Kalau begitu ... Raffael?! Tuan muda itu, kan?” tanya Luca dengan nada sedikit menyentak
“Kami saling mencintai dan –“
“Kalau memang demikian, mengapa kau kabur dari sana, hm?” Luca memotong kenaifan Visha dengan pertanyaan yang sesungguhnya menyayat hati gadis itu.
Tapi ia sadar, ayahnya benar. ‘Kalau Raffael mencintaiku, dia pasti akan pergi denganku. Tapi dia memilih untuk menggugurkan kandunganku.’
“Aku akan membunuh pria itu, Visha. Dan sebaiknya kau menggugurkan kandunganmu.”
Mendengar ucapan itu keluar dari mulut sang ayah, Visha pun bangkit dengan marah.
“Ayah! Jangan melakukan hal rendah seperti itu! Apa kau yakin kau menyuruhku menggugurkannya?! Kau pernah kehilangan aku yang adalah darah dagingmu. Apa kau tidak kasihan dengan bayi yang tidak bersalah ini?!”
Mendapat bentakan dari sang putri, Luca pun terduduk di lantai. Termakan emosi, ia hampir lupa seperti apa rasanya ketika ia mengetahui Visha menghilang hari itu.
“Maafkan ayah, Visha. Tidak, ayah tidak bermaksud begitu. Kau benar, bagaimanapun bayi ini tidak bersalah. Ada darahmu dan darah ayah mengalir di sana. Juga darah Vivien. Maafkan ayah, Navisha sayang.” Luca sampai tersungkur di lantai karena menyadari kebodohannya.
Visha segera memeluk Luca dan berkata, “Sudahlah, Ayah. Yang terpenting, sekarang Ayah ada di sini. Ayah mau kan mendukungku?”
Mendengar permintaan putrinya, Luca pun segera membalas pelukan gadis itu dan berjanji, “Apapun jalan yang kau pilih, selama itu adalah kebenaran dan baik untukmu, ayah akan selalu mendukungnya, Sayang. Ayah bersumpah akan membahagiakan hidupmu.”
“Terima kasih, Ayah. Terima kasih sudah datang menyelamatkanku.”
Setelah mereka berkasih-kasihan, Luca membawa mereka duduk kembali di atas tempat tidur hotel itu.
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan, putriku?” Luca meraih kedua tangan Visha dan menggenggamnya erat.
“Untuk saat ini, kalau aku harus ikut ayah ke Italia, aku hanya perlu ke dokter kandungan dan mendapat persetujuannya untuk bisa naik pesawat.”
Luca mengangguk paham. Ia pun segera keluar dan langsung memanggil Javier untuk menanyakan beberapa hal.
Sesaat kemudian, Luca berbalik dan tersenyum pada Visha sembari berkata, “Baiklah. Ayah akan meminta dokter kandungan untuk datang ke sini, karena kemungkinan keluarga Adinata itu masih mencarimu.”
Hati Visha terasa begitu lega. Setelah semua pengakuannya ini, tidak ada lagi yang ia sembunyikan. Hidupnya kini, ia yakin, akan lebih bahagia dari pada sebelumnya.
Setidaknya, ia punya orangtua kandung yang sudah bersumpah akan membahagiakannya.
Visha tersenyum dengan penuh syukur, “Iya, Ayah. Terima kasih banyak. Sekali lagi, terima kasih sudah menyelamatkanku.”
“Kita keluara, Visha. Sudah jadi kewajiban dan hakku menyelamatkanmu, Sayang.”
Pandangan Luca kembali serius ketika ia menatap Javier yang berdiri tegap di depan ambang pintu kamar Visha. “Dan, Javier, bersiaplah. Besok, kita akan menghancurkan keluarga itu rata dengan tanah!”
Mendengar itu, kepala Visha langsung menyentak naik sementara netranya membulat. “Tidak!” serunya tanpa ragu.
“Visha, mereka sudah menyakitimu! Membuangmu ketika kau hamil seperti ini, berarti mereka tidak menerima keberadaan bayimu, bukan?!”
Tapi Visha menggeleng. Ia berkata dengan geram, “Pembalasan itu adalah milikku. Ayah akan mendukungku kan? Kalau benar aku adalah keturunan Ayah, aku pasti bisa membalaskan semua rasa sakit yang mereka berikan padaku!”
