“Kalau kamu nggak mau menjawab, lebih baik kamu angkat kaki sekarang juga dari sini!” hardik lelaki itu.“Saya... Saya mantan pekerja di perusahaan Om Kris.” Jawab Azzalyn terbata. Hanya itu yang bisa ia katakan. “Lalu untuk apa Krisna Hadi menyuruh mantan karyawannya ke rumahku? Kau pasti berbohong. Kau bukan suruhan Krisna Hadi, tapi kau adalah mata-mata yang dikirim Riska kan? Kau datang kemari hanya untuk memastikan kalau aku adalah Reinhart, sebelum membunuhku. Iya kan?”Azzalyn bingung harus menjawab apa. Sebenarnya seperti apa hubungan antara Krisna, Riska dan Reinhart? Mengapa Reinhart begitu terdengar sangat berhati-hati dengan Riska?“Saya benar-benar bukan orang suruhan Riska. Saya mendapat kartu nama Pak Reinhart dari Om Kris, dan dia bilang saya bisa meminta bantuan dari Pak Reinhart untuk membantu saya mengurus beberapa aset yang akan dipindah tangankan, karena Pak Reinhart adalah pengacara kepercayaannya.” Jawab Azzalyn panjang lebar.“Aku nggak percaya. Pulanglah
Azzalyn memandang lekat sosok lelaki di depannya, yang terlihat masih tampan meski di usia yang tak muda lagi.Lelaki itu tampak sedang berusaha menahan kesedihannya yang teramat dalam. “Dia membuat istriku pergi meninggalkan aku, dengan membawa kedua anakku yang saat itu masih balita.”“Kapan kejadiannya? Saat istri Bapak membawa pergi anak-anak Bapak?”Reinhart menghembus napas dengan kasar melalui mulutnya. Terasa dadanya sangat sesak setiap kali mengingat dan mengenang rasa rindu pada orang-orang yang begitu ia sayangi.“Sekitar 8 tahun lalu.” Jawab Reinhart pendek. “Saat itu anak pertamaku berumur 5 tahun, dan yang kedua baru berumur 8 bulan.” Sambungnya.Kening Azzalyn berkerut. Delapan tahun lalu, dan pria di depannya ini punya anak yang masih balita? Padahal kalau dilihat dari penampilannya, Azzalyn menebak, Reinhart sebaya dengan ayahnya, Krisna. Kalau delapan tahun lalu, seharusnya anak-anak Reinhart sudah remaja, sama seperti dirinya.Azzalyn berdehem. “Apa Bapak ta
Azzalyn tersenyum. Dilihatnya dari kejauhan, sosok pemuda tampan yang begitu terlihat sibuk memesan menu makanan di meja kasir. Ya, saat tadi ia baru saja turun dari mobil taksi setelah perjalanan jauh dari kediaman Reinhart, Azzalyn dikejutkan oleh kehadiran Bintang yang menyambut di depan pagar kostnya. Belum sempat masuk ke dalam, Bintang sudah memaksa dengan menarik tangannya. Mengajak Azzalyn untuk makan di luar. “Kamu pasti lapar. Kita makan dulu, baru aku izinkan kamu istirahat,” ujar Bintang tadi, saat Azzalyn protes. Padahal karena perjalanan jauh dan tubuhnya merasa sangat lelah, Azzalyn berniat untuk langsung tidur dan beristirahat. Tapi Bintang memaksa dirinya untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum ia melaksanakan niatnya itu. Kini mereka sedang berada di salah satu food court di Mall. Bintang sedang memesan makanan, sementara Azzalyn hanya bisa menunggu sambil menikmati pemandangan sekelilingnya. Suasana Mall yang ramai membuat Azzalyn sedikit merasa terhibur. I
“Setahuku, dia adalah orang mesum yang suka berbuat cabul.” Ujar Bintang serius. Azzalyn mengangkat kedua alisnya. “Cabul yang seperti apa? Maksud kamu, dia suka melecehkan perempuan?” Tanyanya kemudian. Bintang mengangguk. “Dulu kami sering mendengar kalau dia suka pegang-pegang asistennya. Dan beberapa kali pula ia berganti asisten.” “Kenapa orang seperti itu tetap dibiarkan kerja sih? Harusnya kan dipecat aja.” Ujar Azzalyn sebal. “Dia sepertinya memang memegang peran penting di perusahaan Om Kris. Karena itu ia tak bisa didepak. Kalau memang benar sekarang dia sudah tak ada lagi di perusahaan, mungkin itu terjadi karena suatu alasan.” Kembali mereka terdiam. “Tapi, aku sepertinya tetap harus bertemu dengan Rudi Haryo. Karena memang itu perintah pertama dari Om Reinhart,” kata Azzalyn pelan, agak ragu. “Memangnya setelah bertemu, lalu apa?” “Om Reinhart memintaku untuk mendekatinya, dan di saat ada waktu yang pas, aku diminta untuk memberikan sesuatu pada orang yang bernama
