“Masuklah, Azzalyn.” Bintang mempersilahkan Azzalyn masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya gadis itu sempat menunggu agak lama di depan pintu rumah Bintang. Seperti sebelumnya, Bintang sibuk merapikan kekacauan di dalam rumahnya. Azzalyn mengangguk dan langsung masuk menuju ke ruang tengah. Tempat biasa Bintang berbaring sambil menonton TV. Di situ, sudah ada Reinhart yang sedang asyik makan buah potong sambil menonton acara komedi. Ia terlihat hanya memakai kaos singlet dan celana pendek. “Malam Om...” Azzalyn menyapa Reinhart dengan ramah sambil menganggukkan kepalanya. “Eh, ada Azzalyn rupanya.” Reinhart refleks berdiri dan menunjuk ke arah sofa. “Duduk...” katanya lagi. “Makasih Om.” Reinhart kembali duduk saat Azzalyn sudah lebih dulu duduk. “Mau minum apa, Azzalyn?” tawar Bintang. “Kalau ada, air putih dingin aja Bintang. Oh iya, di jalan tadi aku beli ini buat camilan.” Azzalyn menyerahkan sebuah kantong plastik yang sejak tadi ia pegang. Ia lupa menyerahkannya pada B
Pukul 10 malam, Misty dan Koma telah sampai di rumah Bintang. Wajah lelah begitu terlihat, karena mereka telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. “Dari sana tadi mulai jalan jam berapa?” tanya Azzalyn sambil menghidangkan teh hangat. “Kami mulai jalan sekitar jam 5. Cuma ada singgah sebentar buat makan.” Jawab Misty. Sementara Koma sudah menyeruput teh hangatnya. Syukurlah kalau kalian sampai dengan selamat.” Ujar Reinhart. “Apa kita bilang sekarang dengan mereka, Om? Mumpung ada Koma.” Tanya Azzalyn. “Mau ngomong apa emangnya?” Koma tampak penasaran. “Biar Om Reinhart aja yang bilang,” Azzalyn berkata sambil memandang ke arah Reinhart. “Begini, kita perlu gerak cepat untuk mengambil alih aset keluarga Krisna. Terutama yang akan menjadi hak milik Azzalyn. Kami butuh seseorang untuk menghubungkan antara aku dan Rudi. Karena Rudi yang akan mengirimkan semua dokumen, sementara aku yang akan mengatur proses pengambil-alihan. Setelah kami berunding tadi, kami sepakat kalau yang ak
“Bagaimana persiapan kita?” tanya Reinhart. “Semua udah beres Om. Di sana, Om Rudi sedang menyiapkan berkas yang akan diambil alih. Dan Misty juga mulai besok sudah bisa bekerja di rumah Om Rudi.” Jawab Bintang. “Terus, gimana dengan rencana kamu yang mau pergi mencari preman pembunuh yang terlibat dalam pembunuhan orang tua Azzalyn?” “Saya dan Koma akan pergi besok, Om. Karena besok hari Minggu, jadi Misty tak perlu bekerja di rumah Om Rudi. Koma tak perlu mengawasinya.” “Bagus. Semoga semua rencana kita bisa berjalan lancar.” Ujar Reinhart. Bintang hendak menjawab lagi, namun urung saat ponselnya terasa bergetar panjang. Tanda ada seseorang yang menelepon. Dahi Bintang berkerut saat melihat nama yang tertera di layar. Meski berat, Bintang tetap menjawab panggilan telepon itu setelah sebelumnya sempat menjauhkan diri dari Reinhart. Cukup lama Bintang berbicara di telepon. Reinhart bahkan mendengar sedikit perdebatan antara Bintang dengan lawan bicaranya. “Siapa?” tanya Reinha
“Abyl, lepaskan....” Azzalyn berusaha mendorong tubuh Abyl agar menjauh. Namun tak bisa karena seolah melekat kuat. Azzalyn memandang Bintang, seolah meminta pertolongan. Bintang paham dan langsung memegang pundak Abyl. “Abyl, lepaskan dulu Azzalyn. Kau bilang mau bicara. Azzalyn udah datang ke sini. Seharusnya kau tak mengecewakannya dengan berlaku seperti ini.” Ujar Bintang. Abyl melepas pelukannya, seolah langsung tersadar setelah mendengar kalimat Bintang. “Maaf...” ujarnya kemudian. “Sekarang katakan, apa yang mau kau bicarakan?” tanya Azzalyn to the point. “Bisakah hanya kita berdua saja?” tanya Abyl seraya memandang Bintang. “Biar aja Bintang tetap di sini. Dia bukan orang yang akan mengganggu percakapan kita.” Sahut Azzalyn dingin. “Tapi aku hanya ingin bicara berdua denganmu Azzalyn. Apa kau tak percaya padaku? Apa kau takut aku punya niat jahat?” cecar Abyl. “Ya udah. Aku akan pergi.” Ujar Bintang akhirnya. Ia mengerti kalau urusan antara Abyl dan Azzalyn, harus di
Riska dan Bu Narti berteriak seperti orang gila. Tubuh kaku Abyl yang mereka lihat di kamar mayat rumah sakit, membuat kedua wanita itu histeris.Sementara Krisna terduduk lemas di lantai setelah melihat putra kesayangan satu-satunya itu telah meninggal.“Abyl... Apa yang terjadi? Kenapa....?” Bu Narti menangis sambil memeluk cucunya itu.“Siapa? Siapa yang melakukan ini padamu, Abyl?” teriak Riska sambil terus menggoyang tubuh Abyl.Di saat mereka semua sedang meratapi kepergian Abyl, Dwita datang sambil berlari. Ia baru saja tiba bersama Bintang yang tadi menjemput saat ia sedang asyik bersenang-senang dengan teman-temannya.“Kak Abyl kenapa Ma?” tanya Dwita pada Riska yang sudah pasti masih terus menangis. Tak ada jawaban. Dwita mengalihkan pertanyaannya pada Krisna dan Bu Narti, meski sebenarnya gadis itu tahu kalau Kakak lelakinya telah tiada. Namun ia terus saja bertanya sambil menangis meski tak ada satu orang pun yang menjawab.“Kenapa bisa begini? Apa yang terjadi? Ka
“Udah?” Bintang menegakkan badan yang sempat ia sandarkan di mobil, saat melihat Azzalyn datang. Gadis itu hanya mengangguk. Terlihat sekali dari matanya yang bengkak, kalau ia habis menangis.Bintang memang sengaja menunggu di mobil, membiarkan Azzalyn mendatangi makam Abyl sendirian. Karena ia tahu, kalau Azzalyn pasti butuh privasi untuk mengeluarkan segala kesedihannya di sana.“Iya. Kita pulang sekarang.” Azzalyn menyahut tanpa memandang ke arahnya, langsung masuk ke dalam mobil.“Habis ngantar kamu, aku langsung berangkat ya.” Bintang memulai percakapan setelah mereka sempat saling diam selama perjalanan.“Harus sekarang juga? Kenapa nggak berangkat besok aja?”“Seperti kata Om Reinhart, kita lagi kejar-kejaran dengan waktu. Mumpung sekarang Tante Riska sedang lengah. Lagi pula, kita harus cepat bergerak sebelum orang bernama Jiman yang telah membunuh Paman Bandi berpindah tempat. Akan lebih sulit lagi buat kita untuk melacaknya.”Azzalyn sempat terdiam beberapa saat.“
“Sial....!”Koma memaki saat matanya dilempar pasir oleh Jiman. Seketika pegangan tangannya mengendur dan itu dimanfaatkan Jiman untuk melepaskan diri.Untungnya Bintang pun dengan sigap kembali menangkap Jiman, membuat lelaki berkumis itu menggeram karena tak bisa melepaskan diri.Terdengar suara teriakan perempuan dari dalam rumah. Seorang wanita yang menggendong anak kecil berusia sekitar satu tahun keluar sambil berlari menghampiri mereka.“Ada apa ini? Kenapa kalian menghajar suami saya? Lepaskan Mas Jiman, atau saya panggil orang kampung biar kalian digebukin.” Ancam perempuan itu.“Maaf Mbak, nggak bisa saya lepaskan begitu aja. Kalau mau panggil warga sini, silakan. Tapi saya jamin, rahasia suami Mbak akan saya bongkar di hadapan mereka semua. Emangnya nggak malu, kalau orang-orang di sini tahu suami Mbak ini adalah seorang preman pembunuh bayaran?” Koma justru menantang, seakan tak merasa takut sama sekali. Sementara Bintang masih fokus menahan tubuh Jiman agar tak bisa
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Jiman. Meski hanya sekali, tapi lelaki itu langsung merasakan kebas dan sakit di pipinya.“Udah, sekali aja Azzalyn. Jangan terbawa emosi.” Bintang memegang pundak Azzalyn yang terlihat naik turun karena menahan tangis.Tadi tangannya refleks menampar pipi Jiman saat pria itu mengakui kalau ia yang telah membunuh Bandi dan Abidin.“Maaf, tapi aku terpaksa. Sebenarnya aku sudah lama tak menerima pekerjaan dari Nyonya Riska. Tapi waktu itu, selain karena aku sedang butuh biaya pengobatan istriku, Nyonya Riska juga mengancam akan membuat istriku semakin menderita. Nyonya Riska memaksaku, karena di antara anak buahnya yang lain, hanya aku memiliki kemampuan membuat bom rakitan.”“Kau begitu peduli dengan keselamatan istrimu, tapi tak punya hati nurani untuk membiarkan orang lain hidup. Kau egois! Sepatutnya kau masuk neraka!” kata-kata Azzalyn terasa tajam dan menusuk, meski ia mengatakannya dengan nada suara yang nyaris datar.“Nyonya Riska ke
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug