“Nggak makan dulu?” Tanya Koma saat menemui Misty yang duduk menunggu di lobi hotel tempatnya menginap.“Nggak usah, aku masih belum lapar. Ini kan masih sore. Mending kita jalan sekarang biar nggak terlalu malam di jalan.” “Tapi kan aku janji traktir makan.”“Nanti kita singgah makan di jalan aja. Kayak tempat kemarin.”“Ya udah, tunggu sebentar aku ambil barang-barangku dulu di atas.”Koma kembali ke kamar dan mengambil beberapa barang bawaannya yang tidak terlalu banyak. Bisa dibilang hanya sebuah waist bag dan baseball cap kesukaannya. Ia segera turun dan menyerahkan kunci pada resepsionis.“Cuma segini aja barang bawaan kamu?” Tanya Koma, saat melihat hanya ada sebuah kardus di sepeda motor dan tas ransel yang dipakai Misty.“Iya. Barang-barangku emang nggak banyak. Aku Cuma hidup sendiri dan ngekos.”Koma sempat terdiam. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa simpati dengan gadis mungil di hadapannya itu.“Ayo jalan. Malah ngelamun!” omel Misty.Koma menghidupkan motor. Ia
“Masuklah, Azzalyn.” Bintang mempersilahkan Azzalyn masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya gadis itu sempat menunggu agak lama di depan pintu rumah Bintang. Seperti sebelumnya, Bintang sibuk merapikan kekacauan di dalam rumahnya. Azzalyn mengangguk dan langsung masuk menuju ke ruang tengah. Tempat biasa Bintang berbaring sambil menonton TV. Di situ, sudah ada Reinhart yang sedang asyik makan buah potong sambil menonton acara komedi. Ia terlihat hanya memakai kaos singlet dan celana pendek. “Malam Om...” Azzalyn menyapa Reinhart dengan ramah sambil menganggukkan kepalanya. “Eh, ada Azzalyn rupanya.” Reinhart refleks berdiri dan menunjuk ke arah sofa. “Duduk...” katanya lagi. “Makasih Om.” Reinhart kembali duduk saat Azzalyn sudah lebih dulu duduk. “Mau minum apa, Azzalyn?” tawar Bintang. “Kalau ada, air putih dingin aja Bintang. Oh iya, di jalan tadi aku beli ini buat camilan.” Azzalyn menyerahkan sebuah kantong plastik yang sejak tadi ia pegang. Ia lupa menyerahkannya pada B
Pukul 10 malam, Misty dan Koma telah sampai di rumah Bintang. Wajah lelah begitu terlihat, karena mereka telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. “Dari sana tadi mulai jalan jam berapa?” tanya Azzalyn sambil menghidangkan teh hangat. “Kami mulai jalan sekitar jam 5. Cuma ada singgah sebentar buat makan.” Jawab Misty. Sementara Koma sudah menyeruput teh hangatnya. Syukurlah kalau kalian sampai dengan selamat.” Ujar Reinhart. “Apa kita bilang sekarang dengan mereka, Om? Mumpung ada Koma.” Tanya Azzalyn. “Mau ngomong apa emangnya?” Koma tampak penasaran. “Biar Om Reinhart aja yang bilang,” Azzalyn berkata sambil memandang ke arah Reinhart. “Begini, kita perlu gerak cepat untuk mengambil alih aset keluarga Krisna. Terutama yang akan menjadi hak milik Azzalyn. Kami butuh seseorang untuk menghubungkan antara aku dan Rudi. Karena Rudi yang akan mengirimkan semua dokumen, sementara aku yang akan mengatur proses pengambil-alihan. Setelah kami berunding tadi, kami sepakat kalau yang ak
“Bagaimana persiapan kita?” tanya Reinhart. “Semua udah beres Om. Di sana, Om Rudi sedang menyiapkan berkas yang akan diambil alih. Dan Misty juga mulai besok sudah bisa bekerja di rumah Om Rudi.” Jawab Bintang. “Terus, gimana dengan rencana kamu yang mau pergi mencari preman pembunuh yang terlibat dalam pembunuhan orang tua Azzalyn?” “Saya dan Koma akan pergi besok, Om. Karena besok hari Minggu, jadi Misty tak perlu bekerja di rumah Om Rudi. Koma tak perlu mengawasinya.” “Bagus. Semoga semua rencana kita bisa berjalan lancar.” Ujar Reinhart. Bintang hendak menjawab lagi, namun urung saat ponselnya terasa bergetar panjang. Tanda ada seseorang yang menelepon. Dahi Bintang berkerut saat melihat nama yang tertera di layar. Meski berat, Bintang tetap menjawab panggilan telepon itu setelah sebelumnya sempat menjauhkan diri dari Reinhart. Cukup lama Bintang berbicara di telepon. Reinhart bahkan mendengar sedikit perdebatan antara Bintang dengan lawan bicaranya. “Siapa?” tanya Reinha
