“Azzalyn, biar aku saja yang memberikan barang itu padanya.” “Tapi...” Azzalyn tampak ragu. “Percayakan saja padaku, Azzalyn. Barang itu pasti sampai ke tangannya.”“Bukannya seperti itu. Hanya saja Om Reinhart benar-benar berpesan agar aku yang menyampaikannya sendiri. Karena aku yang nantinya akan menjadi penghubung antara Om Reinhart dan orang yang bernama Rudi Haryo itu.”“Jangan khawatir. Aku hanya menyampaikannya. Dan akan kupastikan dia bertemu langsung denganmu nanti. Lagi pula, kalau kau yang memberikan barang itu di tempat dan di tengah keramaian seperti ini, aku takut Tante Riska curiga dan ia menjadi lebih waspada.”Azzalyn diam. Ia berpikir kalau apa yang dikatakan Bintang itu cukup masuk akal.“Lalu, memangnya kalau kamu yang memberikannya Tante Riska nggak akan curiga?” tanya Azzalyn memastikan.“Aku pasti akan berhati-hati. Sekarang adalah kesempatan bagiku untuk mendekatinya tanpa perlu membuat orang lain heran atau curiga. Karena biar bagaimanapun sekarang a
“Begini saja, Om. Bagaimana kalau kita bertemu di luar? Saya akan membawa Om untuk berbicara langsung dengan orang yang membawa barang ini.” Rudi menggeleng. “Nggak! Aku nggak mau bertemu dengan orang lain. Yang mau aku temui adalah pemilik baju ini.”Bintang menghela napas.“Saya nggak tahu di mana pemilik baju ini. Tapi kalau Om memang benar-benar mau berjumpa dengannya, maka Om harus bertemu dulu dengan orang yang menitipkan baju ini pada saya.”“Baik, temui aku besok jam 1 siang di Restoran Alam Laut. Kita...”“Maaf Om,” Bintang menyela kalimat Rudi. “Kita nggak bisa sembarangan menentukan tempat dan waktu bertemu. Itu terlalu beresiko.” Sambung Bintang.“Jadi, mau kamu bagaimana?” tanya Rudi sebal. “Berikan saya nomor HP Om. Saya yang akan menghubungi Om begitu mendapat waktu dan tempat yang tepat untuk bertemu.”“Kenapa juga saya harus nurut kemauan kamu? Memangnya kamu bisa dipercaya begitu aja? Kita baru bertemu lagi setelah sekian lama. Kita dulu juga nggak akrab. B
“Anda pasti sudah mendengar kalimat tadi dengan jelas. Jadi saya rasa, saya nggak perlu lagi menjelaskan,” tegas Azzalyn.Rudi tertawa kecil. “Kalau mau ngomong itu pakai logika. Pakai akal sehat. Jangan mengatakan sesuatu yang nggak masuk akal, yang tidak mungkin akan dipercaya orang.” Kata Rudi dengan seringai mengejek.“Saya nggak berbohong. Saya mengatakan yang sebenarnya. Dan kalau anda mau bertemu dengan Om Reinhart, maka hal yang pertama kali harus anda lakukan adalah mempercayai omongan saya.” Jawab Azzalyn dengan nada ketus. Membuat senyum yang tadinya mengembang di wajah Rudi langsung menghilang.“Jadi benar, kamu memang ada hubungan dengan Reinhart? Kamu tahu di mana dia sekarang?” tanya Rudi, mendadak serius.Kali ini giliran Azzalyn yang menyeringai, merasa kalau umpannya berhasil.“Gimana kalau kita duduk dulu, Om?” Bintang berusaha mencairkan suasana.Meski terlihat enggan, Rudi tetap menuruti kemauan dua anak muda di depannya itu, dan duduk di kursi. Ia kini tela
“Nggak perlu. Om tahu apa yang kamu khawatirkan. Tapi percayalah, orang sepertiku sudah lebih lama mengalami hal-hal seperti ini. Om bahkan jauh lebih waspada dan punya persiapan khusus saat menghadapi bahaya.” Ujar Rudi sambil tersenyum. Bintang dan Azzalyn hanya bisa berpandangan. Mungkin mereka baru sadar, kalau orang di depannya itu bukanlah orang sembarangan. Rudi adalah pebisnis yang sudah pasti sering mendapatkan ancaman pembunuhan atau semacamnya. Dan tentu saja ia sudah jauh lebih berpengalaman dalam menjaga dan melindungi diri sendiri. “Kalau gitu Om duluan. Om tahu apa yang harus dilakukan. Dan kalian, sebaiknya berhati-hati saat pulang nanti,” pamit Rudi sambil tersenyum dan menganggukkan kepala. Setelah punggung Rudi menghilang di balik pintu cafe, Bintang mengalihkan pandangan ke arah Azzalyn yang tampak setengah termenung. “Jadi, apa kita pulang sekarang atau kamu mau ke tempat lain dulu?” tanya Bintang. “Kita tunggu setengah jam lagi di sini. Setelah itu kamu antar
“Kalian nggak perlu keluar lagi. Terlalu berbahaya kalau sering keluar masuk di rumah ini. Apalagi kita semua ada dalam daftar orang yang diperhatikan gerak-geriknya oleh Riska.” Reinhart berkata dengan pelan.Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Membenarkan perkataan Reinhart.“Tunggu sebentar...” Reinhart berkata sambil berjalan ke arah sebuah lemari kaca. Ternyata ia mengambil handphone-nya. “Mau pesan makanan apa?” Tanyanya kemudian.“Terserah Om aja.” Sahut Azzalyn pendek, sambil memandang ke arah Bintang dan Rudi, seolah meminta persetujuan.“Iya terserah kamu aja, Rein. Yang penting kamu enak makan. Kami ngikut aja. Pesan yang banyak, biar aku yang bayar.” Kata Rudi.Reinhart mengangguk dan menekan sesuatu di layar hp. Sepertinya ia menelepon seseorang.“Ya halo... Tolong belikan makanan yang biasa. Tapi kali ini belikan lebih banyak. Kira-kira untuk porsi 4 orang. Dan juga belikan kopi yang biasa ku pesan, beli 5 dan jangan lupa camilan kesukaanku. Bisa kan?”Terdenga
“Setahuku rumahmu itu nggak pernah dijual. Aku pernah ke sana melihatnya. Memang kosong tak ada yang menempati, tapi saat aku ke sana, ada seorang tukang kebun dan seorang asisten rumah tangga yang sedang membersihkan di dalam dan luar rumahmu.” Jelas Rudi.“Mungkin aja pemilik baru rumah Om Reinhart sedang tak ada di tempat.” tebak Bintang, yang sedari tadi Cuma diam. Rudi menggeleng. “Nggak, menurut pengakuan mereka, rumah itu milik Reinhart yang sedang pergi ke luar negeri. Mereka hanya datang seminggu dua kali untuk membersihkan rumah itu. Dan mereka tetap digaji dengan sistem transfer.”“Apa yang menggaji mereka adalah Kris?” Tanya Reinhart. “Soalnya aku nggak pernah merasa mentransfer uang buat gaji ART.” Sambungnya.“Ya siapa lagi kalau bukan dia?” ujar Rudi sambil tersenyum. “Kris pasti melakukan ini semua, karena dia yakin bahwa suatu saat nanti kau pasti akan kembali ke rumah itu. Dan selama ini, dia yang menjaga rumah itu untukmu. Bukankah dia adalah orang yang baik?”
“Maaf, apakah kamu udah sering melakukan ini?” Tanya Azzalyn hati-hati, takut menyinggung perasaan Misty. “Melakukan apa Mbak?” Misty balik bertanya, sementara tangannya menyomot kue kering yang akan dijadikan camilan nanti dan memasukkannya ke dalam mulut. “Apa kalau kamu ke sini udah sering melayani makan dan minum Om Reinhart kayak gini? Menyiapkan untuknya seperti ini?” Misty mengangguk. “Om Rein itu pemalas, mau ngemil aja minta disiapkan. Padahal makan kue langsung dari bungkusnya kan enak?” Jawab Misty polos, masih sambil mengunyah. Azzalyn diam. Ia hendak bertanya lagi, namun sungkan. “Emang kenapa sih Mbak?” “Nggak kenapa-kenapa sih,” Azzalyn menggeleng. “Cuma Mbak penasaran aja, seakrab apa kamu sama Om Reinhart.” Lanjutnya. “Om Rein baik. Suka ngasih uang banyak kalau tiap nyuruh aku belanja. Jadi ya aku harus selalu siap kalau kapan pun dia butuh bantuan aku. Namanya juga kerja sama orang kan Mbak? Kapan lagi dapat kerja mudah tapi gajinya gede.” “Emang gajinya gede
Bintang memacu kendaraannya dengan kencang. Saking lajunya, Azzalyn merasa kalau mobil yang mereka naiki bagai melesat di atas angin.“Ternyata benar, mobil itu mengikuti kita,” ujar Rudi saat melihat mobil hitam yang dimaksud Azzalyn ikut mengebut, seolah berusaha mengimbangi laju mobil Bintang.Sementara Bintang fokus menyetir, Azzalyn tampak sibuk menghubungi Reinhart dengan handphonenya.“Om Reinhart nggak angkat telfonnya, Om.” Ujar Azzalyn kalut.“Terus coba Azzalyn. Telfon sampai diangkat. Kalau emang yang kau katakan benar bahwa mobil itu udah ada sejak kita keluar dari rumah Reinhart, itu artinya Reinhart dalam bahaya. Aku takut ada satu kelompok lagi yang mengincar Reinhart di rumahnya, sementara kita di sini juga sedang dikejar-kejar.”Nada suara Rudi terdengar sangat khawatir. Dia kenal betul siapa Riska. Orang-orang yang menjadi targetnya memang tidak akan pernah lolos dengan mudah. Sekarang dia bukan hanya mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya Reinhart, namun juga
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug