Azzalyn memandang lekat sosok lelaki di depannya, yang terlihat masih tampan meski di usia yang tak muda lagi.Lelaki itu tampak sedang berusaha menahan kesedihannya yang teramat dalam. “Dia membuat istriku pergi meninggalkan aku, dengan membawa kedua anakku yang saat itu masih balita.”“Kapan kejadiannya? Saat istri Bapak membawa pergi anak-anak Bapak?”Reinhart menghembus napas dengan kasar melalui mulutnya. Terasa dadanya sangat sesak setiap kali mengingat dan mengenang rasa rindu pada orang-orang yang begitu ia sayangi.“Sekitar 8 tahun lalu.” Jawab Reinhart pendek. “Saat itu anak pertamaku berumur 5 tahun, dan yang kedua baru berumur 8 bulan.” Sambungnya.Kening Azzalyn berkerut. Delapan tahun lalu, dan pria di depannya ini punya anak yang masih balita? Padahal kalau dilihat dari penampilannya, Azzalyn menebak, Reinhart sebaya dengan ayahnya, Krisna. Kalau delapan tahun lalu, seharusnya anak-anak Reinhart sudah remaja, sama seperti dirinya.Azzalyn berdehem. “Apa Bapak ta
Azzalyn tersenyum. Dilihatnya dari kejauhan, sosok pemuda tampan yang begitu terlihat sibuk memesan menu makanan di meja kasir. Ya, saat tadi ia baru saja turun dari mobil taksi setelah perjalanan jauh dari kediaman Reinhart, Azzalyn dikejutkan oleh kehadiran Bintang yang menyambut di depan pagar kostnya. Belum sempat masuk ke dalam, Bintang sudah memaksa dengan menarik tangannya. Mengajak Azzalyn untuk makan di luar. “Kamu pasti lapar. Kita makan dulu, baru aku izinkan kamu istirahat,” ujar Bintang tadi, saat Azzalyn protes. Padahal karena perjalanan jauh dan tubuhnya merasa sangat lelah, Azzalyn berniat untuk langsung tidur dan beristirahat. Tapi Bintang memaksa dirinya untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum ia melaksanakan niatnya itu. Kini mereka sedang berada di salah satu food court di Mall. Bintang sedang memesan makanan, sementara Azzalyn hanya bisa menunggu sambil menikmati pemandangan sekelilingnya. Suasana Mall yang ramai membuat Azzalyn sedikit merasa terhibur. I
“Setahuku, dia adalah orang mesum yang suka berbuat cabul.” Ujar Bintang serius. Azzalyn mengangkat kedua alisnya. “Cabul yang seperti apa? Maksud kamu, dia suka melecehkan perempuan?” Tanyanya kemudian. Bintang mengangguk. “Dulu kami sering mendengar kalau dia suka pegang-pegang asistennya. Dan beberapa kali pula ia berganti asisten.” “Kenapa orang seperti itu tetap dibiarkan kerja sih? Harusnya kan dipecat aja.” Ujar Azzalyn sebal. “Dia sepertinya memang memegang peran penting di perusahaan Om Kris. Karena itu ia tak bisa didepak. Kalau memang benar sekarang dia sudah tak ada lagi di perusahaan, mungkin itu terjadi karena suatu alasan.” Kembali mereka terdiam. “Tapi, aku sepertinya tetap harus bertemu dengan Rudi Haryo. Karena memang itu perintah pertama dari Om Reinhart,” kata Azzalyn pelan, agak ragu. “Memangnya setelah bertemu, lalu apa?” “Om Reinhart memintaku untuk mendekatinya, dan di saat ada waktu yang pas, aku diminta untuk memberikan sesuatu pada orang yang bernama
“Nggak usah repot-repot. Aku bisa ke sana sendiri.” Ujar Abyl acuh.Shelby terlihat tak senang dengan perlakuan Abyl yang begitu dingin padanya. Sekali lagi ia melihat ke arah Azzalyn yang tampak sibuk. Gadis itu bahkan tak mempedulikan mereka sama sekali.Dalam hati, Shelby mengakui kalau Azzalyn sangat cantik. Bahkan meski hanya memakai seragam waitress dengan gelungan rambut yang sederhana namun rapi, kecantikan Azzalyn tetap terpancar.Kulit putih bersih, hidung yang bangir dan bulu mata tebal lentik membuat semua orang mungkin berpikir kalau Azzalyn menggunakan jasa salon kecantikan mahal. Dan alisnya, hitam lebat berserat dengan bentuk yang bagus dan alami, seolah ia tak memerlukan lagi riasan dari pensil alis ataupun semacamnya.Bentuk wajah Azzalyn yang mungil, membuatnya terlihat seperti Barbie. Shelby jadi iri setengah mati. Penampilan Azzalyn yang alami terlihat seperti jauh lebih muda dari dirinya. Padahal usia Azzalyn seumuran Abyl, yang artinya 4 tahun lebih tua dari