“Abyl, lepaskan....” Azzalyn berusaha mendorong tubuh Abyl agar menjauh. Namun tak bisa karena seolah melekat kuat. Azzalyn memandang Bintang, seolah meminta pertolongan. Bintang paham dan langsung memegang pundak Abyl. “Abyl, lepaskan dulu Azzalyn. Kau bilang mau bicara. Azzalyn udah datang ke sini. Seharusnya kau tak mengecewakannya dengan berlaku seperti ini.” Ujar Bintang. Abyl melepas pelukannya, seolah langsung tersadar setelah mendengar kalimat Bintang. “Maaf...” ujarnya kemudian. “Sekarang katakan, apa yang mau kau bicarakan?” tanya Azzalyn to the point. “Bisakah hanya kita berdua saja?” tanya Abyl seraya memandang Bintang. “Biar aja Bintang tetap di sini. Dia bukan orang yang akan mengganggu percakapan kita.” Sahut Azzalyn dingin. “Tapi aku hanya ingin bicara berdua denganmu Azzalyn. Apa kau tak percaya padaku? Apa kau takut aku punya niat jahat?” cecar Abyl. “Ya udah. Aku akan pergi.” Ujar Bintang akhirnya. Ia mengerti kalau urusan antara Abyl dan Azzalyn, harus di
Riska dan Bu Narti berteriak seperti orang gila. Tubuh kaku Abyl yang mereka lihat di kamar mayat rumah sakit, membuat kedua wanita itu histeris.Sementara Krisna terduduk lemas di lantai setelah melihat putra kesayangan satu-satunya itu telah meninggal.“Abyl... Apa yang terjadi? Kenapa....?” Bu Narti menangis sambil memeluk cucunya itu.“Siapa? Siapa yang melakukan ini padamu, Abyl?” teriak Riska sambil terus menggoyang tubuh Abyl.Di saat mereka semua sedang meratapi kepergian Abyl, Dwita datang sambil berlari. Ia baru saja tiba bersama Bintang yang tadi menjemput saat ia sedang asyik bersenang-senang dengan teman-temannya.“Kak Abyl kenapa Ma?” tanya Dwita pada Riska yang sudah pasti masih terus menangis. Tak ada jawaban. Dwita mengalihkan pertanyaannya pada Krisna dan Bu Narti, meski sebenarnya gadis itu tahu kalau Kakak lelakinya telah tiada. Namun ia terus saja bertanya sambil menangis meski tak ada satu orang pun yang menjawab.“Kenapa bisa begini? Apa yang terjadi? Ka
“Udah?” Bintang menegakkan badan yang sempat ia sandarkan di mobil, saat melihat Azzalyn datang. Gadis itu hanya mengangguk. Terlihat sekali dari matanya yang bengkak, kalau ia habis menangis.Bintang memang sengaja menunggu di mobil, membiarkan Azzalyn mendatangi makam Abyl sendirian. Karena ia tahu, kalau Azzalyn pasti butuh privasi untuk mengeluarkan segala kesedihannya di sana.“Iya. Kita pulang sekarang.” Azzalyn menyahut tanpa memandang ke arahnya, langsung masuk ke dalam mobil.“Habis ngantar kamu, aku langsung berangkat ya.” Bintang memulai percakapan setelah mereka sempat saling diam selama perjalanan.“Harus sekarang juga? Kenapa nggak berangkat besok aja?”“Seperti kata Om Reinhart, kita lagi kejar-kejaran dengan waktu. Mumpung sekarang Tante Riska sedang lengah. Lagi pula, kita harus cepat bergerak sebelum orang bernama Jiman yang telah membunuh Paman Bandi berpindah tempat. Akan lebih sulit lagi buat kita untuk melacaknya.”Azzalyn sempat terdiam beberapa saat.“
“Sial....!”Koma memaki saat matanya dilempar pasir oleh Jiman. Seketika pegangan tangannya mengendur dan itu dimanfaatkan Jiman untuk melepaskan diri.Untungnya Bintang pun dengan sigap kembali menangkap Jiman, membuat lelaki berkumis itu menggeram karena tak bisa melepaskan diri.Terdengar suara teriakan perempuan dari dalam rumah. Seorang wanita yang menggendong anak kecil berusia sekitar satu tahun keluar sambil berlari menghampiri mereka.“Ada apa ini? Kenapa kalian menghajar suami saya? Lepaskan Mas Jiman, atau saya panggil orang kampung biar kalian digebukin.” Ancam perempuan itu.“Maaf Mbak, nggak bisa saya lepaskan begitu aja. Kalau mau panggil warga sini, silakan. Tapi saya jamin, rahasia suami Mbak akan saya bongkar di hadapan mereka semua. Emangnya nggak malu, kalau orang-orang di sini tahu suami Mbak ini adalah seorang preman pembunuh bayaran?” Koma justru menantang, seakan tak merasa takut sama sekali. Sementara Bintang masih fokus menahan tubuh Jiman agar tak bisa