“Nggak usah repot-repot. Aku bisa ke sana sendiri.” Ujar Abyl acuh.Shelby terlihat tak senang dengan perlakuan Abyl yang begitu dingin padanya. Sekali lagi ia melihat ke arah Azzalyn yang tampak sibuk. Gadis itu bahkan tak mempedulikan mereka sama sekali.Dalam hati, Shelby mengakui kalau Azzalyn sangat cantik. Bahkan meski hanya memakai seragam waitress dengan gelungan rambut yang sederhana namun rapi, kecantikan Azzalyn tetap terpancar.Kulit putih bersih, hidung yang bangir dan bulu mata tebal lentik membuat semua orang mungkin berpikir kalau Azzalyn menggunakan jasa salon kecantikan mahal. Dan alisnya, hitam lebat berserat dengan bentuk yang bagus dan alami, seolah ia tak memerlukan lagi riasan dari pensil alis ataupun semacamnya.Bentuk wajah Azzalyn yang mungil, membuatnya terlihat seperti Barbie. Shelby jadi iri setengah mati. Penampilan Azzalyn yang alami terlihat seperti jauh lebih muda dari dirinya. Padahal usia Azzalyn seumuran Abyl, yang artinya 4 tahun lebih tua dari
“Kamu bawa barangnya kan?” Tanya Bintang, disambut anggukan Azzalyn.“Di mana?”“Ada di loker.”Bintang diam sejenak. “Kalau menunggu acara selesai, aku takut dia keburu pergi. Tapi bagaimana mau memberinya barang itu kalau kamu sedang bertugas?”“Yang mana orangnya?” Tanya Azzalyn.“Dia yang sedang berbicara dengan Om Kris sekarang.”Azzalyn memicingkan mata. Jarak antara Buffett tempatnya bertugas dengan panggung tempat di mana orang yang dimaksud itu berada cukup jauh.“Bintang, sini....” Azzalyn memberi kode dengan tangan agar Bintang mendekat. Bintang menurut, dengan mencondongkan sedikit badan, ia menajamkan pendengarannya.“Apa kamu bisa bantu aku untuk membawanya ke sini?” Azzalyn bertanya setengah berbisik.Bintang memandang serius wajah gadis yang disukainya itu.“Bisa sih. Tapi emangnya kamu mau kasih barang itu di sini? Di depan banyak orang? Apa nggak apa-apa?”“Mau gimana lagi? Apa ada kesempatan lain? Kecuali kita bisa dapat alamat tempat tinggalnya, aku ra
“Azzalyn, biar aku saja yang memberikan barang itu padanya.” “Tapi...” Azzalyn tampak ragu. “Percayakan saja padaku, Azzalyn. Barang itu pasti sampai ke tangannya.”“Bukannya seperti itu. Hanya saja Om Reinhart benar-benar berpesan agar aku yang menyampaikannya sendiri. Karena aku yang nantinya akan menjadi penghubung antara Om Reinhart dan orang yang bernama Rudi Haryo itu.”“Jangan khawatir. Aku hanya menyampaikannya. Dan akan kupastikan dia bertemu langsung denganmu nanti. Lagi pula, kalau kau yang memberikan barang itu di tempat dan di tengah keramaian seperti ini, aku takut Tante Riska curiga dan ia menjadi lebih waspada.”Azzalyn diam. Ia berpikir kalau apa yang dikatakan Bintang itu cukup masuk akal.“Lalu, memangnya kalau kamu yang memberikannya Tante Riska nggak akan curiga?” tanya Azzalyn memastikan.“Aku pasti akan berhati-hati. Sekarang adalah kesempatan bagiku untuk mendekatinya tanpa perlu membuat orang lain heran atau curiga. Karena biar bagaimanapun sekarang a
“Begini saja, Om. Bagaimana kalau kita bertemu di luar? Saya akan membawa Om untuk berbicara langsung dengan orang yang membawa barang ini.” Rudi menggeleng. “Nggak! Aku nggak mau bertemu dengan orang lain. Yang mau aku temui adalah pemilik baju ini.”Bintang menghela napas.“Saya nggak tahu di mana pemilik baju ini. Tapi kalau Om memang benar-benar mau berjumpa dengannya, maka Om harus bertemu dulu dengan orang yang menitipkan baju ini pada saya.”“Baik, temui aku besok jam 1 siang di Restoran Alam Laut. Kita...”“Maaf Om,” Bintang menyela kalimat Rudi. “Kita nggak bisa sembarangan menentukan tempat dan waktu bertemu. Itu terlalu beresiko.” Sambung Bintang.“Jadi, mau kamu bagaimana?” tanya Rudi sebal. “Berikan saya nomor HP Om. Saya yang akan menghubungi Om begitu mendapat waktu dan tempat yang tepat untuk bertemu.”“Kenapa juga saya harus nurut kemauan kamu? Memangnya kamu bisa dipercaya begitu aja? Kita baru bertemu lagi setelah sekian lama. Kita dulu juga nggak akrab. B
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug