“Sial....!”Koma memaki saat matanya dilempar pasir oleh Jiman. Seketika pegangan tangannya mengendur dan itu dimanfaatkan Jiman untuk melepaskan diri.Untungnya Bintang pun dengan sigap kembali menangkap Jiman, membuat lelaki berkumis itu menggeram karena tak bisa melepaskan diri.Terdengar suara teriakan perempuan dari dalam rumah. Seorang wanita yang menggendong anak kecil berusia sekitar satu tahun keluar sambil berlari menghampiri mereka.“Ada apa ini? Kenapa kalian menghajar suami saya? Lepaskan Mas Jiman, atau saya panggil orang kampung biar kalian digebukin.” Ancam perempuan itu.“Maaf Mbak, nggak bisa saya lepaskan begitu aja. Kalau mau panggil warga sini, silakan. Tapi saya jamin, rahasia suami Mbak akan saya bongkar di hadapan mereka semua. Emangnya nggak malu, kalau orang-orang di sini tahu suami Mbak ini adalah seorang preman pembunuh bayaran?” Koma justru menantang, seakan tak merasa takut sama sekali. Sementara Bintang masih fokus menahan tubuh Jiman agar tak bisa
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Jiman. Meski hanya sekali, tapi lelaki itu langsung merasakan kebas dan sakit di pipinya.“Udah, sekali aja Azzalyn. Jangan terbawa emosi.” Bintang memegang pundak Azzalyn yang terlihat naik turun karena menahan tangis.Tadi tangannya refleks menampar pipi Jiman saat pria itu mengakui kalau ia yang telah membunuh Bandi dan Abidin.“Maaf, tapi aku terpaksa. Sebenarnya aku sudah lama tak menerima pekerjaan dari Nyonya Riska. Tapi waktu itu, selain karena aku sedang butuh biaya pengobatan istriku, Nyonya Riska juga mengancam akan membuat istriku semakin menderita. Nyonya Riska memaksaku, karena di antara anak buahnya yang lain, hanya aku memiliki kemampuan membuat bom rakitan.”“Kau begitu peduli dengan keselamatan istrimu, tapi tak punya hati nurani untuk membiarkan orang lain hidup. Kau egois! Sepatutnya kau masuk neraka!” kata-kata Azzalyn terasa tajam dan menusuk, meski ia mengatakannya dengan nada suara yang nyaris datar.“Nyonya Riska ke
“Kau bisa masuk ke dalam kamar tempat di mana Om Kris dirawat sekarang, Azzalyn. Soal Dwita, biar aku yang urus. Aku akan mengajaknya keluar untuk mengalihkan perhatiannya sementara.”“Jadi Dwita yang sedang menunggui Om Kris?” “Iya. Kayaknya Tante Riska dan Oma Narti sedang pulang. Cuma kita memang nggak bisa lama-lama karena nggak tahu kapan mereka akan kembali. Jadi, begitu aku mengajak Dwita keluar, kau cepat-cepat datangi Om Kris. Mereka menempati kamar pasien VVIP, jadi nggak akan ada orang lain di kamarnya selain Om Kris.”Azzalyn tampak mengangguk. Ia sedikit tersentak saat Bintang memegang pundaknya.“Temuilah Om Kris. Dan katakan apa yang ingin kau katakan padanya selama ini.” Pesan Bintang.“Apa aku perlu melakukannya?” Azzalyn tampak ragu.Sebenarnya, kedatangan dia ke rumah sakit sekarang ini bukan karena keinginan sendiri. Melainkan atas nasihat dari Reinhart dan Bintang. Tadinya, meski mendengar kalau Krisna sedang sakit parah, ia sama sekali tak ada keinginan
“Kau tak apa-apa, Azzalyn?” Reinhart menepuk pelan pundak Azzalyn.Gadis itu sudah seharian ini termenung. Bahkan ia belum ada makan sama sekali. Wajar saja, hatinya sekarang pasti sedang hancur lebur karena kematian Krisna, ayahnya.“Om juga sedih, Azzalyn. Sebagai sahabatnya, Om nggak bisa datang ke sana untuk memberikan penghormatan terakhir buat Krisna. Padahal selama ini dialah yang telah membantuku hingga bisa tetap hidup sampai hari ini. Tak disangka, justru dia yang tak bisa bertahan.” Reinhart terdengar seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.Azzalyn hanya melirik sekilas pada Reinhart. Hatinya semakin lebur mendengar kalimat terakhir yang baru saja diucapkan sahabat ayahnya itu. Azzalyn tak menyangka, kalau kedatangannya ke rumah sakit waktu itu adalah pertemuan terakhir dengan sang ayah. Berita meninggalnya Krisna mereka dengar pertama kali dari Rudi. Dan saat kabar duka itu mereka terima, hanya beberapa jam setelah kunjungan Azzalyn dari rumah sakit.Azzal
Jiman tampak menggeram menahan marah. Kalau saja kedua tangannya tak diikat, mungkin ia sudah menerkam dan menghajar semua orang yang ada di dalam ruangan ini.“Kalian memang nggak punya hati nurani! Kenapa bawa-bawa Rahayu?! Dia sedang hamil, dan kalian tahu kan kalau kami sudah begitu lama menanti kehadiran anak ini?” mata Jiman menyalang, menatap Azzalyn, Bintang dan Koma secara bergantian.“Mas Jiman, sebenarnya ini ada apa? Ayu dijemput, katanya Mas Jiman menikah lagi. Makanya Ayu langsung ikut mereka. Tapi kenapa Mas Jiman malah diikat kayak gini? Sebenarnya siapa mereka?” Rahayu kebingungan. Ia tampak mulai ketakutan.Jiman terkejut. Pantas saja Rahayu semudah itu ikut orang yang tak dikenal. Ternyata mereka memfitnah dirinya agar sang istri marah dan ikut tanpa berpikir panjang.“Beraninya kalian memfitnahku! Bagaimana kalau sampai istriku keguguran karena cerita bohong kalian?!” Jiman berteriak.“Ya nggak gimana-gimana. Kalaupun kau kehilangan anak itu, aku rasa sepadan
Riska dan Bu Narti saling berpandangan. Terlihat sekali kalau ada keheranan di wajah mereka.“Mau apa polisi datang ke sini? Apa mungkin soal kasus bunuh diri Abyl?” terka Bu Narti.Riska tak menjawab, perasaannya mulai tak enak. Entah kenapa ia merasa kalau kedatangan polisi ke rumahnya kali ini bukan karena hal itu.“Anu Bu...” Bi Lini -si pembantu- terlihat berkata dengan ragu. “Polisinya datang sama mantan pacarnya Den Abyl.” “Apa?! Ada Azzalyn juga? Mau apa dia?!” Riska kebakaran jenggot mendengar nama gadis yang sangat ia benci itu disebut.“Anak tak tahu diri itu, buat apa datang ke sini sambil membawa polisi? Seharusnya dia yang masuk penjara karena telah membuat cucu lelakiku meninggal.” Geram Bu Narti.“Usir mereka Bi. Bilang kalau saya sendiri yang akan datang ke kantor polisi buat memberi kesaksian atas kejahatannya.” Perintah Riska.“Nggak perlu...!!!”Bu Narti dan Riska kompak menoleh. Mata keduanya langsung membesar tatkala melihat Azzalyn berjalan mendekat ber
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug