“Bagaimana persiapan kita?” tanya Reinhart. “Semua udah beres Om. Di sana, Om Rudi sedang menyiapkan berkas yang akan diambil alih. Dan Misty juga mulai besok sudah bisa bekerja di rumah Om Rudi.” Jawab Bintang. “Terus, gimana dengan rencana kamu yang mau pergi mencari preman pembunuh yang terlibat dalam pembunuhan orang tua Azzalyn?” “Saya dan Koma akan pergi besok, Om. Karena besok hari Minggu, jadi Misty tak perlu bekerja di rumah Om Rudi. Koma tak perlu mengawasinya.” “Bagus. Semoga semua rencana kita bisa berjalan lancar.” Ujar Reinhart. Bintang hendak menjawab lagi, namun urung saat ponselnya terasa bergetar panjang. Tanda ada seseorang yang menelepon. Dahi Bintang berkerut saat melihat nama yang tertera di layar. Meski berat, Bintang tetap menjawab panggilan telepon itu setelah sebelumnya sempat menjauhkan diri dari Reinhart. Cukup lama Bintang berbicara di telepon. Reinhart bahkan mendengar sedikit perdebatan antara Bintang dengan lawan bicaranya. “Siapa?” tanya Reinha
“Abyl, lepaskan....” Azzalyn berusaha mendorong tubuh Abyl agar menjauh. Namun tak bisa karena seolah melekat kuat. Azzalyn memandang Bintang, seolah meminta pertolongan. Bintang paham dan langsung memegang pundak Abyl. “Abyl, lepaskan dulu Azzalyn. Kau bilang mau bicara. Azzalyn udah datang ke sini. Seharusnya kau tak mengecewakannya dengan berlaku seperti ini.” Ujar Bintang. Abyl melepas pelukannya, seolah langsung tersadar setelah mendengar kalimat Bintang. “Maaf...” ujarnya kemudian. “Sekarang katakan, apa yang mau kau bicarakan?” tanya Azzalyn to the point. “Bisakah hanya kita berdua saja?” tanya Abyl seraya memandang Bintang. “Biar aja Bintang tetap di sini. Dia bukan orang yang akan mengganggu percakapan kita.” Sahut Azzalyn dingin. “Tapi aku hanya ingin bicara berdua denganmu Azzalyn. Apa kau tak percaya padaku? Apa kau takut aku punya niat jahat?” cecar Abyl. “Ya udah. Aku akan pergi.” Ujar Bintang akhirnya. Ia mengerti kalau urusan antara Abyl dan Azzalyn, harus di
Riska dan Bu Narti berteriak seperti orang gila. Tubuh kaku Abyl yang mereka lihat di kamar mayat rumah sakit, membuat kedua wanita itu histeris.Sementara Krisna terduduk lemas di lantai setelah melihat putra kesayangan satu-satunya itu telah meninggal.“Abyl... Apa yang terjadi? Kenapa....?” Bu Narti menangis sambil memeluk cucunya itu.“Siapa? Siapa yang melakukan ini padamu, Abyl?” teriak Riska sambil terus menggoyang tubuh Abyl.Di saat mereka semua sedang meratapi kepergian Abyl, Dwita datang sambil berlari. Ia baru saja tiba bersama Bintang yang tadi menjemput saat ia sedang asyik bersenang-senang dengan teman-temannya.“Kak Abyl kenapa Ma?” tanya Dwita pada Riska yang sudah pasti masih terus menangis. Tak ada jawaban. Dwita mengalihkan pertanyaannya pada Krisna dan Bu Narti, meski sebenarnya gadis itu tahu kalau Kakak lelakinya telah tiada. Namun ia terus saja bertanya sambil menangis meski tak ada satu orang pun yang menjawab.“Kenapa bisa begini? Apa yang terjadi? Ka
“Udah?” Bintang menegakkan badan yang sempat ia sandarkan di mobil, saat melihat Azzalyn datang. Gadis itu hanya mengangguk. Terlihat sekali dari matanya yang bengkak, kalau ia habis menangis.Bintang memang sengaja menunggu di mobil, membiarkan Azzalyn mendatangi makam Abyl sendirian. Karena ia tahu, kalau Azzalyn pasti butuh privasi untuk mengeluarkan segala kesedihannya di sana.“Iya. Kita pulang sekarang.” Azzalyn menyahut tanpa memandang ke arahnya, langsung masuk ke dalam mobil.“Habis ngantar kamu, aku langsung berangkat ya.” Bintang memulai percakapan setelah mereka sempat saling diam selama perjalanan.“Harus sekarang juga? Kenapa nggak berangkat besok aja?”“Seperti kata Om Reinhart, kita lagi kejar-kejaran dengan waktu. Mumpung sekarang Tante Riska sedang lengah. Lagi pula, kita harus cepat bergerak sebelum orang bernama Jiman yang telah membunuh Paman Bandi berpindah tempat. Akan lebih sulit lagi buat kita untuk melacaknya.”Azzalyn sempat terdiam beberapa saat.“
“Sial....!”Koma memaki saat matanya dilempar pasir oleh Jiman. Seketika pegangan tangannya mengendur dan itu dimanfaatkan Jiman untuk melepaskan diri.Untungnya Bintang pun dengan sigap kembali menangkap Jiman, membuat lelaki berkumis itu menggeram karena tak bisa melepaskan diri.Terdengar suara teriakan perempuan dari dalam rumah. Seorang wanita yang menggendong anak kecil berusia sekitar satu tahun keluar sambil berlari menghampiri mereka.“Ada apa ini? Kenapa kalian menghajar suami saya? Lepaskan Mas Jiman, atau saya panggil orang kampung biar kalian digebukin.” Ancam perempuan itu.“Maaf Mbak, nggak bisa saya lepaskan begitu aja. Kalau mau panggil warga sini, silakan. Tapi saya jamin, rahasia suami Mbak akan saya bongkar di hadapan mereka semua. Emangnya nggak malu, kalau orang-orang di sini tahu suami Mbak ini adalah seorang preman pembunuh bayaran?” Koma justru menantang, seakan tak merasa takut sama sekali. Sementara Bintang masih fokus menahan tubuh Jiman agar tak bisa
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Jiman. Meski hanya sekali, tapi lelaki itu langsung merasakan kebas dan sakit di pipinya.“Udah, sekali aja Azzalyn. Jangan terbawa emosi.” Bintang memegang pundak Azzalyn yang terlihat naik turun karena menahan tangis.Tadi tangannya refleks menampar pipi Jiman saat pria itu mengakui kalau ia yang telah membunuh Bandi dan Abidin.“Maaf, tapi aku terpaksa. Sebenarnya aku sudah lama tak menerima pekerjaan dari Nyonya Riska. Tapi waktu itu, selain karena aku sedang butuh biaya pengobatan istriku, Nyonya Riska juga mengancam akan membuat istriku semakin menderita. Nyonya Riska memaksaku, karena di antara anak buahnya yang lain, hanya aku memiliki kemampuan membuat bom rakitan.”“Kau begitu peduli dengan keselamatan istrimu, tapi tak punya hati nurani untuk membiarkan orang lain hidup. Kau egois! Sepatutnya kau masuk neraka!” kata-kata Azzalyn terasa tajam dan menusuk, meski ia mengatakannya dengan nada suara yang nyaris datar.“Nyonya Riska ke
“Kau bisa masuk ke dalam kamar tempat di mana Om Kris dirawat sekarang, Azzalyn. Soal Dwita, biar aku yang urus. Aku akan mengajaknya keluar untuk mengalihkan perhatiannya sementara.”“Jadi Dwita yang sedang menunggui Om Kris?” “Iya. Kayaknya Tante Riska dan Oma Narti sedang pulang. Cuma kita memang nggak bisa lama-lama karena nggak tahu kapan mereka akan kembali. Jadi, begitu aku mengajak Dwita keluar, kau cepat-cepat datangi Om Kris. Mereka menempati kamar pasien VVIP, jadi nggak akan ada orang lain di kamarnya selain Om Kris.”Azzalyn tampak mengangguk. Ia sedikit tersentak saat Bintang memegang pundaknya.“Temuilah Om Kris. Dan katakan apa yang ingin kau katakan padanya selama ini.” Pesan Bintang.“Apa aku perlu melakukannya?” Azzalyn tampak ragu.Sebenarnya, kedatangan dia ke rumah sakit sekarang ini bukan karena keinginan sendiri. Melainkan atas nasihat dari Reinhart dan Bintang. Tadinya, meski mendengar kalau Krisna sedang sakit parah, ia sama sekali tak ada keinginan
“Kau tak apa-apa, Azzalyn?” Reinhart menepuk pelan pundak Azzalyn.Gadis itu sudah seharian ini termenung. Bahkan ia belum ada makan sama sekali. Wajar saja, hatinya sekarang pasti sedang hancur lebur karena kematian Krisna, ayahnya.“Om juga sedih, Azzalyn. Sebagai sahabatnya, Om nggak bisa datang ke sana untuk memberikan penghormatan terakhir buat Krisna. Padahal selama ini dialah yang telah membantuku hingga bisa tetap hidup sampai hari ini. Tak disangka, justru dia yang tak bisa bertahan.” Reinhart terdengar seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.Azzalyn hanya melirik sekilas pada Reinhart. Hatinya semakin lebur mendengar kalimat terakhir yang baru saja diucapkan sahabat ayahnya itu. Azzalyn tak menyangka, kalau kedatangannya ke rumah sakit waktu itu adalah pertemuan terakhir dengan sang ayah. Berita meninggalnya Krisna mereka dengar pertama kali dari Rudi. Dan saat kabar duka itu mereka terima, hanya beberapa jam setelah kunjungan Azzalyn dari rumah sakit.Azzal