“Kamu bawa barangnya kan?” Tanya Bintang, disambut anggukan Azzalyn.“Di mana?”“Ada di loker.”Bintang diam sejenak. “Kalau menunggu acara selesai, aku takut dia keburu pergi. Tapi bagaimana mau memberinya barang itu kalau kamu sedang bertugas?”“Yang mana orangnya?” Tanya Azzalyn.“Dia yang sedang berbicara dengan Om Kris sekarang.”Azzalyn memicingkan mata. Jarak antara Buffett tempatnya bertugas dengan panggung tempat di mana orang yang dimaksud itu berada cukup jauh.“Bintang, sini....” Azzalyn memberi kode dengan tangan agar Bintang mendekat. Bintang menurut, dengan mencondongkan sedikit badan, ia menajamkan pendengarannya.“Apa kamu bisa bantu aku untuk membawanya ke sini?” Azzalyn bertanya setengah berbisik.Bintang memandang serius wajah gadis yang disukainya itu.“Bisa sih. Tapi emangnya kamu mau kasih barang itu di sini? Di depan banyak orang? Apa nggak apa-apa?”“Mau gimana lagi? Apa ada kesempatan lain? Kecuali kita bisa dapat alamat tempat tinggalnya, aku ra
“Azzalyn, biar aku saja yang memberikan barang itu padanya.” “Tapi...” Azzalyn tampak ragu. “Percayakan saja padaku, Azzalyn. Barang itu pasti sampai ke tangannya.”“Bukannya seperti itu. Hanya saja Om Reinhart benar-benar berpesan agar aku yang menyampaikannya sendiri. Karena aku yang nantinya akan menjadi penghubung antara Om Reinhart dan orang yang bernama Rudi Haryo itu.”“Jangan khawatir. Aku hanya menyampaikannya. Dan akan kupastikan dia bertemu langsung denganmu nanti. Lagi pula, kalau kau yang memberikan barang itu di tempat dan di tengah keramaian seperti ini, aku takut Tante Riska curiga dan ia menjadi lebih waspada.”Azzalyn diam. Ia berpikir kalau apa yang dikatakan Bintang itu cukup masuk akal.“Lalu, memangnya kalau kamu yang memberikannya Tante Riska nggak akan curiga?” tanya Azzalyn memastikan.“Aku pasti akan berhati-hati. Sekarang adalah kesempatan bagiku untuk mendekatinya tanpa perlu membuat orang lain heran atau curiga. Karena biar bagaimanapun sekarang a
“Begini saja, Om. Bagaimana kalau kita bertemu di luar? Saya akan membawa Om untuk berbicara langsung dengan orang yang membawa barang ini.” Rudi menggeleng. “Nggak! Aku nggak mau bertemu dengan orang lain. Yang mau aku temui adalah pemilik baju ini.”Bintang menghela napas.“Saya nggak tahu di mana pemilik baju ini. Tapi kalau Om memang benar-benar mau berjumpa dengannya, maka Om harus bertemu dulu dengan orang yang menitipkan baju ini pada saya.”“Baik, temui aku besok jam 1 siang di Restoran Alam Laut. Kita...”“Maaf Om,” Bintang menyela kalimat Rudi. “Kita nggak bisa sembarangan menentukan tempat dan waktu bertemu. Itu terlalu beresiko.” Sambung Bintang.“Jadi, mau kamu bagaimana?” tanya Rudi sebal. “Berikan saya nomor HP Om. Saya yang akan menghubungi Om begitu mendapat waktu dan tempat yang tepat untuk bertemu.”“Kenapa juga saya harus nurut kemauan kamu? Memangnya kamu bisa dipercaya begitu aja? Kita baru bertemu lagi setelah sekian lama. Kita dulu juga nggak akrab. B
“Anda pasti sudah mendengar kalimat tadi dengan jelas. Jadi saya rasa, saya nggak perlu lagi menjelaskan,” tegas Azzalyn.Rudi tertawa kecil. “Kalau mau ngomong itu pakai logika. Pakai akal sehat. Jangan mengatakan sesuatu yang nggak masuk akal, yang tidak mungkin akan dipercaya orang.” Kata Rudi dengan seringai mengejek.“Saya nggak berbohong. Saya mengatakan yang sebenarnya. Dan kalau anda mau bertemu dengan Om Reinhart, maka hal yang pertama kali harus anda lakukan adalah mempercayai omongan saya.” Jawab Azzalyn dengan nada ketus. Membuat senyum yang tadinya mengembang di wajah Rudi langsung menghilang.“Jadi benar, kamu memang ada hubungan dengan Reinhart? Kamu tahu di mana dia sekarang?” tanya Rudi, mendadak serius.Kali ini giliran Azzalyn yang menyeringai, merasa kalau umpannya berhasil.“Gimana kalau kita duduk dulu, Om?” Bintang berusaha mencairkan suasana.Meski terlihat enggan, Rudi tetap menuruti kemauan dua anak muda di depannya itu, dan duduk di kursi. Ia kini tela