Luca tampak berpikir sejenak. ‘Apa yang dikatakan Visha sangat benar. Aku tak sabar juga melihat otak siapa yang diturunkan padanya. Kalau dia seperti Vivien, jelas dia akan sangat pintar dalam pelajaran. Kalau sepertiku, dia punya ambisi dan keinginan kuat.’
Luca menghampiri Visha dan menangkup pipi kanannya sambil berkata, “Kau adalah anakku dan Vivien, kau pasti lebih dari sanggup untuk melakukan itu Visha. Kau pasti punya otak encer Vivien dan hati yang kuat dari kami.”
Visha pun tersenyum bahagia. “Terima kasih.”
“Matahari mungkin akan segera terbit. Istirahatlah, Visha sayang. Kalau kau sudah bangun, beritahu saja anak-anak di depan. Mereka akan berjaga di depan pintumu.”
“Mm. Terima kasih, Ayah.”
***
Sementara itu, di kediaman Gregory.
Pria tua itu tengah menghisap cerutu gendutnya dengan wajah datar.
“Jadi, kalian tak sengaja membunuhnya?” tanya Gregory dengan nada setengah tak percaya.
“Be—benar Tuan. Saya bermaksud menakut-nakutinya, tetapi ia terjatuh ke sungai di daerah barat.”
Pria bayaran yang lain pun menambahkan, “Ketika kami cari jasadnya, sudah tidak ada. Sepertinya sudah terbawa arus.”
Mereka sudah diancam oleh anak buah Javier untuk memberikan laporan palsu tersebut. Dan tentu saja, sebagai pembunuh bayaran, mereka tahu siapa Javier dan kelompoknya.
Tapi sepertinya, kali ini Gregory terlihat puas dengan laporan mereka. Ia pun segera menyuruh mereka pergi dengan bersumpah bahwa mereka tidak akan membocorkan apa yang terjadi malam ini.
Sementara Raffael terlihat cukup kalut. Ia tidak tahu kenapa Visha pergi tiba-tiba, tapi ia bisa menebak kalau gadis itu pasti mendengar percakapannya dengan sang ibu di ambang pintu.
‘Benarkah kau sudah tiada Visha? Apa aku sudah bisa tenang dan tidak terancam kehilangan warisanku?’ batin Raffael yang masih tidak percaya dengan laporan para pesuruh itu.
Ia takut kalau suatu saat nanti, Visha akan mengacaukan warisannya.
“Raffael! Ini terakhir kalinya kau berbuat bodoh! Anggap saja semua kejadian ini tak ada! Mengerti kamu?!” Suara lantang Gregory membangunkannya dari lamunan.
Gregory pun menambahkan, “Sebaiknya kau segera menikah. Ibumu akan mengurusnya.”
Raffael terlihat sedikit terkejut, namun ia segera mengangguk mantap sebagai respon atas ucapan ayahnya.
“Baik, Pah.”
“Ng ....” Erangan Visha menandakan kesadarannya sudah muncul.Matahari telah tinggi ketika gadis itu akhirnya terbangun karena lapar.Ia pun segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, berharap bisa menghilangkan raut lelah yang masih terlihat di wajahnya.Ketika Visha keluar dari kamar mandi, ia terkejut karena tidak memperhatikan sebelumnya kalau di pojok ruangan sudah ada sebuah rak gantung berisi pakaian yang tak pernah berani ia impikan untuk ia kenakan.Visha melangkah cepat menghampiri rak tersebut dan langsung membolak-balik setiap baju yang tergantung di sana.Netranya membulat kaget melihat nama merek-merek yang tersemat di setiap pakaian itu. Ia pun berseru nyaring, “Wow! Ini merek yang biasa dipakai Nyonya.”Merasa tak mungkin kalau baju-baju tersebut bisa ia gunakan semua, Visha pun mencoba mencari Javier atau siapapun yang bisa ia tanyai.Tapi begitu ia membuka pintu kamarnya, hanya ada Javier di sana. Dengan malu-malu Visha menyapa, “Uhm, ha—halo, Javier.”“Ada
‘Eh?! Bukan suara Javier ...,’ batin Visha dalam hatinya.Dengan tergesa ia pun membuka pintu kamarnya dan mendapati seorang pria tua bermata sipit berdiri di depan kamarnya sambil mengelus-elus janggut panjang di dagunya.“Erm ... ca—cari siapa ya, Koh?”Alih-alih mendapat jawaban, Visha mendengar ledakan tawa bernada dalam di belakang pria tua itu. Tentu saja ia kenal suara berat itu.“Javier!” sentak Visha dengan pipi yang menggembung. Walau demikian, wajah manis gadis berusia 21 tahun itu tetap terlihat mempesona di mata Javier.Pria dingin itu—tak diduga oleh Visha, terus saja mentertawainya, “Ha! Ha! Ha! Nona, ini ... Ha! Ha! Ha! Ini dokter anda—pfft! Oh, gosh! Aku sudah lama tidak tertawa sekeras ini. Sial! Rahangku sakit.”‘Senang sekali sih melihatku bertindak bodoh ... mengesalkan!’ keluh Visha dalam hatinya.Javier meredakan tawanya dan menepuk pundak pria tua yang disebutnya sebagai dokter tadi. Ia berkata dengan nada santai, “Dok, masuklah. Kau harus memeriksa kandungan
“Ya, Nona? Apa yang menyusahkanmu?” Visha mendengus geli. Bukannya dia meremehkan peran Javier dalam melindunginya, tapi karena ia merasa pria itu terlalu perhatian padanya, untuk ukuran seorang anak buah ayahnya. Ia jadi merasa seperti sudah bersikap jahat karena melempar pria itu dengan sepatu. Jadi, ia berkata, “Maaf, soal sepatuku. Aku tidak seharusnya melakukan itu.” Padahal sebenarnya bukan itu yang ingin ia tanyakan. Javier mengangkat salah satu alisnya, heran dengan permintaan maaf yang menurutnya tak perlu. Dia adalah majikannya, apapun yang diperbuat pada dirinya, tidak akan menjadi masalah. Walau demikian Javier mengangguk kaku. “Oke. Aku tak masalah kau mau melempar apapun, selama tidak membunuhku, Nona.” Visha menghela napas panjang mendengar jawaban yang dilontarkan Javier padanya dengan nada super datar. ‘Apa sejak dulu dia seperti ini ya?! Bagaimana mau punya pacar kalau kaku begini?!’ keluh Visha dalam hatinya. “Apa ada lagi yang kau butuhkan, Nona Visha?” tan
“... tempat peristirahatan terakhir istri bos, ibu Nona,” ungkap Javier, setelah ia berpikir sesaat, sedikit menimbang jawabannya.Sepertinya ia tidak berencana memberitahu Visha secepat ini. Ia tidak mau merusak suasana sepanjang perjalanan ini.Mendengar jawaban Javier, Visha langsung merasa bersalah.‘Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Apa aku anak yang tidak berbakti? Tapi aku saja tidak ingat siapa ibuku, bagaimana rupa wanita yang melahirkanku itu.’ Visha membatin sambil menunduk.Madoka yang melihat Visha tertunduk sedih itu pun segera menyerahkan sebuah ponsel pintar pada putri sang bos sambil berkata, “Aku punya beberapa video seperti apa ibu Nona. Jangan bersedih, oke?”Visha menyentak naik kepalanya dan menerima benda itu dengan penuh haru. Ia merasa sepertinya Madoka bisa membaca pikirannya.“Te—terima kasih.”“Tak masalah, Nona.”Sepanjang perjalanan Visha pun menonton semua video yang ada di ponsel tersebut. Bukan hanya beberapa video, karena ternyata ponsel itu adalah
“Bos ... nona Navisha sudah tiba.”Salah seorang anak buah Luca membisikkan informasi itu dengan suara sangat pelan, hingga tak seorang pun mendengar. Tak juga wanita tua yang sedang dipeluknya itu.Luca pun hanya mengangguk sedikit, lalu menepuk punggung wanita itu dengan sabar. Ia pun memberitahunya, “Suocera*, cucumu sudah datang.” [*Suocera berarti ibu mertua, dalam bahasa italia]Mendengar ucapan menantu laki-lakinya itu, wanita tua yang ternyata adalah ibu mertuanya—ibu dari Vivien, menyentak kepalanya. Kaget dengan ucapan Luca.Netranya menatap Luca seolah tak percaya. Seolah ia berpikir bahwa Luca sedang memperdayanya. Ia pun mengkonfirmasi ucapan Luca, “Kau sudah menemukannya?!”“Ya, Bu. Kami akhirnya menemukan Navisha.” Luca mengulang kembali ucapannya, meyakinkan sang ibu mertua kalau ia tidak sedang mempermainkannya.Setelah kematian Vivien, keluarga Wijaya semakin tak terjangkau. Tapi ibu mertuanya secara berkala menghubungi Luca, perihal keberadaan Visha.Ibu mertua Luca
“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian di depan pintu kamarku tadi siang.”Luca terkekeh mendengar nada ketus Visha. Bukan berarti ia ingin menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah lagi. Hanya saja, ia ingin memberitahunya saat mereka tiba di Italia.“Yeah? Salahku, Nak. Aku tak bermaksud membicarakan hal seperti itu untuk kau dengar secara tak sengaja. Setidaknya, tiba di Italia, aku berniat memperkenalkan kalian dengan lebih formal, Navisha Sayang.”Visha mengangguk. Ia mencoba menghilangkan rasa minder dalam dirinya, tapi tentu saja, itu bukan yang mudah.Selama ini Visha dibesarkan oleh sepasang suami istri yang sangat miskin. Hidup mereka hanya bergantung pada hasil penjualan barang bekas.Setelah gadis itu tinggal di kediaman Adinata pun, semakin jauhlah ia merasa perbandingan dirinya dengan orang-orang itu.Tak disangka, air mata meluncur membasahi pipinya kala mengingat mantan majikannya itu. Ingatannya langsung membuka kenangan manis yang pernah ia miliki
“Thanks Damian.” Luca menggosok pelan netranya dan segera menyesuaikan dengan cahaya ruang kabin pesawat. Ia menambahkan, “Tolong minta Ludwig menemuiku jam 11 siang nanti, di kantor.” Pria bernama Damian—yang baru saja membangunkan Luca pun mengangguk paham dengan perintah sang atasan. Kalau Javier adalah orang yang paling Luca percayai dalam organisasi Cavallo, maka Damian adalah orang kepercayaannya di perusahaan Viensha—perusahaan yang Luca dirikan untuk mengenang sang istri tercinta. “Apa Visha sudah bangun? Di mana Javier?” tanya Luca pada Damian. “Nona Visha sedang bersiap di kamarnya, Bos. Dan ... Javier ... sedang mengobati lukanya sebentar.” Damian menjawab dengan sedikit keraguan di kalimat akhirnya. Manik mata Damien bahkan bergulir ke samping, tanda ia merasa bersalah atas suatu hal. Tentu saja. Damian lah yang membuat Javier harus menerima pengobatan sederhana. Pria tenang—setenang gunung es itu, sudah menghajarnya karena menggoda Madoka tepat di bawah hidungnya.
“Ha?! Menyusahkan bagaimana, Nona?”Javier menggaruk acak kepala belakangnya, sedikit tak mengerti dengan pertanyaan Visha.“Ayah terlihat tak nyaman membawaku ke kantor. Dia sampai mempertanyakan hal itu padamu.”Mendengar penjelasan lanjutan dari Visha, Javier pun tergelak.Ia kemudian menjelaskan, “Bukan seperti itu, Nona Visha. Bos hanya overprotektif. Kuharap Anda sadar di mana sekarang Anda berada. Italia bukan hanya rumah klan Cavallo, tapi juga rumah musuh yang mengharapkan kemusnahan organisasi kami.”"Lalu, untuk apa ayah bertanya padamu, Javier?" Kening Visha berkerut. Kali ini giliran gadis itu yang bingung.Kekehan jahil pun keluar dari bibir pria kekar yang duduk di samping pengemudi yang sejak tadi diam saja seperti patung itu.Javier pun menambahkan, “Bos bertanya padaku untuk memastikan aku bisa melindungi Nona, kalau-kalau ada musuh yang mengetahui keberadaan anak perempuan dari klan Cavallo.”Mendengar penjelasan Javier, hati Visha terasa lega. Dirinya masih penuh k
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu